Sang Investor Plus-Plus

Shalawat Jibril

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), investasi didefinisikan sebagai penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan. Inilah makna dasar investasi. Orang yang (ber)investasi disebut dengan istilah investor. Mungkin sudah umum apabila sesuatu yang diinvestasikan adalah uang atau modal lainnya. Namun, bagaimana jadinya jika yang diinvestasikan adalah manusia?

Inti investasi adalah menanam modal, bisa berbentuk uang, SDI, dan lainnya, guna memperoleh keuntungan, baik di masa sekarang maupun yang akan datang. Dari sini, investasi bisa dimaknai secara kontekstual. Misalnya, dalam paradigma Islam, investasi bisa dimaknai sebagai penanaman modal atau barang bermanfaat lainnya untuk tujuan mendapatkan keuntungan atau kesejahteraan di dunia maupun akhirat. Sedekah, zakat, infaq, dan mengajar adalah diantara contohnya.

Harus diakui bahwa orientasi seseorang atau kelompok ketika berinvestasi adalah mendapatkan keuntungan bersifat materil sebanyak-banyaknya. Tak ayal jika saat ini banyak orang yang berlomba-lomba menginvestasikan harta-bendanya ke berbagai perusahaan dan barang tertentu dengan harapan meraup pundi-pundi uang dengan skala besar.

Mereka selalu berpegang teguh dengan kaidah investasi konvensional yaitu high risk high return (semakin tinggi risiko, semakin tinggi keuntungannya). Mereka berani mengambil risiko setinggi-tingginya dengan harapan mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Dengan demikian, risiko dijadikan sebagai objek transaksi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih. Padahal dalam Islam, melarang risiko sebagai objek investasi melainkan menganggap kerugian adalah risiko investasi.

Jika kita mau jeli dan berpikir panjang, maka sesungguhnya investasi yang demikian itu keuntungannya sangat kecil dan sempit. Terlebih jika ditinjau dari segi waktu. Kita tentu paham betul bahwa apapun model dan seberapapun banyak harta yang digunakan untuk berinvestasi, niscaya tidak akan bertahan lama. Uang yang kita upayakan tersebut hingga siang dijadikan malam, dan malam dijadikan siang, akan sia-sia, hilang begitu saja ketika kita meninggal dunia.

Lain halnya jika kita investasi sumber daya insani (SDI), maka keuntungannya bisa jangka panjang, bahkan abadi. Investasi SDI inilah yang hingga detik ini dan selamanya akan dijalankan oleh pendiri Rumah Perkaderan Monash Institute, yakni Mohammad Nasih.

Landasan filosofis Mohammad Nasih lebih memilih menjadi investor SDI adalah, sebagaimana yang sering ia katakan: “Jika ingin sejahtera harian, maka tanamlah sayuran. Jika ingin sejahtera mingguan, maka tanamlah pisang. Jika ingin sejahtera bulanan, maka tanamlah ubi. Jika ingin sejahtera tahunan, maka tanamlah tebu. Jika ingin sejahtera puluhan tahun, maka tanamlah jati. Dan jika ingin sejahtera selamanya, dunia dan akhirat, maka tanamlah SDI yang beriptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) dan berimtak (iman dan takwa)”.

Dalam bingkai itulah, Doktor Ilmu Politik UI, Mohammad Nasih, melakukan jalan yang tidak dilalui oleh kebanyakan orang; tidak  menginvestasikan uang ke bank; membeli saham atau obligasi, maupun properti, melainkan melakukan investasi SDI dengan cara mendirikan rumah perkaderan (Monash Institute) dan sekolah alam (Sekolah Alam Nurul Furqon) di berbagai tempat.

Bukan Investor Kaleng-kaleng

Memang, sebagaimana pernah diungkapkan Mohammad Nasih, investasi SDI bukanlah perkara yang mudah dan murah. Artinya, selain membutuhkan biaya yang tidak sedikit, juga diperlukan komitmen yang tinggi untuk mendidik dan mengkader SDI tersebut agar menjadi manusia yang berilmu, berharta dan berkuasa, sehingga mereka kelak akan menjadi manusia yang bermanfaat bagi umat dan kemajuan bangsa.

Maka, jalan berbeda yang dilakukan oleh Nasih ini, yakni investasi manusia, ditekuni secara serius dan penuh komitmen tinggi. Hal ini tercermin dari beberapa program atau model perkaderan yang diterapkan oleh Nasih di dalam rumah perkaderannya, diantaranya di Monash Institute Semarang (MIS).

Agar tidak mencetak generasi yang justru akan menjadi beban bagi negara dan agama di kemudian hari, maka Nasih membuat sistem yang benar-benar serius dan terukur. Semua ini tujuannya untuk menciptakan anak didik yang mandiri secara intelektual dan berdaya secara ekonomi sebelum kembali ke kampung halaman atau mengabdikan diri kepada negeri.

Sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa ijazah S1 belum tentu mampu meningkatkan taraf kehidupan yang lebih makmur tanpa dibarengi usaha lainnya, misalkan berwirausaha. Selain itu, Nasih juga memberikan modal kepada anak-anak ideologis untuk berwirausaha dengan cuma-cuma. Walaupun Nasih sadar, memberikan modal atau berinvestasi kepada anak ideologisnya pasti akan mengalami kerugian, tetapi hal itu tetap dilakukannya. Nasih melakukan hal itu semata-mata membantu anak-anak idiologisnya untuk mengurangi jatah kegagalan sedini mungkin. Sehingga, anak didik masih dapat hidup mandiri dan berdikari ketika sudah bahkan sebelum lulus S1.

Pemahaman Nasih yang komperhensif terhadap al-Qur’an juga menjadi dasar memilih model investasi yang berbeda ini. Sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 261:

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada setiap bulir terdapat seratus biji. Allah melipat gandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Dengan ayat tersebut, Nasih yakin bahwa harta yang dia gunakan untuk pemberdayaan disciples akan membawakan berkah dan Allah pasti akan melipatgandakan menjadi tujuh kali lipat kali seratus bahkan tak terhingga. Walaupun secara kasat mata, jika bersedekah maka harta akan berkurang, tetapi pada hakekatnya justru bertambah, misalnya saja Nasih dengan memberikan beasiswa kepada anak didiknya untuk berkuliah. Hal ini terbukti dengan dibangunnya beberapa gedung Monash Institute berlantai dua , tiga dan empat. Padahal dulu sejak awal berdirinya, Monash Institute hanya bertempat di rumah kontrakan.

Investasi SDI tidak hanya meniscayakan mengeluarkan harta yang besar saja, melainkan juga menyedot waktu. Kebanyakan orang ketika “mengurus” manusia hanya mengeluarkan banyak harta saja, lalu urusan pemberdayaan dan perngkaderan di serahkan oleh orang atau pihak lain. Namun beda halnya dengan Nasih, ia tidak hanya mengeluarkan harta saja, melainkan juga menginvestasikan waktu, pikiran dan tenaga untuk mendidik dan membimbing  serta memastikan anak-anak binaannya benar-benar memiliki kapasitas, minimal satu. Bahkan terhadap anak didiknya, Nasih mendorong agar tidak menjadi murid atau santri abadi, melainkan harus berubah status; dari murid menjadi mursyid (kyai atau guru).

Langkah ini ditempuh sebagai upaya untuk memastikan agar SDI yang ia kelola dan jadikan sebagai investasi” dunia dan akhirat ini, kualitasnya harus benar-benar terverifikasi dan terkualifikasi satu-satu. Semua itu dilakukan dengan penuh ketulusan dan dedikasi tinggi serta tidak mengemis-ngemis” kepada pengusaha atau pemerintah dengan mengajukan ‘proposal’ atau lainnya.

Totalitas Nasih dalam berinvestasi SDI; mengkader anak-anak ideologisnya ini semata-mata karena beliau punya harapan dan cita-cita tinggi, yakni agar anak didiknya bisa menjadi pemimpin-pemimpin besar berkarakter Qur’ani. Menjadi pemimpin yang mengedepankan pendalaman dan pemahaman al-Qur’an serta pengembangan ilmu pengetahuan untuk mengatasi problematika umat dan bangsa. Wallahu a’lam bi al-shawwab.

Oleh Eka Khumaidatul Khasanah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *