Sajak Rindu

Semenjak membuminya pembahasan mengenai senja, ada tiga macam manusia dalam menyikapi hal tersebut. Pertama, mereka yang mengaku menyukai senja, mengaku bahwa senja sudah menjadi candu. Terlepas dari kenyataan bahwa mereka benar-bemar menikmati senja, atau hanya terbawa arus orang-orang yang suka senja. Kedua, mereka yang memang sedari awal tidak suka dengan senja dan tidak peduli dengan orang-orang yang mebicarakan tentang senja sampai berbusa. Ketiga, mereka yang mengkritik orang-orang yang sangat menyukai senja. Menganggap mereka hanya mencari-cari objek pembicaraan. Lalu aku? Termasuk kategori yang manakah diriku? Tidak perlu diperdebatkan!

Bagiku, candu bukan lagi senja. Sebab, yang membuat aku selalu ketagihan dalam melewati detik-detik membosankan dalam perjalanan ini adalah menikmati syahdunya rinduku untuknya. Perkenalkan, nama dia Pilik. Aku biasa memanggilnya Jenderal Pilik. Aku tidak tahu dengan jelas, kapan pastinya aku mengenalnya. Bagiku, dia memiliki banyak kesamaan denganku. Salah satunya, kata orang-orang, kami sama-sama aneh.

Ketika mood ku sedang memburuk, biasanya ia akan membawakan marshmello yang panjang. Mengingatkan bagaimana biasanya aku bahagia. Intinya, ketika dia ada, suntuk menjadi sirna. Jenderal Pilik termasuk kategori orang yang introvert. Dia pernah bercerita kepadaku bahwa, ketika menikmati keheningan, ia merasa seolah-olah dunia sedang bersamanya. Membersamainya dalam mewujudkan angan. Berbeda ketika ia berada di keramaian, kata dia, keramaian hanya membuat dia merasa asing, merasa bahwa dia bukan siapa-siapa.

Ada satu kebiasaan dia yang selalu aku nanti setiap hari. Setidaknya, ia akan mengirimkan surat yang sudah dilipat dalam bentuk kotak mawar dalam sehari. Isinya mungkin sederhana, namun ia selalu pandai mengolah kata hingga kalimat-kalimat yang tadinya biasa saja menjadi tidak biasa. Dia juga tidak lupa membubuhkan tanda tangan dengan tinta timbul diakhir suratnya.

Aku akan rajin membaca ulang kalimat-kalimat yang tersembunyi di balik kotak mawar saat merindukannya. Pagi ini, kala gerimis tersenyum tepis seolah mengejekku yang bermuka sendu. Aku merindukannya. Aku rindu mata besarnya yang selalu memancarkan bahagia. Aku rindu suaranya yang mengalun pelan. Aku rindu panggilannya. Aku rindu tangan besarnya yang selalu siap menghapus air mata. Aku rindu cara dia mengingatkanku bahwa dunia tak semenakutkan yang kukira. Aku rindu rambut panjangnya yang ketika ia berlari akan menari.

Sudah purnama yang kedelapan. Namun kabar tentangnya tak jua aku dapatlkan. Duniaku rasanya semakin suram. Sinar bahagia mulai meredup. Hinga suatu pagi, saat aku mulai tersiksa dengan rinduku. Aku menuliskan sajak rindu untuk dia. Aku mencoba mencocokkan kata demi kata meskipun tertatih-tatih. Aku kabarkan padanya bahwa aku sedang merindukannya. Meskipun sajakku, mungkin tak akan pantas jika disandingkan dengan sajaknya. Namun, perihal merindu, aku selalu menghadirkan yang terbaik, Pilik. Semoga sajak rinduku sampai ditanganmu.

Oleh: Wortelina, Penikmat Aroma Buku Baru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *