Di depan pintu ruang rindu, terselip rasa kebingungan, gelisah, sedih tapi bahagia. Mengenai rindu, kata yang bisa dimaknai rasa ingin bertemu, mengulang kisah manis yang telah berlalu antar dua insan atau lebih.
Rindu itu datang tanpa memberi isyarat ataupun kabar. Banyak yang bilang bahwa obat rindu adalah bertemu. Tapi sayang, sepertinya tidak semua orang bisa merasakan temu di kala rindu itu datang, sedangkan hati hanya bisa menahan kegaduhan. Bagi para pejuang LDR (long Distance Relationship), pasti sudah paham bagaimana menahan rindu tanpa bertemu, bagaimana rasa yang membuncah di dada kala rindu melanda.
Semakin kuat perasaan rindu, semakin sulit pula rindu itu untuk dihilangkan. Tapi tak jarang kita harus semakin kuat menahan dan bersabar. Sesekali kita juga harus kuat membuangnya jauh-jauh karena rindu itu sedang datang tidak tepat pada waktu dan jarak.
Namun, tidak ada yang harus disalahkan dari dua hal tersebut, karena jarak dan waktu tidak mengenal apa-apa mengenai rindu. Menjadi pribadi yang sabar dan tenang. Namun, penuh keyakinan setidaknya akan membuat diri menjadi lebih bisa mengendalikan emosi dan rindu. Manusia yang memahami mengenai perasaan rindu akan menganggap bahwa rindu adalah hal yang fitrah dan normal yang dimiliki setiap manusia. Rindu dikesankan kepada orang yang dicintai.
Pada wadah ini, aku sedang ingin menuliskan rinduku kepadanya, seorang laki-laki yang kupanggil “Ayah”. “Aku mencintainya, meskipun aku tak pernah mengatakan langsung kepadanya”. Telah lama aku tak melihat wajah indahnya lagi, yang dulunya setiap saat memberikanku ketenangan dan menasihatiku dengan kata-kata penuh arti.
Diri pun merasa hampa ketika tak mendengar suaranya lagi. Aku ingin bicara, “Aku ingin bercerita” padanya, semua yang aku alami selama ini. Aku ingin mendengar suaranya menasihatiku, dan apa yang telah dia berikan kepadaku semua tidakkan pernah terlupakan sepanjang perjalanan hidupku, dan kini aku masih berada di kota orang dengan mimpi yang keberhasilannya akan ku persembahkan khusus untuknya.
Walaupun terkadang sikapnya cuek terhadapku, akan tetapi di balik sikap cueknya tersimpan kelembutan yang begitu besar. Ayah itu sangat istimewa, dia tidak akan menyerah dengan apa yang dilakukan. Sosok ayah yang menjadi panutan. Dia tidak pernah mengeluh di depan keluarganya, di kala sakitpun dia masih bisa menyembunyikan rasa sakit tanpa ada keluhan yang terucap dari mulutnya.
Ayah adalah bentuk kasih sayang tuhan kepadaku yang tidak akan pernah luntur dimakan usia. Semangat yang ia miliki membuatku bisa duduk di bangku kuliah. Ayah adalah pahlawanku, ibu idolaku, dan adik-adik penyemangatku.
Ada sebuah moment yang terjadi hanya beberapa menit, tetapi sampai saat ini moment tersebut masih terngiang-ngiang di kepala. Ketika suatu malam di meja makan keluarga aku protes kepadanya mengenai saldo tabungan sekolah yang lebih sedikit ketimbang teman-teman yang lain.
Kemudian ayah menjawab “kita boleh iri dengan seseorang, seorang yang berilmu lalu mengajarkan ilmu tersebutn kepada orang lain dan seorang yang berlimpah harta yang hartanya dibelanjakan di jalan yang benar. Kamu boleh iri dalam dua hal tersebut dan ayah harap kamu bisa lebih baik diantara orang-orang tersebut”. Katanya dengan meyakinkan. Ada rasa semangat di dada, secara spontan aku mengamini apa yang dikatakan ayah. Dan aku baru tau ketika sudah remaja, bahwa yang dikatakannya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari. Ada rasa bangga yang lebih lagi terhadapnya, sosok yang tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi akan tetapi ia cakap dalam mengajarkan ilmu pengetahuan dan moral bagi anak-anaknya.
Kami pernah setiap hari bertemu dan bertegur sapa, sampai akhirnya waktu memisahkan kami dengan perlahan namun pasti. Kamis sore pukul 16.10 WIB perkuliahan masih berlangsung, ponselku bergetar, ku lihat ada nama saudara yang tertera di layar ponsel. Aku izin keluar kelas untuk menerima telfon dari saudara.
Dari balik telfon terdengar suara saudara yang mengabarkan bahwa “Ayah sedang koma di rumah sakit”. Mendengar kalimat tersebut, tanpa ku sadari air mata telah terjun membasahi pipi. Dalam hati “Ada apa lagi ini, Tuhan? Rencana indah apa lagi yang akan Engkau persembahkan untukku?”. Keesokan harinya aku pulang dan langsung menuju ke rumah sakit tempat ayah dirawat.
“Assalaamu’alaikum”. Aku langkahkan kakiku memasuki ruang yang bertuliskan UGD. “Wa’alaaikumussalam Wr.Wb”. Balas ibu. Di ruang tersebut aku lihat ada Mbah putri, ibu, dan adek gantengku, karena dia laki-laki sendiri di antara aku, dan adek bungsuku perempuan. Mereka yang berada di ruangan tersebut terlihat sangat tegar tapi ntah hatinya. Aku melihat seisi ruangan aku cari sosok pahlawanku dan akhirnya aku melihat sebuah keranjang tidur pasien, di keranjang tersebut aku melihat sesosok tangguh yang pernah aku kenal, kini berbujur kaku dengan mata tertutup. Ku salim dengan membisikkan “Ayah, Mba Pi pulang” dengan nada yang bergetar karena menahan tangis di dada, rasanya ingin kutumpahkan air mata ini, tapi melihat mereka berusaha tegar, akupun haru mencoba untuk berpura-pura tegar seperti mereka. Respon ayah, ia hanya meneteskan air mata dengan mata masih terpejam.
Aku senang melihat responnya, walaupun tidak melalui kata. Aku bisikkan kembali sambil menyeka air matanya. “Ayah, ayah harus sehat, tidak usah memikirkan apapun yang penting ayah sehat, kata ayah, ayah ingin datang diwisudanya, Mba Pi kan? Mba Pi janji akan lulus dengan secepat mungkin.” Tidak tahan lagi aku menahan air mata ini, sesekali ku hapus air mataku yang terlanjur jatuh, dan aku menyerah. Aku tidak bisa lagi menahan air mata yang telah penuh, aku ijin ke ayah untuk keluar ruangan sebentar. Di luar ruangan aku tumpahkan segala kesedihanku, aku menangis sejadi-jadinya. Rasanya ingin protes ke tuhan. Tapi tidak pantas untuk diri ini protes kepada-Nya.
Tiba-tiba adek datang “ Mba Pi, dipanggil ibu ke dalam”. Ku jawab “Ada apa, Dek?”. Tanpa ada firasat apapun aku langsung ke ruangan. Dan ketika aku sampai di dalam ruangan itu kembali, dari mataku, aku melihat beberapa dokter dan suster mengelilingi ayah. Aku datangi ibu, ibu yang dari awal terlihat tegar, tertumpahkan air matanya, aku peluk, aku berusaha menenangkannya walaupun aku sendiri masih belum percaya dengan kejadian hari itu. Setelah dokter berusaha menolongnya, tetapi tuhan lebih menyayanginya. Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun. Pecah semua air mata yang sedari tadi terbendung.
Terima kasih tuhan, telah Engaku berikan kesempatan kepada kami sosok ayah yang luar biasa hadir di dalam keluarga. Terima kasih kau telah angkat rasa sakitnya, semoga senantiasa Engkau berikan kebahagiaan di sisiMu. Dan kini ketika aku menelfon rumah. Hanya suara ibu yang aku terima di balik layar ponsel. Diantara bunga mawar yang indah di muka bumi ini, ayahlah yang paling indah, sehingga tuhanpun memilihnya untuk ada di samping-Nya.
*Oleh Silfiana Nur Indah Sari, Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan di UIN Walisongo