Romantika Semesta

Apa yang kau harapkan dari hujan? Rintiknya yang berirama? Pelangi yang datang setelahnya? Atau kenangan yang masih tersisa? Sebenarnya, kau tak perlu menanti hujan turun dari peraduannya. Hujan bukanlah alasan mengapa kamu bersedih atau pun tertawa.

Hujan tak selalu tentang rima-rima cantik yang bernada sendu seirama, terkadang ia turun dengan membawa gemuruh dan petir yang membahana. Hujan pun tak selalu menjadi awal terciptanya pelangi yang hadir dengan segala warna, terkadang ia meninggalkan lebam hitam penuh luka di kaki cakrawala. Dan hujan pun bukan satu-satunya alasan mengapa setiap kenangan yang tersisa dalam laci memori terbongkar kembali hingga sulit untuk dilupakan.

Hujan bukanlah akhir dari cerita. Jika kau menganggap hujan sebagai waktu untuk merasakan duka, berarti kau menganggap bahwa cerah adalah waktu ceria. Ini kesalahan besar, tidak setiap tangis adalah duka, dan tidak setiap cerah adalah bahagia.

Lihatlah, tanah gersang itu mulai jumawa. Daun kering pun menunjukkan asa, dengan harap, hujan turun dari peraduannya. Ini adalah bukti bahwa hujan adalah gerbang kehidupan.

Lihatlah, kini senja sedang bercumbu dengan hujan. Warna jingga kini tak lagi menghangatkan, bias mentari tak lagi mampu menembus khatulistiwa. Senja dan hujan adalah dua ciptaan Semesta yang tak bisa saling bersanding. Salah satu dari mereka akan mengalah karena takut akan mengacaukan antara satu sama lain. Itulah romantika Semesta yang sesungguhnya.

Respon (1)

  1. Senja memang egois. Tak pernah mau mengalah pada pagi. Tapi senja tak pernah bermakna di hadapan malam. Kasihan. Malang nian nasib senja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *