‘Qur’anic Habit Camp’ untuk Sancil dan Sanja

Planet NUFO
Baladena.ID

Qur’anic Habit Camp, sebuah istilah yang digunakan oleh Dr. Mohammad Nasih untuk menyebut salah satu program untuk anak-anak saat mengisi waktu liburan sekolah. Istilah tersebut mulai disebarluaskan setelah ia membuat sebuah sistem pendidikan bagi anak-anak yang ia rancang beberapa tahun lalu, yakni tentang pembangunan qur’anic habit bagi anak-anak.

Setiap libur semester, Nasih selalu membuka pendaftaran Qur’anic Habit Camp (QHC). Anak yang daftar kisaran usia sekolah TK sampai SMA. Kebanyakan SD dan SMP. Mereka berasal dari berbagai daerah, mulai dari yang terdekat yaitu Semarang hingga ada yang berasal dari luar pulau Jawa, sebut saja Bangka Belitung, Sulawesi Tengah, dan bahkan Maluku.

Pendidikan tersebut layaknya pesantren kilat. Namun, Nasih tidak menggunakan kata pesantren. Karena pada umumnya, pesantren sering digambarkan sebagai sistem pendidikan pondokan yang mengharuskan anaknya ngaji dari pagi, siang, sore, dan bahkan malam, sehingga yang ada di benak anak-anak itu adalah sesuatu yang berat.

Qur’anic habit camp adalah sistem belajar sambil bermain dan bermain sambil belajar. Sehingga anak-anak tidak jenuh dalam setiap pembelajaran karena mereka berpikir kalau agenda tersebut adalah bermain. QHC dibuat karena beberapa hal. Di antaranya adalah pengalaman pribadi Dr. Nasih sendiri. Dari pengalaman itulah ia mampu merumuskan dengan sangat detail gagasan untuk diterapkan di program QHC.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Nasih memiliki pengalaman ketika mengajar dan berdialektika dengan mahasiswa di berbagai daerah, mulai di universtitas “umum” yang sekuler hingga yang “beragama”, juga universitas negeri sampai swasta. Belum lagi, mengisi training kemahasiswaan di seluruh Indonesia. Singkat cerita, Nasih mengadakan penelitian kecil-kecilan. Ia meminta agar mereka menuliskan lafadz ta’awudz di dalam secarik kertas. Hasilnya mencengangkan. Ternyata tidak lebih dari 10% saja yang dapat menuliskannya dengan benar.

Dengan hasil penelitian itulah, ia lantas dapat menganalisis kelemahan orang Islam. Banyak darinya yang tidak memahami Islam itu sendiri. Kalau menulis ta’awudz saja tidak bisa, lalu bagaimana dengan yang lain? Apakah bisa dipertanggungjawabkan secara nalar argumentasi yang muncul kemudian? Paling miris adalah mereka yang mengaku aktivis Islam tapi tidak mengerti kebutuhan dasar sebagai seorang yang beragama Islam itu sendiri. Itulah yang membuat umat Islam stagnan, tidak mengalami lonjakan peradaban yang jauh.

Nasih menyadari, untuk membuat sebuah peradaban setidaknya membutuhkan tiga generasi. Tiga generasi yang dimaksud yaitu, generasi orang tua, generasi pemuda, dan generasi anak-anak. Nasih sudah pernah mengajar ketiga generasi tersebut. Berbeda generasi berbeda pula cara mengajar dan hasil yang diperoleh.

Ketika mengajar generasi orang tua tidak ada banyak hal yang bisa diharapkan, karena mengubah pikiran yang sudah tertanam sejak dahulu tidaklah mudah, sehingga sesuatu yang diajarkan cepat hilang dan tidak ada yang membekas. Sementara generasi pemuda merupakan generasi yang akan mendongkrak peradaban, karena masih mudah diajak kerjasama dan masih memungkinkan untuk memikirkan masa depan. Ini telah ditempuh Nasih salah satunya dengan mendirikan Monash Institute, sebuah lembaga nirlaba yang fokus kepada pembangunan pemuda dengan sistem perkaderan super intensif.

Generasi ke tiga adalah generasi yang diharapakan lebih mampu dalam merubah peradaban kelak. Karena sejak kecil mereka sudah diajarkan dengan pengajaran yang benar, maka saat tumbuh dewasa nanti mereka sudah bisa mewujudkan gagasan-gagasan yang telah mereka terima sejak kecil. Sebab itu ia tidak mengajar orang tua, ia lebih memilih jalan pengabdian lain dengan mengajar anak-anak.

Nasih berharap anak-anak yang diajarnya akan menjadi pejuang Islam di generasi selanjutnya. Setelah menyadari itu, ia membangun sebuah program bagi anak usia 6-18 tahun agar dapat ditanamkan doktrin tentang perjuangan Islam. Setidaknya dalam program itu, Nasih mengenalkan berbagai konsep dasar untuk dapat memahami perjuangan Islam. Ia kembalikan pada konsep al-Qur’an dan hadist.

Untuk memahami al-Qur’an itu sendiri diperlukan setidaknya “alat” bantu. Alat bantu itu dinamakan ilmu alat. Ilmu yang mengajarkan konsep dasar memahami teks al-Qur’an. Ilmu alat itu adalah nahwu-sharaf. Yang diajarkan kepada para sancil adalah ilmu alat yang paling dasar, yaitu tasrifan.

Mempelajari tasrifan artinya belajar kata-kata dasar yang terdapat dalam al-Qur’an. Tasrifan juga mempelajari tentang bagaimana terjadinya perubahan kata. Dari satu kata dasar bisa berubah menjadi banyak makna. Dalam al-Qur’an sesungguhnya hanya berasal dari 2728 kata dasar saja, tetapi bisa menjadi 77.439 kata. Tentu ini adalah awal, karena waktu camp yang terbatas. Selanjutnya, pengajaran ini akan dibuat berjenjang dan lebih masif lagi.

Belajar dan Bermain

Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an dijadikan sebagai pedoman hidup bagi manusia. Seorang muslim memiliki kewajiban-kewajiban terhadap al-Qur’an. Menurut Nasih, ada tujuh kewajiban seorang muslim terhadap al-Qur’an. Kewajiban pertama adalah membacanya, kedua adalah mengetahui maknanya, ketiga adalah menghafalkan, keempat merenungkan, kelima mengajarkan, keenam melaksanakan, dan ketujuh adalah memperjuangkan. Apabila ketujuh kewajiban itu terlaksana maka akan tercipta kehidupan yang ideal.

Pada agenda QHC, anak-anak diajari membaca al-Qur’an yang benar, meliputi tajwid, makhariju al-huruf, dan iramanya. Selain itu juga diajarkan bagaimana cara memahami dengan menghafal dan menghafal melalui memahami, sehingga harapannya itu bisa menjadi bekal untuk belajar di rumah kala sekolah kembali masuk seperti biasanya. Mereka akan mendapatkan cara belajar yang efektif dan efisien yang selanjutnya, orang tua akan memantau di rumah.

Selain diajarkan tasrifan dan cara membaca al-Qur’an yang benar, serta cara memahaminya, di dalam program ini, para sancil juga diajak untuk berkuda, berenang, memanah, dan program menyenangkan lainnya. Ini adalah bagian dari bermain yang berdimensi belajar, selain segala pembelajaran al-Qur’an dan tasrifandi atas juga diajarkan dengan cara yang menyenangkan.

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra yang juga diriwayatkan oleh At-Timirdzi dengan hasan-sahih berikut:

كُلُّ شَىْءٍ لَيْسَ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ فَهُوَ سَهْوٌ وَلَهْوٌ إِلاَّ أَرْبَعًا مَشْىَ الرَّجُلِ بَيْنَ الْغَرَضَيْنِ وَتَأْدِيبَهُ فَرَسُهُ وَتَعَلُّمَهُ السِّبَاحَةَ وَمُلاَعَبَتَهُ أَهْلَهُ

“Setiap sesuatu selain bagian dari zikir kepada Allah adalah sia-sia dan permainan belaka, kecuali empat hal: latihan memanah, candaan suami kepada istrinya, seorang lelaki yang melatih kudanya, dan mengajarkan renang”.

Nasih memilih kegiatan tersebut karena banyak manfaat yang dapat diambil. Pertama, berkuda merupakan salah satu olahraga yang menjadi sunah Rasul. Selain itu, berkuda bermanfaat untuk melatih fisik, khususnya bagian kaki, area abdomen, bahu, hingga otot punggung. Hal itu terjadi karena tubuh harus berada di posisi yang tegak kala berada di punggung kuda. Berkuda memiliki manfaat untuk kesehatan mental, salah satunya yaitu melatih kecepatan berfikir. Saat mengendarai kuda, joki dituntut untuk cepat dalam memutuskan dan melakukan sesuatu ketika terjadi hal di luar dugaan.

Kedua, memanah. Sebuah olahraga yang memiliki berbagai manfaat baik untuk fisik maupun psikis. Antara lain meningkatkan koordinasi antara tangan dengan mata, melatih keseimbangan, dan melatih kesabaran. Memanah juga bermanfaat untuk melatih kekuatan otot tubuh. Saat menarik tali busur, akan terjadi tekanan pada otot-otot kedua lengan, dada, bahu dan punggung. Selain itu, memanah dapat melatih fokus dan penguasaan kontrol.

Pemanah dilatih agar tetap fokus pada bidikan yang dituju. Meskipun ada gangguan seperti angin, jarak, kebisingan, ataupun lainnya, pemanah harus bisa mengontrol diri agar tetap fokus dan membidik tepat sasaran. Ini akan sangat membantu seorang anak melatih fokus dalam setiap hal. Filosofi ini dijelaskan pula di sela-sela pembelajaran untuk memberikan dampak yang lebih signifikan pada pemahaman mereka.

Ketiga, berenang. Sebuah olahraga yang menuntut semua otot tubuh bergerak sehingga bermanfaat untuk memberikan kekuatan dan kekencangan pada otot-otot tubuh. Selain itu, berenang dapat meredakan depresi dan stres. Pada saat tubuh bersentuhan dengan air suasana hati menjadi lebih tenang, apalagi saat banyak bergerak tubuh memproduksi hormon endorfin yang dapat meredakan depresi dan stres.

Dalam setiap kegiatan para sancil didampingi oleh ustadz atau ustadzah yang berkompeten. Tiap satu ustadz atau ustadzah hanya mendampingi empat orang sancil. Sistem ini memberikan dampak yang baik karena ustadz atau ustadzah dapat mengetahui kemampuan sancil tersebut sehingga mudah dalam memberikan pengajaran dan pengawasan.

Nasih tidak hanya membuat program untuk para santri kecil atau sancil. Dia juga membuat program untuk para santri remaja atau biasa disebut sanja. Program sanja diadakan di Sekolah Alam Planet Nufo, Rembang. Banyak hal yang dipelajari oleh para sanja di Planet Nufo. Mereka belajar tasrifan yang nantinya akan sangat berguna untuk memahami al-Qur’an. Tasrifan yang telah mereka pelajari diaplikasikan dalam I’rab. Planet Nufo menawarkan program memahami al-Quran dengan metode utawi-iku.

Meskipun metode utawi-iku aslinya berbahasa Jawa, tetapi kemudian disesuaikan dengan bahasa Indonesia, sehingga memudahkan siapa saja yang mempelajarinya tanpa takut terkendala bahasa. Selain fokus belajar hal yang berkaitan dengan kemampuan dasar seorang muslim-muslimah, Planet Nufo juga mengajarkan para santri untuk berkebun, beternak, berdagang, menulis buku, dan lain sebagainya dengan cara dan pembelajaran yang menyenangkan. Setelah lulus SMA nanti, mereka diharapkan masuk di perguruan tinggi, terutama fakultas kedokteran, fakultas teknik, fakultas MIPA, fakultas hukum, dan setidaknya fakultas ekonomi.

Nasih memiliki keinginan untuk mengubah kondisi saat ini menjadi peradaban yang ideal menurut pandangannya. Untuk mengubah peradaban tersebut, Nasih tidak lupa memilih melakukan perubahan mulai dari mengajar anak-anak. Karena untuk menciptakan sebuah peradaban memerlukan tiga generasi, sehingga muncullah program quranic habit camp untuk sancil (santri kecil) dan sanja (santri remaja). Semoga segera lahir generasi muslim intelektual profesional di masa depan. Wallahu a’lamu bi al-shawab.

Editor: Anzor Azhiev

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *