Adakah kau tahu? Senyummu bak segelas kopi dan seuntai buku. Selalu bikin candu! Sayangnya, candu itu tak menentu. Datang perginya tak bisa menyesuaikan waktu. Akankah mampu hilang dari alam bawah sadarku? Begitu lukisan perasaanku pada story Whatsapp malam ini. Bukan tanpa sebab, melainkan aku sedang bermaksud menulis kisah rasaku sejak tempo lalu, yang ingin ku mulai dari bagian mana saja yang memang ku ingat dan terus menerus menjadi tumpukan sampah yang enggan pergi dari pikiranku.
Hari ini hari sabtu. Tepatnya, menjelang dini hari pukul satu. Di kota Olah Raga aku berada, berkumpul bersama para pemuda utusan berbagai daerah di Indonesia. Dengan berbagai background yang tidak sama, juga tujuan yang berbeda-beda. Satu hal pasti, bahwa masing-masing mereka sedang mengemban misi mulia untuk menjadi pendidik generasi umat dan bangsa. Begitulah mereka; rela menyibukkan diri di tengah nuansa liburan semester, demi tugas suci yang semestinya bukan tanggungjawab mereka.
Lalu bagaimana denganku? Oh, tentu saja sedikit berbeda dari mereka. Minimal dalam menjalankan peran sebagai pendatang di kota tua ini. Semisal, jika mereka datang untuk mendengarkan, aku justru datang untuk didengar. Jika mereka harus berusaha mengumpulkan tanda tangan, aku justru harus menyediakan pena untuk memberi tanda tangan. Bukan berarti aku sedang menjadi pemain utama sebuah pertandingan, melainkan kami sedang mengimplementasikan sebuah pendidikan manajemen organisasi Himpunan. Yakni, saat yang di depan tidak selalu karena yang terpintar, namun juga bisa karena yang lebih dulu dan lebih berpengalaman memasuki gerbang pengelolaan.
Itu cerita antara aku dan mereka, yang meski tak saling sapa sebelumnya, namun kami sudah saling mengakui masing-masing sebagai saudara. Indah, tentu saja. Meski keindahan pagi ini tak begitu terasa dalam jiwa. Entah, apakah ini sebab sayap cintaku telah patah, atau hanya karena peralihan cuaca pagi yang semakin berubah. Yang kutahu, bahwa hari ini adalah hari yang cukup bersejarah. Saat aku harus memulai hari-hari yang teramat panjang, tanpa berkesempatan memandang ‘keidahan’ ciptaan Tuhan. Keindahan? Ya, tentu saja itu adalah sematan kata untukmu yang akan ku gunakan sebagai ungkapan rindu.
Di tengah keramaian dalam sebuah ruangan panjang disela-sela menghadapi antrean tanda tangan, ku buka laptop kesayanganku perlahan. Sontak, anganku melayang. Aku galau, aku bimbang. Mencoba bertindak professional, sementara hati sedang tak karuan. Apakah setelah ini aku dapat melihatnya kembali? Oceh batinku demikian.
Tak hanya membatin, namun aku pun melampiaskan kegalauanku dengan aktivitas stalking. Bukan dengan membongkar akun medsosnya seperti yang beberapa kali ku lakukan saat aku dirundung penasaran terhadap seseorang, namun baru sebatas melihat dan menganalisa setiap postingan publiknya yang berani ku lakukan. Sebab, aku masih bingung terhadap apa yang sebenarnya ku rasakan. Sungguh, ini bukanlah kisah romantis yang sangat indah untuk dituliskan. Wacananya tidak setragis kisah Romeo dan Juliet, pengorbanannya tak seperti yang dilakukan Anarkali pada Salim atau Mark Antony pada Cleopatra, logika rasanya pun tak semenggebu rasa Layla pada Qays. Intinya, rasaku ini masih teramat sulit untuk diterjemahkan.
Jika kebanyakan teman bercerita tentang tumbuhnya sebuah perasaan pada seseorang karena pandangan pertama atau perlakuan yang didapatnya, rasaku kali ini justru ku dapati karena pengamatan dan logika yang berkata. Awalnya perasaan ini sempat membantah keras logika. Namun apalah daya, bukankah manusia hanya dapat menjalankan takdir dari sang Maha ada dalam hal mencinta atau dicinta? Ya, kita tak pernah dapat memilih untuk jatuh cinta pada siapa.
Hingga cukup lama aku merenung dalam keramaian, seorang panitia pun datang untuk menawarkan minuman. “Yunda, mau Teh atau Kopi?”, ujarnya. Lama aku terdiam sembari melihat sang empunya suara. Bayanganku bukan pada manisnya Teh atau wanginya Kopi dini hari, melainkan pada sebuah cerita yang pernah ku miliki. Kemudian aku menjawabnya: “Kopi saja, Dinda. Jangan manis-manis ya, diracik agak pahit saja.” Setelah mengiyakanku, iapun berlalu sembari menawarkan pada yang lainnya.
Tentang Kopi, inilah awal cerita yang hendak ku lukiskan mengenang sang pemilik Keindahan. Malam itu terasa lebih cepat dibanding malam-malam sebelumnya. Bersama udara dingin dan hembusan angin di ruang terbuka, semua santri sedang bergegas menuju aula utama. Tak lupa, para guru pun menyiapkan diri mengajar sebagaimana perannya. Aku lupa entah malam apa, yang kuingat hanyalah jumlah guru yang minimalis tersisa hingga mengharuskan pengurus lembaga mencari guru tambahan untuk memenuhi jam pelajaran seperti biasanya. Aku masih sibuk membereskan Mukena pasca shalat Isya’.
“Bu, malam ini para santri biar belajar Public Speaking saja bagaimana? Nanti saya bilang kepada kak Arfa untuk bersedia mengisi. Sebab, jumlah Guru yang stay hanya bertiga. Sementara, kita gunakan waktu untuk mempersiapkan bahan ajar esok hari saja. Kita rapat ya.” Tiba-tiba, kawanku berbicara untuk meminta pertimbanganku yang juga merupakan bagian dari tim guru disana. Bu adalah kata sapaan khas di lembaga kami untuk memanggil para guru perempuan. Begitu pula dengan guru laki-laki, kami menggunakan istilah Pak. Adapun Kak adalah penyebutan khusus untuk para guru bantu, yang berasal dari santri senior dengan program berbeda namun tinggal di tempat yang sama.
Alih-alih bersiap untuk mengikuti rapat, aku justru terjebak dalam nuansa syahdu penuh kedamaian. “Bu Indri, kita rapat berdua saja. Kelas santri bersama kak Arfa kan harus ada yang membantu mengawasi. Biarlah bu Arin yang berjaga disini membersamai kak Arfa”. Ujar bu Farah, kawanku yang lain kepada bu Indri. Alhasil, kami berbagi peran malam itu. Dan karena aku yang memang baru datang ke pesantren pada sore harinya, maka kedua kawanku mengatur agar aku yang bergantian mengawal santri, sedang mereka berdua menyiapkan agenda esok hari.
“Baiklah,” ujarku menyetujui kedua kawanku. Sembari menunggu kedatangan kak Arfa, aku pun membereskan aula dan mendatangi asrama santri putri agar mereka bergegas menuju kelas. Beberapa menit kemudian, kak Arfa bersama beberapa santri putra datang dengan senyum yang mengembang menyambut gurauan para santri. Aku berdiam diri dibelakang barisan. Retorika kelas pun dimulai dengan antusias para santri yang semakin membahagiakan.
“Ibu, saya kurang faham dengan penjelasan kak Arfa. Beliau menjelaskannya terlalu lembut.” Tiba-tiba, salah seorang santri putri menghampiri dan membuyarkan lamunanku. Aku melamun? Sungguh, dengan jujur ku jawab iya. Sebenarnya, peran yang sedang ku hadapi kala itu adalah momen yang sudah lama aku nantikan. Perihal kak Arfa, aku memang menyimpan berjuta rasa penasaran. Penasaran akan semua kebenaran cerita kawan-kawanku terkait kak Arfa yang pada dirinya terdapat berjuta keindahan. Sebab, kala itu aku tidak sering stay di pesantren, sehingga jarang berjumpa dan berdialektika dengan para warga pesantren.
Gagal fokus melanda alam bawah sadarku. Kelas berjalan syahdu, dan sudah satu jam berlalu. Tak terasa, hingga waktu menunjukkan pukul dua puluh satu. Antusiasme para santri terlihat semakin meningkat, sedang mataku hampir semakin terlelap. Entah karena lelah, atau karena terhanyut pada pesona keindahan malam di depan mata. Kak Arfa sungguh berwibawa, hingga semua kata puja ingin kuungkapkan padanya. Eh, lebih tepatnya pada Tuhan yang telah menciptakannya.
Ku rasa, kelas malam itu tak akan selesai secepat biasanya. Hingga untuk mengurangi rasa kantuk yang kian melanda, ku putuskan pergi ke dapur meracik kopi yang biasa tersedia. Dengan sigap ku nyalakan kompor untuk mendidihkan air. Sebenarnya air galon panas ala dispenser juga ada. Tetapi, aku lebih suka aroma kopi yang terseduh menggunakan air mendidih ala gas LPG. Sebab, rasa dan aroma yang dihasilkan akan lebih wangi dan menggiurkan. Pas di lidah.
Sembari menunggu air mendidih, aku pun mulai meracik kopi kesukaanku. Dalam gelas bervolume 200 ml, ku tuangkan 3 sdt bubuk kopi hitam dan 2 sdt gula pasir. Ya, tentu agar rasa yang dihasilkan lebih kental dan dominan pahit, karena aku tidak suka kopi yang terlalu manis apalagi ambyar. Mungkin karena hidupku sudah teramat manis, atau karena aku tidak bisa merasakan manis yang lain selain melihat senyumnya yang penuh keindahan. Hehe. Entahlah.
Selang waktu dua menit, air terlihat mendidih diatas kobaran api. Bukan api cinta, melainkan api kompor gas elpiji yang diatasnya terdapat panci. Perlahan namun pasti, aku menuangkan air ke dalam gelas yang telah berisi racikan kopi. Ahaa, mataku pun mulai terasa segar, setelah menatap kepulan asap yang terbang bersama bait doa yang diam-diam ku panjatkan. Satu gelas kopi siap ku bawa menuju aula.
Namun sebelum kaki tegap melangkah, aku pun bimbang. “Eh, masa aku hanya bikin kopi untuk diri sendiri? Bagaimana dengan kak Arfa? Apa ku buatkan saja? Tapi kalau aku membuatkannya, nanti dikira caper atau gimana. Sedang kalau aku tak membuatkan juga untuknya, kok aku terlihat begitu pelit dan tak peduli sesama ya… duh, bagaimana ini?” Batinku berkata. “Ah, bodo amat. Daripada aku gak enak minum sendiri, ya sudahlah ku buatkan saja untuknya”. Akhirnya aku memutuskan demikian. Secepat kilat, aku putar balik ke arah kompor dan kembali meracik kopi di gelas kedua. Dua gelas kopi siap saji. Satu untukku, satu lagi untuknya; kak Arfa.
Sebelum menuju aula, aku teringat ajaran Mama di rumah. Mamaku pernah berkata: “Nak, kalau memberi minum untuk tamu atau orang lain, pastikan yang rapi ya. Selalu beri tatakan piring dibawah gelas, dan kalau perlu juga harus diberi tutup”. Begitu kira-kira. Akhirnya, dua gelas tadi ku pisah. Satu milikku ku tinggal di dapur, sedang satu yang untuk kak Arfa ku antarkan terlebih dahulu menggunakan nampan dan tatakan piring kecil dibawahnya. Kuberikan di depan posisi kak Arfa yang sedang duduk mengajar, kemudian aku kembali bangkit menuju dapur untuk mengambil gelas kedua. Setelahnya, aku pun kembali ke aula untuk mengawal kak Arfa dan para santri.
Dua jam telah berlalu, dengan semilir angin dan gurauan para Jangkrik yang tak penah berhenti menemani syahdunya kelas para santri. Bulan terlihat amat terang seakan sedang turut tersenyum mendengarkan penjelasan kak Arfa di depan. Sejauh mata memandang, hingga tak terasa sudah lewat pukul sepuluh malam. Terdengar suara kak Arfa sedang mengakhiri kelasnya dengan memberikan wejangan motivasi kepada para santri. Tak lupa, juga memberikan tugas agar para santri menulis hasil diskusi dari kelas public speaking tadi. Setelah usai dan berdoa bersama, kak Arfa mempersilahkan para santri kembali ke asrama dan segera bersiap untuk istirahat. Sebab, peraturan pesantren menghimbau para santri untuk tidur pada pukul sepuluh malam dan bangun kembali di sepertiga malam guna bermunajat pada Tuhan. Para santri mengiyakan, satu persatu dari mereka berpamitan meninggalkan kelas. Aula kembali sepi, dan selanjutnya hanya terdengar gemercik air di dalam kamar mandi pertanda para santri sedang melakukan aktivitas gosok gigi.
“Bu Arin, belum mau istirahat?” tanya kak Arfa sembari menghampiriku. “Tanggung, Kak. Menghabiskan kopi dulu”, jawabku. Ku lihat, Kopi dalam gelas kak Arfa juga belum sepenuhnya habis. Maka tanpa aba-aba, kami pun duduk bersama di pinggiran aula menghabiskan kopi dari gelas masing-masing. Beratap langit malam hari dengan suasana dingin nan sejuk, rasanya bukan hanya bebek di kandang belakang saja yang bisa berbahagia. Namun, hatiku juga. Seperti berbunga-bunga, entah dengan warna apa saja. Yang jelas, mekarnya melebihi bunga Matahari yang kala itu sedang bermekaran di taman depan aula.
“Kak, penjelasanmu tadi luar biasa ya. Hingga membuat anak-anak betah meski melebihi waktu kelas yang sebenarnya. Tentu kak Arfa sudah banyak berpengalaman nih”, ucapku padanya sembari memecah keheningan. “Ah, biasa saja, Bu. Kebetulan saja, jadwal kelas tadi memang sesuai bidang saya. Jadi ya begitu. Kalau ada kekurangan, mohon koreksi Bu”, jawab kak Arfa dengan nada yang teramat santun dan mempesona. Nampaknya, jawaban itu menjadi citera awal aku mengenal kak Arfa. Dari segi usia, kak Arfa memang berada beberapa tahun diatasku. Dia juga merupakan santri yang paling senior diantara teman-teman yang satu program dengannya. Namun, kedewasaan menjadikannya selalu bersikap rendah hati kepada sesama, termasuk padaku yang meskipun lebih muda darinya. Disamping itu, karena peranku dan perannya di pesantren juga berbeda, sehingga menuntut untuk saling hormat antar sesama.
Selanjutnya, kami pun mengobrol sembari bersantai ria. Saling sharing, saling bertukar pendapat, juga saling bercerita. Entah sampai bab apa saja, dan entah sampai berapa SKS jika dikalkulasikan seperti mata kuliah agama. Intinya, malam itu cukup hening penuh nuansa bahagia. Hingga tiba-tiba, notif handphone-ku berbunyi. Ku lirik sekilas, ternyata ada pesan Whatsapp masuk; –Bu Farah– begitu tulisannya. Meski heran karena bu Farah yang berkirim WA padahal posisi kami sedang saling berdekatan (bu Farah di dalam kamar yang berada di belakang aula), namun akhirnya ku buka juga. “Pepet teruuuus Bu”. Begitu isi pesannya. Ah, ternyata bu Farah sedang meledek kami berdua.
Singkat cerita, aku pun tersadar. Ternyata hampir dua jam kami bersama. Jam dinding telah menunjukkan hampir pukul 00 dini hari. Sungguh tak terasa. Mungkin karena efek kopi yang membuatku melupakan rasa kantuk, atau karena kata-kata kak Arfa yang berhasil menghipnotis malamku. Suara Jangkrik kian mengeras, sedangkan dengkuran para Bebek dan Kambing kian terdengar jelas. Pelan-pelan, juga mulai terdengar suara para santri senior me-muraja’ah hafalan al-Qur’an. Pertanda aku harus segera mengakhiri obrolan malam bersama kak Arfa. Obrolan sederhana yang membuatku bahagia.
“Baiklah, Kak. Ternyata sudah larut malam. Silahkan istirahat. Saya mohon pamit ya.” Aku pun terpaksa undur diri darinya. “Iya bu, saya juga. Selamat malam,” jawab kak Arfa. Aku pun berlalu dari aula dengan sangat terpaksa. Maunya sih masih berlama-lama. Tapi ya bagaimana lagi kan. Hmmm ingin rasanya aku terus tersenyum, tapi khawatir ditertawakan barisan nyamuk di depan kamar. Aku terus bergumam dalam hati; ternyata memang benar adanya ya, bahwa jika kita berlama-lama dengan yang membuat bahagia, waktu akan terasa sangat cepat perputarannya. Ah, indahnya kisah para pujangga.
Akhirnya, aku pun masuk kamar untuk beristirahat sebelum harus kembali bangkit membangunkan para santri di sepertiga malam nanti. Selain itu, juga untuk mengumpulkan energi mempersiapkan diri melihat keindahan esok hari. Ingin aku bercerita lagi, tentang bagaimana hubungan antara kopi dan buku seperti yang ku tulis dalam Story. Tapi nanti lah, mungkin lain kali.
Oleh: Azeira Avicenna, Sang Pengamat.