Sumber nash agama Islam memang telah ‘berhenti’, namun pemikiran yang melingkupinya masih terus melaju hingga masa kini, sebut saja penafsiran atau pemikiran tentang respon individu terhadap sebuah teks (al-Qur’an dan al-Hadits). Kemandekan sumber pijakan kehidupan itu ditandai dengan wafatnya sang pembawa ajaran, yakni Nabi Muhammad Saw. Pasca wafat Nabi, tentunya tak muncul lagi firman maupun sabdanya, namun kehidupan akan terus berjalan dan tentu saja manusia seusainya akan menemui berbagai problematika yang dijumpai dalam intensitasnya bergesekan dengan individu lain.
Kegelisahan berikutnya adalah, apakah kemudian teks itu hanya dianggap sebagai benda mati yang tidak mampu memberikan atsarnya bagi kehidupan? Atau mampukah manusia berikutnya bersikap bijak seperti Nabi? Atau mampukah manusia setelah Nabi mengistinbatkan hukum terhadap suatu perkara?
Shalih likulli makan wa likulli zaman adalah kalimat yang sering dipakai dalam menggambarkan keabsahan hukum Islam yang fleksibel, lentur, dan mampu menjawab setiap problematika hidup umat. Interaksi Rasulullah dengan sahabat dalam mengatasi realitas sosiologis, tidak mengalami problematika metodologis. Keberadaan Rasulullah yang menjadi tumpuan para sahabat saat menjumpai problematika, -mereka memiliki akses secara langsung untuk mengadakan dialog bersama Rasulullah- memberikan sebuah ketentraman jiwa dalam menghadapi masalah-masalah yang dijumpai.
Namun, kondisi ini, tentunya berbeda dengan keadaan pasca wafat Rasul, sahabat banyak dihadapkan dengan persoalan baru yang perlu mendapatkan legalitas syari’ah. Problem solving yang mereka lakukan adalah ijtihad melalui al-Qur’an dan al-Sunah serta tindakan normatif Rasulullah yang pernah mereka saksikan dan alami bersamanya.
Pada abad ke-2 H, kedudukan ijtihad sebagai istinbath hukum semakin meluas, sesudah masa itu muncullah mazhab-mazhab dalam bidang hukum Islam dimana hal itu menunjukkan betapa majunya perkembangan dalam bidang tersebut. Pada masa ini, para mujtahid lebih menyempurnakan lagi karya ijtihadnya dengan cara meletakkan dasar dan prinsip-prinsip pokok dalam berijtihad yang kemudian disebut “ushul”.
Langkah dan metode yang mereka tempuh dalam berijtihad melahirkan kaidah-kaidah umum yang dijadikan pedoman oleh generasi berikutnya dalam mengembangkan pendapat pendahulunya. Dengan cara ini, setiap mujtahid dapat menyusun pendapatnya secara sistematis, terinci, dan operasional yang kemudian disebut “fiqh”.
Pemikiran individu yang kemudian diterima oleh masyarat, berikutnya mengkristal dan menjadi sebuah mazhab. Adanya pemikiran ini berupaya memberikan jawaban atas realitas yang ada berdasarkan pemahaman pemikir terhadap teks. Pada masa periode ijtihad dan keemasan fikih Islam, telah muncul mujtahid kenamaan seperti: Imam Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hanbali, al-Auza’i, dan Al-Zahiri. Masa tersebut hanya berlangsung dua setengah abad, kemudian perkembangan hukum Islam mengalami kemunduran; ditandai secara kualitas dan kuantitas semangat mujtahid menurun. Di antara mereka ada yang kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunah, namun kecenderungan yang terjadi mereka mencari dan menerapkan produk-produk ijtihad para pendahulunya.
Seiring di tengah-tengah pesatnya perhatian ulama terhadap fiqih dan munculnya kajian-kajian fiqih di mana-mana, pada awal tahun 300-an H, mulai terjadi pemasungan berpendapat. Khalifah al-Makmun, al-Mu’tashim dan al-Watsiq, berusaha keras memaksakan ideologi mu’tazilah, padahal para ulama dan fuqaha berada di luar dukungan itu, dan bahkan mereka mengancam al-Makmun atas dukungannya terhadap Mu’tazilah.
Sebagaimana Dr. Farouq Abu Zaid melukiskan kondisi fiqih saat itu, bahwa kondisi Islam mengalami kerapuhan sejak abad 14 M, sampai jatuhnya Baghdad membawa pula rapuhnya kondisi fiqih. Akibatnya pintu Ijtihad tertutup dan terbelenggu akal pikiran. Ini akibat logis dari hilangnya kebebasan berpikir dan kesibukan massyarakat dalam kehidupan matrealistis. Berkembanglah semangat taklid di kalangan fukaha, dalam menghadapi masalah kasus hukum, mereka tidak menggunakan akal pikiran, tetapi lebih mengikat pada pendapat-pendapat ulama pendahulunya.
Seiring di tengah-tengah pesatnya perhatian ulama terhadap fiqih dan munculnya kajian-kajian fiqih di mana-mana, pada awal tahun 300-an H, mulai terjadi pemasungan berpendapat.
Sebuah pemikiran tidak akan berkembang dan menyebar tanpa adanya dukungan dari penguasa. Sebab, pemikiran yang bertentangan dengan kepentingan penguasa dikhawatirkan akan menuai pertentangan dari khalayak dan dianggap mengancam kedudukan penguasa.
Kejumudan berpikir juga bisa disebabkan oleh kenyamanan para akademisi terhadap pemikiran-pemikiran yang dahulu. Banyak yang hanya menginduk tanpa adanya sebuah proses peninjauan kembali -yang disesuaikan dengan problem hari ini-. Selain itu juga syarat-syarat yang sangat berat yang harus dipenuhi dalam berijtihad mengakibatkan keengganan atau sikap inverior, merasa tidak pantas. Sebab itulah, terjadilah kemandekan dalam berijtihad.
Qodri Azizi dalam bukunya, Reformasi Bermahzab menyatakan perlu adanya redefinisi bermazhab untuk menepis anggapan di atas. Revisi yang ia tawarkan adalah tidak harus mengikuti pendapat Imam mazhab dari kata per kata, namun bisa dalam metodologinya, bahkan juga untuk pengembangan metodologi. Sesungguhnya adanya karya-karya para intelektual muslim pada masa itu tentunya banyak memberikan pembahuran pemikiran dalam merespon teks –menghidupkan teks yang secara lahir adalah benda mati-.
Hemat penulis, orang sah-sah saja berijtihad, tapi nanti akan terseleksi dengan sendirinya oleh alam (baik politik, hukum, ideologi, dan sosial budaya). Banyak geliat pembaharu muslim membangun, merevisi dan mengkonsep metodologi sumber hukum Islam dan ini tugas yang belum selesai dari kondisi sosiologis-historis yang terus berkembang-berkelindan dari realitas yang menuntut jawaban dari masyarakat.
Namun yang jelas, mazhab telah memberi pijakan baru untuk tidak ada habisnya memberi arah pemikiran umat Islam untuk menatap masa depannya yang lebih realistis dan diterima masyarakat dunia Islam. Sehingga, adanya mazhab mampu memberikan kontribusi metodologis atau bermazhab secara manhaji, bukan sekadar qauli. Wallahu a’lamu bi al-shawaab.
Mantap Bu, Dir
Saya tunggu tulisan berikutnya 👉