KH. Sholahuddin Wahid atau yang akrab disapa Gus Sholah wafat di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta (02/2). Ulama kharismatik dan merupakan cucu pendiri NU itu telah kembali kepada-Nya. Di saat langit-langit duka menyelimuti kelurga dan kerabat dekat beliau, iringin doa untuk Gus Sholah pun datang bertubi-tubi dari berbagai penjuru nusantara.
Semasa hidupnya, Gus Sholah telah melalui pasang surut kehidupan. Malang melintang di organisasi dan partai politik. Dari Jami’iyyah Nahdlatul Ulama (NU), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) hingga Komnas HAM. Dalam Muktamar NU ke 32 di Makasar, mencalonkan diri sebagai ketua umum Tandfidziyah NU. Disokong alm. KH. Hasyim Muzadi. Kyai Hasyim kala itu membidik kursi Rais Aam NU. Singkat cerita, Gus Sholah harus mengakui keunggulan pesaing utamanya yaitu Dr. KH. Said Aqil Siradj.
Selanjutnya pada Muktamar ke 33, lagi-lagi menelan kekalahan dari incumbent. Beliau merasa muktamar ini di intervensi PKB. Mengutip pemberitaan Majalah Tempo edisi 10 Agustus 2015, Gus Sholah menuding PBNU membiarkan muktamar diacak-acak partai politik. Sepanjang sejarah pelaksanaan Muktamar NU, Gus Sholah menilai muktamar kali ini yang paling kacau. Ia menganggap NU mulai kehilangan roh jihad dengan masuknya pragmatisme. “Ini Muktamar NU atau PKB,” kata Gus Sholah.
Meskipun dua kali menelan kekalahan, gerak langkah Gus Sholah di tengah warga Nahdliyin tak surut. Sehari-hari beraktivitas sebagai Rektor Unhasy dan pengasuh Ponpes Tebuireng, Jombang. Sejak tahun 2006, Gus Sholah menerima estafet kepemimpinan dari Kyai Yusuf Hasyim. “Jabatan sebagai duta besar di Aljazair ditolaknya demi pesantren Tebuireng”, tulis HR. Taufiqurrochman dalam buku “Kiai Manajer : Biografi singkat Shalahuddin Wahid” (UIN Maliki Press, 2011).
Di pesantren peninggalan sang kakek, beliau melakukan berbagai pembenahan (baca : ravitalisasi). Sehingga pada tahun 2011, dianugerahi gelar Doktor Kehormatan di bidang Manajemen Pendidikan Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. “Gelar ini adalah sebuah kehormatan dan merupakan penghargaan tertinggi, tapi saya merasa masih belum pantas mendapatkan penghargaan ini, oleh karena itu semoga bisa mengembannya dengan baik terutama dalam menjaga pendidikan pesantren di Indonesia,” katanya seperti diberitakan laman nu.or.id (10/12/2011).
Gerak langkah Gus Sholah tak terbatas di lingkungan Tebuireng. Dalam berbagai kesempatan, beliau pernah menjadi narasumber di Metro TV, Kompas TV, TV One bahkan MTA TV. Gus Sholah menjadi pembicara di tabligh akbar Majelis Tafsir Al-Quran (MTA). Acara ini disiarkan ulang di MTA TV. Entahlah peristiwa ini terjadi pada tahun berapa. Dugaan saya saat Bu Lily wahid masih aktif sebagai politikus PKB. Gus Sholah berpesan : “Berbeda partai tak perlu membuat kita ribut. Kakak tertua saya pendiri PKB dan yang punya PKB. Kakak yang nomer dua anggota DPR dari Golkar. Adik saya yang paling kecil pernah aktif di PDIP. Anak pertama aktivis PKS dan anak kedua di PKB. Monggo silahkan berbeda asal memperjuangkan kepentingan rakyat“.
Berbicara soal dunia politik, Gus Sholah tercatat meniti jalan politiknya di Partai Kebangkitan Umat (PKU). Tahun 2004 berlaga di pilpres mendampingi jenderal (purn) Wiranto. Kala itu berposisi cawapres. Sayangnya tak lolos ke putaran kedua. Gus Sholah harus mengakui keunggulan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Beralih ke dunia kepenulisan, pada tahun 2000 Gus Sholah menerbitkan 2 buku yang berjudul “Negeri di Balik Kabut Sejarah: Catatan-catatan Pendek Salahuddin Wahid” (terbitan Pustaka Indonesia Satu) dan Meneladani Eyang Wahid (terbitan Yayasan Bina buana). Lalu tahun 2003 terbit buku “Basmi Korupsi : Jihad Akbar Bangsa Indonesia” (Pustaka Indonesia satu). Bukan hanya menulis buku dan artikel yang tersebar di koran nasional, Gus Sholah juga memberi kata pangantar untuk buku karangan penulis lain.
Masih soal kepenulisan, mengutip laman Laduni.id, gagasan-gagasannya seringkali berbeda dengan kakak kandungnya, Gus Dur. Bahkan pernah berpolemik dengan Gus Dur tentang hubungan agama dan negara di koran Media Indonesia. Terakhir sebelum menutup artikel ini, di penghujung hidupnya Kyai berlatar tehnokrat ini masih mampu menerbitkan artikel “Refleksi 94 tahun NU” di Koran Kompas. Subhanallah!
Artikel tersebut dibuat dalam keadaan terbaring di ranjang rumah sakit, betapa luar biasanya semangat beliau dalam dunia kepenulisan. Patut ditiru generasi muda muslim saat ini. Wallahu’allam.