Pendidikan pada dasarnya merupakan usaha memanusiakan manusia. Maksudnya adalah pendidikan berupaya untuk meningkatkan potensi yang ada dalam diri manusia, sehingga mampu hidup dengan optimal, memaksimalkan eksistensi sebagai bagian dari anggota masyarakat, dan mempunyai dasar nilai moral dan sosial untuk menjadi pegangan dalam hidup secara komprehensif. Oleh sebab itu, pendidikan karakter dipandang sebagai upaya sadar untuk mencapai tujuan dan upaya untuk mendewasakan anak.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata menimbulkan dampak lain yang mengarah kepada sisi negatif. Salah satu contoh konkret yang kini telah dirasakan khalayak masyarakat adalah dekadensi akhlak/karakter islam dan spiritualitas. Zaman 4.0 menjadikan generasi muda bebas mengakses informasi di pelbagai media, bahkan menonton yang kadang kala tidak sesuai dengan batas konsumsi umurnya. Mereka cenderung meniru apa yang dilihatnya padahal mengubah haluan karakternya.

Pendidikan karakter, meskipun sudah marak digembar-gemborkan sebagai suatu kepentingan dan kemendesakan dalam kinerja pendidikan bangsa, tampaknya tidak sehebat dengungnya ketika sampai di lapangan. Pendidikan karakter tampak pelan-pelan semakin menghilang dan kurang mendapat perhatian yang serius dari kalangan pendidik. Jadi, mengapa pendidikan karakter sekarang ini mulai mengalami degradasi?

Watak dan karakter seorang anak sesungguhnya dapat dibentuk melalui pendidikan. Ibarat kertas putih bersih, maka seperti itulah perumpamaan bagi seorang anak yang baru lahir. Corak dan pendidikan karakter anak tergantung dari goresan pendidikan yang diberikan oleh orang tua dan lingkungan. Kualitas karakter anak merupakan aspek penting yang menentukan kemajuan bangsa ke depan. Terlebih lagi anak usia dini, karena di usia seperti itu merupakan masa yang kritis dan sangat strategis bagi pembentukan karakter seseorang

Baca Juga  Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana

Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, informal dan informal. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal terbentuk di Taman Kanak-Kanak (TK), Raudlatul Atfal (RA) atau yang sederajatnya. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan non-formal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Tempat Penitipan Anak (TPA) dan bentuk lain yang sederajat. Sedangkan pendidikan anak usia dini pada pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

Pada negara Indonesia, adanya korupsi, prostitusi, tawuran antar pelajar atau tawuran antar mahasiswa dan perilaku merusak diri seperti mengonsumsi narkoba, minuman keras merupakan bentuk representatif tentang rendahnya karakter anak bangsa. Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila yang seharusnya dapat menjadikan negara Indonesia menjadi negara yang bermoral dan bermartabat, lambat laun memudar. Moral yang tereduksi berdampak pada runtuhnya sikap sopan santun, gotong-royong saling menghargai dan sebagainya. Pada akhirnya, masyarakat akan mudah di adu domba oleh pihak tertentu yang memang sengaja bertujuan untuk menjatuhkan bangsa Indonesia.

Salah satu tokoh ilmuwan Barat, Martin Luther King berpendapat bahwa “Intellegence plus character that is true aim of education.” Kecerdasan ditambah karakter itulah tujuan yang benar dari pendidikan. Selain itu, mengingat Rasulullah SAW sebagai manusia yang mempunyai suri tauladan (karakter) yang baik (QS. al-Ahzab: 21), manusia harus menjadikannya panutan dalam bertingkah laku. Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup Nabi dan umatnya, patut direfleksikan sebagai pondasi dasar dalam kehidupan.

Baca Juga  Puasa dan Takwa

Sahabat Rasulullah, Ali bin Abi Thalib juga menjadikan al-Qur’an sebagai manifestasi karakter diri dengan lebih mendalam. Ia menempatkan pendidikan sebagai basis implementasi karakter Qur’ani. Konsep karakter Qur’ani dalam perspektif Ali bin Abi Thalib muncul menjawab tantangan di atas. Ia berfungsi sebagai alat pengontrol manusia, supaya batasan kemanusian tidak terciderai oleh modernisasi yang mendorong kepada kemiskinan moral. Allah swt berfirman dalam QS. al-An’am ayat 38:

            وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا طَٰٓئِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّآ أُمَمٌ أَمْثَالُكُم ۚ مَّا فَرَّطْنَا فِى ٱلْكِتَٰبِ مِن شَىْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ

Artinya: “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”

Al-Qur’an dijadikan sebagai sumber pendidikan yang pertama dan utama karena ia memiliki nilai absolut yang diturunkan oleh Tuhan. Allah swt menciptakan manusia dan Dia pula yang mendidik manusia, yang mana isi pendidikan itu termaktub dalam kalam-Nya. Tidak satu pun persoalan pendidikan yang luput dari jangkauan al-Qur’an.

Ali bin Abi Thalib merumuskan konsep 7X3 Menurut Ali bin Abi Thalib, terdapat tiga pengelompokan dalam cara memperlakukan anak yang sangat berpengaruh terhadap pola karakter atau moral anak sehari-harinya. Tiga momen tersebut adalah:

  1. Kelompok 7 Tahun Pertama (Usia 0-7 Tahun), Perlakukan Anak Sebagai Raja.

Melayani anak di bawah usia 7 tahun dengan sepenuh hati dan tulus adalah hal yang terbaik. Banyak hal kecil yang setiap hari dilakukan orang tua akan berdampak baik bagi perkembangan perilakunya. Contohnya, ketika orang tua langsung menjawab dan menghampiri anak ketika ia memanggilnya, meski sesibuk apapun, maka kelak anak juga akan melakukan hal yang serupa. Tatkala orang tua bosan mengusap pungung hingga anak tertidur, maka kelak ia pun akan melaukan hal yang sama.

  1. Kelompok 7 Tahun Kedua (Usia 8-14 Tahun), Perlakukan Anak Sebagai ‘Tawanan’
Baca Juga  Indonesia Logis dan Pendidikan Kritis

Usia 8-14 tahun adalah usia yang tepat bagi seorang anak bagi seorang anak untuk diberikan hak dan kewajiban tertentu. Rasulullah SAW mulai memerintahkan seorang anak untuk sholat wajib mulai usia 7 tahun, dan memperbolehkan orangtuanya memukul anak tersebut (atau menghukum dengan hukuman seperlunya) ketika ia telah berusia 10 tahun, namun meninggalkan salat.

Untuk itu, usia 7-14 tahun adalah saat yang tepat dan pas bagi anak-anak untuk diperkenalkan dan diajarkan tentang hal-hal yang terkait dengan hukum-hukum agama, baik yang diwajibkan maupun yang dilarang. Anak sudah beranjak baligh, harus diajarkan hukum-hukum Islam. Hukuman dan hadiah/ pujian (reward and punishment) akan sangat pas diberlakukan pada usia ini, karena anak sudah bisa memahami arti dari tanggung jawab dan konsekuensi. Namun demikian, perlakuan pada setiap anak tidak harus sama karena setiap anak itu unik.

  1. Kelompok 7 Tahun Ketiga (Usia 15-21 Tahun), Perlakukan Anak Sebagai Sahabat.

Usia 15 tahun adalah usia umum saat anak menginjak akil baligh. Sebagai orangtua, kita sebaiknya memposisikan diri sebagai sahabat dan memberi contoh atau teladan yang baik seperti yang diajarkan oleh Ali bin Abi Thalib Ra.

Wahyuni Tri Ernawati
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang. Bidang Internal Kohati HMI Cabang Semarang 2022-2023

YAHYA AMIN PUNYA RUMAH DI PLANET NUFO

Previous article

Mengenal Silent Spring: Prediksi Rachel Carson

Next article

You may also like

Comments

Ruang Diskusi