Oleh: Dr. Mohammad Nasih, M.Si.
Pengasuh Pesantren-Sekolah Alam Nurul Furqon (Planet NUFO), Mlagen, Pamotan, Rembang. Guru Utama di Monasmuda Institute Semarang. Pengajar Ilmu Politik FISIP UMJ.
Yahya Amin bin Abdul Aziz, saya memanggilnya Mas YA, telah kembali ke hadirat Allah Swt. pada Jum’at 18 November 2022 sore lalu. Saya agak menyesal, baru ta’ziyah pada hari Sabtu pagi, karena mengira akan dimakamkan pada hari itu. Masih beruntung karena Mas YA dimakamkan tak jauh dari kediamannya, sehingga saya bisa melihat tempat terakhirnya. Tak bisa lagi melihat orang yang sangat baik ini. Namun, kenangan saya tentang Mas YA tak akan pernah terlupakan. Sebab, kenangan itu tidak hanya terdapat dalam pikiran saya, tetapi juga berwujud pada beberapa rumah dan usaha domba di Planet NUFO.
Saya mengenal Mas YA pertama kali di FB belasan tahun lalu dan saya ketahui sebagai salah satu aktivis HMI di IPB. Dia adalah senior jauh. Saya melihat, pernyataan-pernyataan Mas YA di FB banyak sekali yang sesuai dengan pandangan saya, terutama tentang politik, aktivitas sosial, dan juga shadaqah. Dan yang pasti karena Mas YA adalah tipe orang yang super optimis dan selalu berpikir besar. Kami menjadi lebih dekat, karena Mas YA mengundang saya menjadi pembicara di Perhutani Ngawi. Saya tidak ingat persis kapan undangannya itu. Tapi kira-kira lima atau enam tahun yang lalu. Dalam pertemuan langsung ini, saya merasakan bahwa Mas YA adalah senior yang sangat egaliter. Perbincangan kami sebelum dan sesudah acara, seperti orang yang sudah sering berjumpa, bahkan seperti saudara. Pulang saya membawa oleh-oleh berbagai jenis madu.
Tahun 2020, tahun kedua setelah saya membangun Pesantren-Sekolah Alam Nurul Furqon (Planet NUFO) di Desa Mlagen, Kecamatan Pamotan, Kabupaten Rembang, Mas YA mulai bertanya-tanya tentang konsep dan visi missi Planet NUFO. Saya menjelaskan intinya untuk mempersiapkan lebih dini, kader yang berkualitas yang memiliki ilmu, harta, dan kuasa. Sebab, para mahasantri di Pesantren Monash Institute Semarang saya anggap sudah relatif terlambat. Jika dibina sejak dinia, mulai SMP dan SMU, hasilnya bisa diharapkan lebih optimal. Visi itu lebih memungkinkan diwujudkan di desa saya, karena lahan masih luas, harganya terjangkau, dan suasana mendukung.
Ketika saya menaikkan desain rumah kayu yang akan saya bangun di Planet NUFO, Mas YA memberikan respon antusias. Bukan hanya dalam kata-kata, tetapi tak lama setelah itu tiba-tiba datang kiriman dua truk kayu Pinus besar-besar. Diameter rata-ratanya mungkin tak kurang dari 0,5 meter. Bersamaan dengan itu, datang lagi kayu jati enthon yang menurut Mas YA awalnya mau dibeli dari seorang temannya Mas Agus Ahmad Fadholi (katanya akrab disapa Gus Fadh) yang ternyata juga senior HMI, tetapi temannya ini tidak mau dibayar. Kayu inilah yang menjadi usuk beberapa lokal kelas di Planet NUFO, persis sesuai kebutuhan kekurangan usuk saat itu.
Tak lama kemudian, Mas YA kirim lagi kayu Gmelina yang saya tidak pernah mengenalnya. Setelah kayu ini saya olah, jadilah dinding rumah kayu unik yang sekarang saya tempati untuk menyimak hafalan para santri saat saya ke Planet NUFO. Sedangkan kayu pinus yang besar-besar itu, saya gunakan untuk membuat rak buku/kitab santri dan sebagian besarnya saya jadikan sebagai lantai untuk 6 rumah kayu ukuran mungil yang kini menjadi tempat tinggal para santri. Setiap rumah diisi oleh 8 orang santri. Salah satunya menjadi sekretariat bersama organisasi ekstra santri-murid, yaitu: IPM, IPNU, PII, dan HPI.
Jiwa aktivis Mas YA tak pernah surut walaupun Mas YA pensiun. Dalam komunikasi kami, Mas YA akhirnya menyatakan bersedia untuk membantu memberikan panduan kepada para santri di Planet NUFO agar bisa lebih cepat menjadi pengusaha. Setiap kali hendak menjenguk salah satu puteranya yang tinggal di Lasem, Mas YA bisa dikatakan selalu berkabar dan bisa mengalokasikan waktu untuk berbincang dengan para santri-murid Planet NUFO tentang pengembangan usaha mereka. Bahkan istrinya, Mbak Diah tak ketinggalan, memberikan perspektif tentang keperempuanan kepada para santriwati. Anak-anak sangat senang, karena walaupun mereka sangat senior, tetapi gaya mereka berdua tak ubahnya ustadz/ah di Planet NUFO yang semuanya masih sangat muda.
Mas YA orang yang sangat sigap dan konkret. Ketika saya ingin membuat tower yang tinggi sampai 17 meter dan bertanya tentang jenis jati yang memungkinkan untuk tumbuh setinggi itu, tak lama setelah itu, Mas YA membawakan belasan bibit jati yang saya maksudkan. Dan memang benar, baru kurang dari dua tahun, pohon jati itu sudah tinggi menjulang. Ketika melihat jati itu di lokasi di depan Masjid Mlagen, saya diajari secara langsung cara merawatnya agar tumbuh dengan terus optimal, sehingga bisa segera dimanfaatkan untuk meletakkan tandon air di atasnya.
Satu idenya yang sedang dalam perencanaan saya adalah membuat arboretum. Saya sudah menyediakan tanahnya, Mas YA juga sudah saya tunjukkan lokasinya dan menurutnya cocok. Mas YA meyakinkan saya bahwa kalau Planet NUFO punya arboretum, maka akan menjadi lembaga pendidikan yang tak main-main. Sebab, kalau saya tidak salah dengar dan tangkap ucapannya, yang saat ini punya arboretum hanya IPB dan Perhutani. Idenya ini saya sambut dengan antusias karena arboretum ini justru sebelumnya saya imajinasikan, tetapi saya belum mengenal kata arboretum. Setelah Mas YA memperkenalkan kata itu, saya mendapatkan konsep yang bisa disinergikan dengan ide saya sebelumnya. Karena ide-ide sinergis inilah, saya makin akrab dengan Mas YA. Kedekatan itulah yang membuat saya merasa sangat kehilangan.
Melihat tanda-tanda menjelang meninggal, terutama gerakan jarinya yang terus memutar tasbihnya dalam keadaan sudah tak sadar, saya yakin bahwa Mas YA husnul khatimah. Dan semoga Allah menganugerahkan rumah-rumah yang paling indah di dalam kawasan arboretum surgawi. Aamiin. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Comments