Tirani Kampus Kita

Beberapa tahun yang lalu berpikir untuk melawan adalah hal yang masih masuk akal. Hari ini, sudah terlihat merekalah pemenangnya. Membangkang bukanlah hal yang salah. Hari ini kita lemah atau tak kuat melawan. Rambut mereka klimis, baju mereka rapi seolah tidak ada dusta yang  tersemat .Tidak ada diskusi tentang negeri, mendiskusikan tuhan dianggap sesat, diskusi tentang kampus isinya bersenang-senang.

Kita belum kalah, masih ada waktu untuk berbenah. Silahkan saja perkaderan hari ini diatur oleh mereka, tetapi kita harus mengawal. Sebagai negara yang menganut asas demokrasi harus ada penyeimbang. Mengkritik ketika kinerja mereka salah adalah hal yang sangat wajar dilakukan.

Belum lagi program kerja yang telah disusun rapi di atas kertas, apakah semua sudah sesuai dengan kenyataan dengan apa yang diinginkan? Sesuai dengan yang tertulis di dalam visi misi yang selama ini di dengungkan? Jangan hanya terlena. Duduk diam di atas singgasana, karena janji-janji telah ditunggu.

Sadarlah, akan jiwa raga yang senantiasa membawa nama kebanggan atas suatu usaha bukan dari golongan, melainkan atas nama perjuangan, demi pelaksanaan tata cara serta aturan main yang relevan tak lekang oleh zaman.

Dalam konstelasi pemilihan di kampus, kaulah yg pantas jadi pemenang. Dalam dukungan pun, layak dikatakan pemenang. Meskipun lawan kalah dalam dukungan, kaulah pemenang secara aklamasi, secara konstitusi yg berlaku, selayaknya mahasiswa mengamini.

Melihat keheningan dalam kegiatan mahasiswa tingkat Fakultas, di salah satu Universitas Negeri di Provinsi Lampung, sudah saatnya diisi dengan generasi yang mampu mengkordinir anggotanya, sehingga kegiatan-kegiatan dapat berjalan sesuai  pola dengan gagasan dan pertarungan ide yg berlaku.

Dialah pemenang, pemenang dihati , dan pikiran mahasiswa. Ketika sebuah hati dipenuhi dengan nafsu, pikiran keruh akan kekuasaan konstelasi dikuasai untuk menghadirkan seorang pemenang, sia-sia sudah idealisme keistimewaan mahasiswa.

Kau bermain di lingkaran gadai-menggadai, ikat-mengikat, serta caci-mencaci. Nampak indah bagimu jika itu nyata terwujud, diam terkoyak tanpa suara sambil menutup mata yang basah akan penyelasan. Aku tertawa sambil berkata, “yasudahlah. kau pecundang kekuasaan yang gila jabatan.”

Aku buta padamu, kabut menghalangi setiap pandangku, Aku tak amat kenal, dia juga tidak tahu menahu soal aku. Namanya tersohor di lingkungan kampus. Ia punya mulut yang culas, mata yang lebar melotot, suara tegas, juga kumis. Tampan. Dia aktif dalam perkuliahan, tentu saja. Tapi tidak membuktikan engkau adalah yang terbaik.

Dia murah senyum. Santun kepada siapa saja, kadang tak kenal ya dia senyum saja. Gaya bicaranya tenang, pendengar yang baik. Ini kata temanku yang satu organisasi dengannya. Tapi sepertinya memang iya. Apakah dia tenang untuk menenangkan atau karena tak tahu bagaimana bersikap?

Aku tak kagum, tertarik, apalagi jatuh hati. Hanya saja dia kelewat terkenal jadi aku tahu awan-kawanku sering menceritakannya. Katanya dia ditegur salah satu dosen karena dia belum menyelesaikan beberapa persyaratan untuk mengakhiri masanya sebagai mahasiswa.

Mahasiswa lain banyak setuju dengannya. Dia dianggap benar. Selalu. Tapi, ya seperti aku ini, ceritanya di belakang, marah-marah di belakang, atau teror dari belakang, mendukung pun di belakang. Dia tidak. Dia selalu muncul di muka. Tak heran kalau dia jadi pemimpin kampus.

Seperti kata Jostein Garder dalam buku Dunia Shopie yang belum siap aku baca. Di tumpukan kartu remi akan ada satu joker. Dia joker itu. Mahasiswa lainya? Sulit kugambarkan.

Ada jenis seperti aku kuliah, tugas, cerita tentang apa saja ketika istirahat kemudian pulang, sekali-kali nonton film-film sejarah atau nongkrong. Lain lagi yang sibuk dengan organisasi, menyerukan idealisme. Ya, cuma berseru-seru saja tidak ada bukti. Ada spesies lain lagi, orang-orang yang lihai berpolitik kampus. Kadang-kadang seperti bermuka, dua dekat sama dekan dan dekat sama mahasiswa. Dekat saja namun tidak satu pandangan.

Kalian tahu kerang mutiara? Meski masuk dalam lumpur di dalamnya tetaplah berisi mutiara. Periglipta reticulata yang memiliki mutiara tak perlu naik ke permukaan untuk menunjukkan kilaunya.

Oleh: Wildan Hanafi, Mahasiswa Pengiat Literasi Universitas Lampung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *