Sekali Aksi Lebih Baik Dibanding Seribu Kuliah

Salah satu elemen penting sebuah pegara adalah pemuda. Frase paling sering didengar jika disebut kata pemuda adalah “harapan bangsa”. Begitu beratnya tanggung jawab yang harus diemban, sehingga seluruh warga negara menaruh harapan kepada pemuda. Pemuda yang baik tentunya akan senantiasa tumbuh dan juga berkembang menjadi pribadi unggul dan mandiri untuk melaksanakan tugas mulia tersebut. Sayangnya, tidak semua pemuda berpikiran demikian.

Miris sekali jika merenungi nasib para pemuda era ini, utamanya para mahasiswa yang digadang-gadang sebagai agent of change, iron stock, dan social of control.  Mereka seringkali tergiurkan oleh canggihnya teknologi hingga lupa diri bahwa mereka adalah mahasiswa. Satu entitas yang tidak hanya kuliah-pulang kuliah-pulang, tetapi dituntut untuk memberikan peran besar untuk negara dan bangsa.

Di era informasi yang sedemikian terbuka aksesnya, rakyat dapat secara langsung menjadi “pengkritik” kekuasaan.  Dalam konteks ini, mahasiswa memiliki posisi yang strategis untuk mengambil peran sebagai penyambung lidah rakyat. Mereka berada pada titik tertinggi dalam struktur pendidikan di Indonesia. Ide dan gagasan mahasiswa untuk kemajuan negara ini dapat disalurkan melalui trilogi; diskusi,aksi dan publikasi. Diskusi dan publikasi (baca: menulis) menjadi “makanan” wajib mahasiswa idealis, sementara aksi adalah bentuk gerakan yang digunakan untuk menyuarakan aspirasi masyarakat Indonesia (Aziz, 2019).

Di tengah hiruk pikuk peran mahasiswa yang tidak maksimal, hadir sosok pembangkit gelora semangat para pemuda di Indonesia. Dr. Mohammad Nasih yang kerap disapa ‘Nasih’ seringkali memberi dorongan untuk memunculkan jiwa-jiwa kritis pada diri mahasiswa. Melalui lembaga perkaderan yang ia dirikan, Mohammad Nasih (Monash) Institute Semarang, Nasih mencoba bereksperimentasi untuk mewujudkan generasi yang unggul. Rumah perkaderan yang Pak Doktor dirikan sejak tahun 2011 ini terdiri dari mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia. Dari Lombok, Gorontalo, Jakarta, bahkan dari daerah-daerah kecil di pulau Jawa yang tidak terdeteksi oleh peta; Pati, Rembang, Demak, Purwodadi dan lainnya.

Menyatukan persepsi dan membangun jiwa kritis kepada orang ndeso (baca; desa) tentu tidak semudah mempengaruhi orang-orang yang terbiasa berpikir besar dan terbiasa berani berjuang. Nasih berusaha memberikan arahan dan wadah dalam mengasah jiwa kritis para disciples (baca; orang yang disiplin, sebutan untuk kader Monash Institute). Diantaranya dengan mengadakan kelas diskusi yang berusaha mengkritik kinerja pemerintahan. Tidak hanya itu, Pak Doktor melatih jiwa kepemimpinan para kader dengan meng-HMI-kan semua kadernya.

Berangkat dari pengalaman Nasih sebagai ilmuwan, ulama sekaligus aktivis. Alumnus Tafsir  Hadis  Institute Agama Islam Negeri Walisongo (sekarang UIN) Semarang ini sering diundang dalam diskusi atau seminar-seminar ke daerah-daerah di Indonesia. Kapasitasnya sebagai pengajar di Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI) dan FISIP UMJ menjadikan dirinya dikenal luas oleh akademisi di negeri ini, terlebih dalam bidang politik. Nasih secara formal memang lebih dikenal sebagai ilmuwan dan praktisi politik. Ini didasarkan atas tercapainya gelar doktor di bidang politik di Universitas Indonesia pada 2010.

Selain itu, pengalaman Nasih semasa masih menjadi mahasiswa diantaranya aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi terbesar dan tertua di Indonesia. Di HMI, Nasih telah melahap habis seluruh struktural, mulai dari tingkat komisariat, korkom, cabang, dan pengurus besar HMI.

Nasih selalu memperjuangkan kebenaran. Hal ini tidak sekedar Jarkoni; Iso ujar, ora iso nglakoni (baca: bisa berujar, tapi tidak bisa menjalankan). Ini dibuktikannya saat menjadi aktivis HMI, Nasih bisa melakukan aksi seminggu sekali bersama para aktivis HMI. Terkadang, Nasih melakukan aksi hanya dengan dua orang, yaitu Nasih sendiri bersama satu orang temannya. Lebih dari itu, Nasih termasuk yang getol untuk mengkritik pemerintah, hingga polisi hafal dengan parasnya.

Tidak hanya sampai situ pengalaman Nasih dalam dunia aksi, perjuangan harus ia tempuh meski sendiri. Saat menjadi mahasiswa, Nasih dengan seorang diri melakukan aksi bakar majalah yang redaksinya tidak jujur dan menggelapkan dana dua edisi penerbitannya di depan kampus, sehingga majalah tidak terbit. Saat itu, Nasih dihadiahi skors empat bulan dan jadi dua tahun karena proses pengadilan.

Nasih selalu memantau perkembangan dunia perpolitikan. Bisa dilihat komentarnya saat mencuat peristiwa “Kartu Kuning Untuk Jokowi” yang dilakukan oleh Ketua Badan Eksekutif (BEM) Universitas Indonesia, Zaadit Taqwa. Dia memuji keberanian Zaadit yang dengan gagah berani melayangkan kritik kepada presiden Joko Widodo.

Nasih selalu mendorong kepada semua disciple untuk turun aksi saat ada fenomena politik yang mengarah pada rezim penghianatan. Pak Doktor tak henti-henti memberi motivasi kepada semua disciple bahwa sekali aksi lebih baik dibanding seribu kuliah. Mahasiswa bukan hanya sebagai pelajar yang datang ke kampus dan rajin mengumpulkan tugas atau mengaku aktivis, tetapi tidak peduli dengan kondisi negara. Bahkan tidak hanya dengan jaket almamater yang sebenarnya membuat makin wibawa, mahasiswa malah lebih suka menjadi juru sorak di acara infotainment televisi hiburan dibanding orasi dalam aksi bersama masyarakat.

Sebagai bentuk apresiasi dan implementasi Nasih terhadap pendapatnya, jika ada mahasiswa yang melaksanakan aksi, maka akan diberi tambahan nilai bahkan bisa mendapat nilai A di mata kuliah yang Nasih ampu terlebih yang melakuakan orasi. Lebih dari itu, Nasih juga memberikan izin untuk mahasiswa yang pergi malakukan aksi berapa kali pun. Kebijakan yang Nasih terapkan ini belum tentu dimiliki oleh kebanyakan dosen universitas-universitas di Indonesia.

Ada beberapa dosen yang mengaanggap bahwa aksi hanya akan mengaggu ketertiban lalu lintas. Terlebih pada mahasiswa-mahasiwa baru, ada beberapa dosen yang perlahan mematikan nalar kritis mahasiswa dengan tidak memberikan izin mengikuti aksi dengan argumen bahwa bentuk kepudulian mahasiswa terhadap negara adalah dengan rajin belajar, yaitu mengikuti perkuliahan. Itu jelas tidak salah, akan tetapi peran mahasiswa untuk “menegur” rezim yang tidak beres diperlukan gerakan besar.

Nasih pernah melontarkan secercah harapan untuk mahasiswa di Indonesia. ”Aku dan tentu kita semua akan lebih bangga juga bahagia, jika civitas akedemika seluruh Indonesia: IPB, Univ. Trisaksi, ITB, Unpad, UGM, Unair, Unibra, ITS, Undip, Unsyiah, Uncen, dan UIN-UIN terutama yang membawa nama besar Wali Sembilan bersama-sama membela kebenaran.”

Benar memang, tidak ada gunanya berilmu tinggi, tetapi ketika melihat kemungkaran, dia hanya bisa diam saja tidak bisa melakukan apa-apa. Karena itulah, mahasiswa yang meminta izin kepada Nasih untuk berdemonstrasi, akan dia izinkan dan malah akan mendapatkan nilai tambahan dari aksinya tersebut. Ini perlu dicontoh oleh dosen lain, mengamalkan petuah reformis: “Sekali Aksi Lebih Baik Dibanding Seribu Kuliah”.

Oleh: Triana Sri Hartati, Disciple 2016 Monash Institute, Mahasiswa IAT UIN Walisongo Semarang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *