Pendiri Bengkel Mindset

Rilis.ID/Istimewa

Berjuang (berjuang)

Berjuang sekuat tenaga

Tetapi jangan lupa

Perjuangan harus pula disertai doa

Rintangan (rintangan)

Rintangan sudah pasti ada

Hadapilah semua dengan tabah

Juga dengan kebesaran jiwa

 

Lirik lagu Bang Haji Roma Irama yang berjudul “Perjuangan dan Doa” menunjukan bahwa setiap orang yang hidup di dunia ini harus berjuang dan diiringi dengan berdoa. Setelah berjuang dan berusaha sekuat tenaga sampai titik darah penghabisan, serta berdoa kepada Allah swt. yang merupakan Sang Pencipta, manusia wajib bertawakkal kepada-Nya. Apapun hasilnya, Allah telah memberikan yang terbaik.

Perjuangan dan doa itu bertujuan untuk mencapai cita-cita yang diinginkan. Namun, perjuangan bukanlah sesuatu yang mudah dan mampu dilakukan oleh setiap orang. Terkadang ada orang yang belum berjuang, sudah putus asa. Ada juga orang yang baru mulai berjuang, sudah mudah mengeluh dan merana. Namun demikian, bukan berarti tidak ada orang yang luar biasa dalam berjuang tanpa menyerah sebelum cita-citanya tercapai.

Setiap perjuangan pasti tidak luput dengan yang namanya rintangan. Manusia seringkali menjumpai kesulitan hidup yang menyebabkan berbagai penyakit hati, di antaranya galau, tidak bersemangat, kurangnya motivasi, hingga akhirnya putus asa. Karena itu, manusia membutuhkan dorongan dan penyemangat dalam hidup untuk melewati ujian hidup. Ujian atau cobaan tersebut bertujuan untuk menilai keimanan setiap orang yang beriman. Cobaan setiap orang berbeda-beda. Ada yang merasa berat atau ringan, tergantung dari sudut pandang ia memandang, tergantung pada cara berpikir kita atau dalam bahasa jaman now-nya: “mindset”.

Menurut Kansil, perjuangan adalah suatu usaha untuk mencapai kemerdekaan dengan menggunakan organisasi secara teratur. Perjuangan merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang dilakukan dengan menempuh berbagai kesulitan serta dilakukan dengan kekuatan fisik maupun mental.

Tidak mudah  bagi orang yang ingin meraih kesuksesan. Kesuksesan bukan diraih oleh orang yang sudah terfasilitasi setiap kebutuhannya, bukan pula untuk orang-orang yang dilahirkan oleh orang tua yang sukses. Sesungguhnya kesuksesan itu akan diraih oleh orang yang mau berjuang dan berdoa. Sebagaimana firman Allah dalam Qs. Ali Imron ayat 186:

لَتُبْلَوُنَّ فِىٓ أَمْوَٰلِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكُمْ وَمِنَ ٱلَّذِينَ أَشْرَكُوٓا۟ أَذًى كَثِيرًا ۚ وَإِن تَصْبِرُوا۟ وَتَتَّقُوا۟ فَإِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ ٱلْأُمُورِ

“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu benar-benar akan mendengar dari orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakiti hati. Jika kamu bersabar dan bertawakal, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.“ (QS. Ali Imran: 186).

Mindset Monash: Gagal atau Sukses?

Gagal atau sukses tergantung pada mindset seseorang. Untuk meraih kesuksesan tidak hanya mengorbankan jiwa, tetapi juga harta. Selain dengan harta dan jiwa, juga banyak rintangan yang tidak jarang menyakitkan. Misalnya, ketika saya memutuskan untuk kuliah dengan keterbatasan biaya, banyak tetangga yang mencibir. Meskipun saya mempunyai keyakinan untuk bisa kuliah hingga lulus, entah dari mana biayanya, terkadang pula saya juga menangis ketika mendengar cerita dari para tetangga yang harus menjual ini dan itu untuk biaya anaknya kuliah. Kuliah, menurut orang-orang di kampung saya, memang merupakan sebuah hal yang tidak mungkin bisa diraih oleh orang yang serba mempunyai keterbatasan biaya seperti saya.

Pada 2011, saya memberanikan langkah menginjak sudut ibukota Provinsi Jawa Tengah, yaitu Semarang tujuan untuk kuliah di IAIN Walisongo. Saya pun tidak memikirkan mau tinggal di mana, padahal saya tidak mempunyai kerabat yang di Semarang satu pun. Yang terbesit dalam benakku, aku hanya ingin kuliah. Ketika pertama kali memberanikan diri mendaftar kuliah, Maha Suci Allah, saya dipertemukan dengan orang-orang hebat di Pesantren Mahasiswa Pemuda Islam (PMPI), yang kemudian menjadi Monash Institute.

Di rumah perkaderan itu, saya bertemu dengan para mentor pertama yang sangat luar biasa membimbing, mendidik, dan sabar dalam melayani saya yang masih jauh dari kata bisa. Mulai dari pengajaran Bahasa Inggris, Bahasa Arab, baca Kitab Kuning, menulis opini dengan metode yang menyenangkan, tidak pernah terbesit dibenakku sebelumnya. Salam takdim dariku semoga mereka senantiasa diberkahi oleh Allah SWT.  Aamiin.

Selain ada para mentor yang luar bisa, lebih dari apapun, saya dipertemukan oleh Allah SWT dengan Dr. Mohammad Nasih, M.Si., Al-Hafidh yang merupakan pengasuh sekaligus pendiri Monash Institute. Doktor muda dengan wajah yang rupawan, berkulit kuning langsat, tinggi, cerdas, dan dermawan. Selain itu, pemikirannya yang sangat luar biasa membuat saya terpacu untuk bisa meniru jejaknya. Selain pemikiran dalam keilmuan umum, pemikirannya dalam bidang agama bisa dibilang mumtaz (sempurna). Dari pemikiran-pemikirannya yang luar biasa, ia berusaha melahirkan kader-kader militan yang bersemangat baja.

Berpikir Sehat

Tidak mudah untuk selalu berpikir sehat bagi orang yang sedang sakit. Beharap sehat, mungkin iya. Namun, untuk berhusnudhan bahwa Allah sedang menguji dan akan menaikkan derajatnya, itu tidak mungkin terjadi bagi kebanyakan orang. Padahal sesungguhnya Allah tidak akan memberi cobaan melebihi batas kesanggupan hambanya. Sebagaimana firman Allah dalam awal QS. Al-Baqarah ayat 286:

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang itu melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah: 286)

Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa setiap ada cobaan, pasti ada jalan keluarnya. Sebab, seberat apapun beban yang dirasakan dan sebanyak ujian yang harus diterima, sesungguhnya Allah akan menguatkan dan membuat hambanya mampu melewatinya. Sebagai orang yang beriman, hendaknya kita senantiasa yakin dengan pemberian Allah. Allah memberikan sedikit ujian dan akan memberikan jalan keluar sebesar keagungan-Nya.

Pertama, ketika saya masih duduk di bangku Madrasah Aliyah, Allah memberikan cobaan kepada saya. Bisa dikatakan, hampir setiap hari, saya pingsan dan harus check up di RSUD Soetrasno Rembang setiap minggu. Bahkan harus minum obat 3 kali sehari. Meskipun sudah berobat, masih saja belum sembuh hingga saya dinyatakan lulus dan kemudian melanjutkan studi di IAIN Walisongo dan sebagai santri di PMPI. Suatu ketika ketika shalat berjamaah di PMPI, tiba-tiba saya pingsan dan ditolong oleh Abah Nasih.

Perjuangan yang luar biasa ketika harus belajar, ngaji, dengan penuh cobaan. Setelah setiap akhir pekan bertemu Abah Nasih, untuk ikut kajian, saya sering sekali mendapat pesan yang saya rasakan bernada bully-an. “Sudah nggak pingsan lagi, Mbak Har?” tanya Abah dengan sedikit menebar senyuman. Tentu saya menjawab tidak, karena memang sedang tidak. Tidak tahu kalau nanti siang. Demikian itu diulang berkali-kali, dengan pesan yang sangat saya pahami: “Semua itu tergantung mindset. Kamu harus berpikir tidak akan pingsan lagi. Semua akan baik-baik saja. Berpikirlah positif.” Begitulah kira-kira perkataan Abah Nasih.

Setiap ucapan yang keluar dari mulutnya selalu mengandung doktrin dan ion-ion positif untuk para disciple, terlebih saya. Kata mutiaranya yang tidak akan terlupkan, “Pemimpin itu tidak boleh sakit-sakitan” yang tidak jarang diikuti dengan hardikan dan bully-an dengan nada bercanda. Namun, dari ucapannya yang tajam itu, membuatku sadar bahwa aku harus selalu berpikir sehat. Meskipun Abah Nasih bukan seorang dokter, tetapi setiap perkataan yang keluar, menjadikan obat dan jamu bagi saya. Obat itulah yang membuat saya masih berkesempatan hidup di dunia ini dengan penuh semangat. Meskipun dulu saya pernah berpikir apakah akan panjang umur.

Selain sering pingsan, saya juga mudah sekali mengantuk. Tidak bisa diajak kompromi lagi, seringkali rasa kantuk menyerang pada saat kajian, hingga tidak jarang membuat kepala mengayun ke kanan, ke kiri, dan ke depan. Kondisi yang demikian pun tidak luput dari perhatian Abah Nasih. Ia mengingatkan hal yang sama, yakni soal mindset. Sampai akhirnya, saya diberikan nama tambahan “Sahara” oleh Abah Nasih, yang berarti “terjaga” atau “bangun”, sehingga nama saya menjadi Hartiningsih Sahara. Sebuah pemberian yang tidak akan terlupakan, karena nama adalah doa, yang akhirnya doa itu terkabulkan dalam waktu yang tidak lama. Beruntung sekali saya ini.

Kedua, dulu saya hanya berpikir untuk kuliah S1 dan selebihnya akan bekerja. Simple, seperti halnya yang dilakukan orang kebanyakan di kampung saya. Karena itu, saya melanjutkan di UIN Walisongo dan mengambil jurusan Ahwal al-Syakhsiyah. Saya berharap, suatu saat ketika lulus, saya bisa menjadi Hakim. Mimpi di siang bolong bagi orang kampung seperti saya. Hehe. Justru setelah tinggal di Monash Institute, semuanya yang dulu saya pikirkan seketika berubah. Saya mulai bermimpi untuk S2, karena doktrin Abah Nasih yang mengatakan bahwa minimal kalian harus jadi dosen.

Setelah lulus S1, saya langsung mendaftarkan diri untuk S2 di UIN Walisongo dan mengambil jurusan Hukum Keluarga. Ini semua juga berkat Abah Nasih yang memberikan beasiswa pinjaman kepada saya. Kuliah S2 sambil mengabdi untuk bertani, bertenak, dan mengaji di Desa Mlagen, Pamotan, Rembang, yaitu di rumah Ibu Abah Nasih, merupakan suatu hal yang tidak mudah bagi kebanyakan orang, apalagi bagi anak muda. Namun, kami menjalani dengan penuh kebahagiaan dan kebersamaan. Hingga saatnya tiba, saya harus wisuda pascasarjana dari UIN Walisongo.

Merupakan sebuah ultra petita yang dikarunikan Allah kepadaku, lagi-lagi karena pertolongan Allah untukku melalui tangan Abah Nasih. Terkadang sesuatu yang tidak pernah saya pikirnya, menjadi takdir baik untukku. Dan Alhamdulillah saat ini saya diberi kesempatan oleh Allah untuk menjadi seorang dosen. Ini mengingatkan saya terhadap firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 216:

وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu tetapi ia baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu tetapi ia buruk bagimu. Dan Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui (QS. Al-Baqarah: 216).

Ayat tersebut menunjukkan bahwa saya harus selalu bersyukur dengan kesenangan yang saya terima dan tidak mencaci ketika menemukan sesuatu yang tidak saya sukai. Hal itu merupakan cara terbaik untuk memperbaiki kehidupan. Jadi, sesungguhnya jika kita mau berpikir positif maka alam bawah sadar kita juga akan menangkap hal positif. Itu pesan Abah Nasih yang selalu terpatri dalam benak, agar diri ini lebih percaya diri untuk menghadapi kerasnya dunia. Seorang pendiri bengkel mindset yang dicintai oleh orang-orang sekelilingnya. Wallahu a’lam bi al-Shawaab.

Oleh: Hartiningsih Sahara, M.Ag., Disciple 2011 Monash Institute, Dosen IAIN Salatiga.

Editor: Anzor Azhiev

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *