Sengatan mentari siang ini tak begitu terik. Mendung syahdu mengatapi langit Sekaran. Gontai langkah kakiku menyusuri sepanjang jalan gedung tempat para mahasiswa berdialektika. Kutapakkan sedikit demi sedikit sepatu tipis menuju Masjid Ulil Albab. Menghela nafas sejenak karena dada mulai sesak, lalu perlahan menghembus bersama karbondioksida bercampur aroma cerita lama yang kembali menyapa. Memaksaku bertualang lagi pada kisah dahulu kala. Logika memberontak, “Hei, cukup! Jangan putar lagi memori lama yang kini usang. Jangan cicipi lagi kenangan-kenangan manis yang kini telah pahit.”
Sejenak rasaku membaik. Kuinjakkan kaki di atas sejuk lantai rumah Tuhan untuk melaksanakan empat rakaat. Ah, mengapa kelebat senyum teduhmu kembali menghampiri? Tatapan senduku menapaktilasi jejak pertemuan kita. Tangga bertuliskan “batas suci” itu, tempat kudapati kau duduk menungguku sembahyang sambil mengayunkan pena yang menari-nari di atas kertas polos, merangkai rencana strategis masa depan. Kutatap dari kejauhan, lalu diam-diam kuabadikan dalam galeri ponsel sederhanaku. Mungkin inilah salah satu yang menjeratku, karena pandanganmu yang visioner dan jauh ke depan, bukan sekadar nyaman tak beralasan.
“Hei, kau itu suka curi-curi kesempatan,” tegurmu sambil menoleh ke arahku. Lalu kujawab hanya dengan senyuman.
“Mau makan atau minum apa?” pertanyaanmu membuyarkan lamunan.
“Yang panas dan pedas,” ucapku.
Sejenak dahimu terlipat keheranan, “Seblak? bakso? jangan ya. Kan kamu baru saja periksa ke klinik tadi. Nanti malah sakit lagi gimana?”. Kau cemas karena memang saat itu aku sedang sakit tenggorokan.
“Bukan itu yang kumaksud. Saya mau jahe panas.”
“Jahe ternyata ya. Kukira yang panas dan pedas hanya kritikan dosen pembimbing,” tawa kecil namun ditunggangi ejekan kau lepaskan padaku.
“Kau tahu apa filosofi jahe?”, jiwa filsufmu mulai menampakkan diri.
“Apa?”
“Menghangatkan dan menyembuhkan tanpa efek samping, bukan seperti obat di apotek itu. Kamu jadi jahe ketika aku terluka ya? Bisa, kan?”
Tak terasa bibirku mengembang karena terngiang dialog pengundang rindu yang tak bertuan. Ya, rindu yang terus datang walau tak diundang. Rindu yang merindu untuk segera dipecahkan dalam bingkai pertemuan yang tak pernah dipihakkan oleh kesempatan. Rindu yang tak juga bosan dalam penantian. Seharusnya sekarang kita sedang meneguk secangkir jahe panas untuk memerangi virus. Tetapi aku lupa, Sekaran yang dulu tak lagi bersahabat dengan sekarang.
Tuan, biar dulu kurayu Tuhan. Agar kita kembali dijumpakan atas Ridlo Sang Rahman. Supaya kau dan aku menjadi kita di masa depan. Mewujudkan sinergi dalam menyatukan dan menyatakan gagasan. Siang itu, Rabu, 3 Juli 2019. Tak akan terlupakan. Bukankah kau juga demikian?
Semarang, 4 April 2020.
Oleh: Ilvatina Layalia, Perantau Bumi Emansipasi