Hari-hari ini, tak disangsikan lagi peta demografi semakin diwarnai oleh generasi milenial, atau generasi digital, dengan segala ciri dan karakternya. Generasi ini menonjol dalam penguasaannya atas gadget dan teknologi ICT (Information Communication Technology). Salah satu cirinya adalah umumnya mereka tidak membutuhkan buku panduan saat mendapat gawai baru, namun bisa langsung lancer mengoperasikannya.
Jika zaman berkembang linier tanpa guncangan, boleh jadi kepiawaian generasi yang juga sering disebut sebagai Generasi Y ini akan punya kesempatan emas untuk berkarir dalam zaman yang juga berciri digital. Mereka akan memiliki lingkungan alamiah yang pas untuk passion dan kompetensinya. Namun oleh satu koinsidensi zaman, kemajuan teknologi yang mereka sukai juga telah menimbulkan apa yang hari-hari ini diwacanakan sebagai disrupsi.
Disrupsi telah mengguncang bak gempa dan tsunami di berbagai bidang, baik politik, ekonomi, industri, media, dan juga pendidikan. Sekadar contoh, untuk bidang politik, kemenangan Presiden Donald Trump dicurigai sebagai hasil gempuran hoax dan ujaran kebencian yang dilancarkan oleh kalangan di rusia yang tidak menghendaki kandidat Hillary Clinton memenangi pilpres.
Di bidang ekonomi, bisnis ritel dan transportasi daring marak, membuat pusat perbelanjaan surut karena pembelian via daring meningkat, demikian pula perusahaan taxi konvensional harus memprotes kehadiran taxi aplikasi. Industri media khususnya media cetak memasuki senja kala dengan semakin bertumbuhnya media online.
Oplah turun tajam sementara media online masih belum memberi penghasilan pengganti yang memadai. Bidang pendidikan juga tidak imun dari guncangan, karena semakin terbukanya pendidikan online memungkinkan dilaksanakannya pendidikan terbuka jarak jauh. Ini masih ditambah dengan terbukanya peluang bagi mahasiswa untuk mengambil mata kuliah dari universitas berbeda-beda. Ini akan membuat definisi seseorang lulusan Perguruan Tinggi mana jadi rumit.
Dari sisi lingkungan di luar, wacana yang muncul adalah VUCA, untuk melukiskan zaman yang bergejolak (volatile), tidak pasti (uncertain), rumit (complex), dan kabur makna (ambiguous). Di bidang industri, yang jadi wacana adalah Industrial Revolution 4.0. Era ini antara lain ditandai dengan meningkatnya riset dan aplikasi sejumlah teknologi, khususnya Kecerdasan Buatan/Artificial Intelligence), Robotika, 3D Printing (memungkinkan mesin mencetak sosok kita), dan Virtual Reality.
Dari sisi pencari tenaga kerja, antara lain Google, mulai tidak mengutamakan ijazah pelamar kerja, tetapi sertifikat keahlian apa yang dimiliki. Dalam konteks ini, dewasa ini yang banyak dicari adalah tenaga TI (Teknologi Informasi), desain grafis, animasi. Sepuluh-dua puluh tahun lalu, tenaga kerja seperti ini belum ada, dan kalaupun sudah ada lebih sebagai tenaga pendukung.
Ketika kebutuhan makin besar, PT yang menghasilkan tenaga tersebut masih belum banyak. Diperluas cakupannya ke bidang Iptek, khususnya enjiniring dan sains, minat generasi muda untuk menerjuni bidang-bidang ini relatif kecil, kurang-lebih hanya sekitar 15% dari lulusan SMA. (Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo yang giat melaksanakan pembangunan infrastruktur, satu ironi juga bahwa minat untuk menerjuni teknik sipil/konstruksi surut).
Dilihat dari rasio jumlah, mahasiswa di jurusan Iptek adalah sekitar 1/3 dari hampir 6 juta mahasiswa Indonesia. Persentase terbesar masih banyak yang memilih prodi humaniora, yang terentang mulai dari sosial-politik, sampai sejarah dan antropologi. Problem yang lalu muncul tentu saja kejenuhan suplai, justru ketika daya serap pasar belum meningkat di tengah stagnasi ekonomi. Tidak jarang muncul berita tentang sarjana yang menganggur dan kesulitan mencari pekerjaan. Jumlah sarjana menganggur sejak tahun 2014 terus naik, dari 398.298 menjadi 569.402 (2015) dan 695.304 (2016)
Problema Kontemporer
Dalam kondisi ada tsunami digital, Revolusi Industri 4.0, bangsa Indonesia tampaknya sejak Reformasi, dan terlebih-lebih sejak Pilkada DKI 2017, dilenakan oleh politik. Meminjam yargon Orde Lama, politik kembali seolah menjadi panglima. Yang disayangkan adalah yang berkembang justru bukan politik yang santun berkeadaban, tetapi politik yang berkarakter Machiavellian.
Mengiringi fenomena tersebut adalah maraknya hoax (informasi bohong) dan hate-speech (ujaran kebencian). Banyak yang mengamati, bahwa keterbelahan di masyarakat berkelanjutan hingga sekarang ini, yang dikhawatirkan akan terulang di pilkada, pileg, dan pilpres 2019. Atas merebaknya fenomena hoax, masyarakat diminta untuk mengacu pada media mainstream.
Gerakan perlawanan terhadap hoax dan hate-speech juga muncul di berbagai kota. Presiden Joko Widodo juga telah mengajak masyarakat untuk melawan hoax. Dari sisi pendidikan, didorong ditingkatkannya literasi media dan kearifan digital.
Namun masalah tidak berhenti di situ, karena pada era sekarang juga sedang berkembang faham yang dikenal sebagai “Post truth” (pasca kebenaran/kesunyatan). Di sini kebenaran bukan lagi fakta, tetapi persepsi. “Kebenaran adalah mauku”. Dipadu dengan fenomena lain seperti radikalisme dan intoleransi, sesungguhnya masyarakat Indonesia sedang berada dalam kesukaran.
Tentu ada banyak solusi yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan ini. Di antaranya, dan kiranya termasuk yang terpenting adalah peranan pimpinan nasional yang tegas. Memang kini sudah dibentuk Unit Kerja Presiden untuk Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP PIP).
Tetapi bangsa Indonesia tetap membutuhkan kepemimpinan yang tidak henti-hentinya memandiu bangsa untuk bersatu dan memajukan rasa kebangsaan (nationhood), hal yang kurang digaungkan sebagaimana yang dulu giat dilakukan oleh Presiden pertama Soekarno. Selain itu, kepemimpinan nasional juga harus memperlihatkan ketegasan untuk menindak intoleransi.
Pendidikan Pro Pluralitas
Sebagaimana telah disinggung di atas, pendidikan sebagai bagian dari program dan aktivitas pembangunan tidak luput dari disrupsi. Tuntutan pendidikan jarak jauh dalam jaringan, masuknya perguruan tinggi asing, revolusi industri 4.0, serta trend yang mengiringi seperti big data, membuat pengelola perguruan tinggi perlu melakukan penataan ulang kurikulum.
Dengan tuntutan yang ada, tidak memadai dosen hanya menyampaikan materi kuliah secara monolog di depan kelas. Muncul wacana, bahwa sekarang yang dibutuhkan adalah “dosen milenial”.9 Ini karena yang dibutuhkan mahasiswa selain kompetensi pengetahuan adalah juga kemampuan sebagai insan pembelajar (learning individuals).
Ini untuk memenuhi kebutuhan adanya tenaga kerja yang mampu terusmenerus belajar untuk merespon pengetahuan yang terus berkembang. Selain itu, yang dibutuhkan adalah kemampuan problem-solving. Untuk ini lulusan harus menjadi insan inovatif dan kreatif, baik secara individu maupun tim. Di sini yang dibutuhkan adalah kelas-kelas yang mengembangkan pembelajaran kolaboratif.
Seperti dikembangkan di UMN, selain materi prodi, juga secara tematik, pada kuliah perdana atau wisuda ditampilkan tokoh-tokoh, baik dalam bidang yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa milenial berciri ICT, seperti CEO start-up sukses, juga sosok-sosok pluralis dan nasionalis, seperti Ketua UKP PIP Yudi Latif dan Direktur Wahid Institute Yenny Wahid. Diharapkan melalui pendekatan tersebut, mahasiswa tidak saja bisa terus mengembangkan kompetensi di bidangnya, yakni yang terkait dengan technopreneurship, tetapi juga terus terpelihara ke-Indonesiaannya.
Pekerjaan Rumah
PT sebagai bagian dari sistem pendidikan sudah beberapa waktu terakhir menghadapi tantangan, dan terakhir secara fundmental disebabkan oleh perkembangan teknologi, meski ada sebab lain, seperti semakin mahalnya biaya. Meski universitas yang dilahirkan sebagai salah satu produk Renaisans sempat lebih bernuansa agama, namun dalam perkembangan selanjutnya citra tersebut bergeser ketika pengaruh Revolusi Industri semakin kuat.
Kardinal Newman yang menulis artikel The Idea of University (1852), universitas ada untuk menggembleng karakter mereka yang kuliah di situ. Universitas harus bisa mengesankan mahasiwa tentang cita-cita pikiran terpelajar, membantu mengubah manusia yang mentah menjadi gentlemen. Universitas harus memberi apa yang dunia tidak berikan. Penting ketika perdagangan dan industri makin merebak.
Kita bisa berefleksi, apakah cita-cita menghasilkan insan dengan pikiran terpelajar masih kuat di sekitar kita. Satu trend lain yang bisa kita simak adalah apa yang pernah dikemukakakn oleh Nathan Harden. Memang teknologi menimbulkan perubahan besar, yang selain mengubah sistem pembelajaran juga berpotensi mengurangi pendapatan finansial. Tapi kalau tujuan universitas adalah mendidik semakin banyak mahasiwa , sebaik mungkin dan seterjangkau mungkin, akhir dari universitas seperti yang kita kenal tidak untuk ditakuti, sebaliknya malah harus dirayakan.
Kekhawatiran
Di atas telah diuraikan sejumlah isu yang terkait dengan persoalan yang dihadapi oleh perguruan tinggi. Demikian pula tuntutan yang dihadapi oleh dosen dan mahasiswa di era sekarang ini. Sekadar meringkaskan, karakteristik mahasiswa dan dosen yang diidealkan sekarang ini adalah :
Mahasiswa 4.0
- Pembelajaran sebagai penjelajahan pengetahuan “a learning journey”.
- Pendidikan sebagai pengembangan karakter
- Personalised-learner
- Beberapa approach: design-thinking, creative process, collaborative-learning, project-based learning, problem-based learning, pedagogy dan androgogy (pendidikan orang dewasa) heutagogy (pendidikan mandiri).
Dosen 4.0
- Kompetensi keilmuan yang kuat
- Soft skill (critical-thinking, creative, communicative, collaborative).
- Peran: Menebar passion dan menginspirasi mahasiswa, teman bagi mahasiswa, teladan karakter.
Harapan ini masuk akal. Di satu sisi persoalan sulit dan kompleks harus ditangani oleh pikiran dalam. Guncangan yang ada membutuhkan inovasi baru yang membutuhkan cara berpikir lain, yakni cara berpikir inovatif, yang mustahil dipecahkan semata oleh ilmu eksakta atau humaniora. Jalan keluar adalah melalui “berpikir tingkat tinggi” (higher-order thinking).
Menurut Prof Tilaar, cara berpikir demikian hanya dapat dilaksanakan jika orang mengombinasikan ilmu-ilmu eksakta dan ilmu-ilmu humaniora. Sebelum persyaratan berat ini bisa dipenuhi, kita bahkan bisa bertanya lebih dulu, apakah pikiran dalam, pikiran tinggi, sulit dibentuk di era gawai dan multitasking yang mendominasi insan Zaman Now.
Alih-alih pikiran dalam dan tinnggi, tidak jarang justru kita mendenggar musibah orang mendapat musibah karena autis akibat adiksi pada gawainya, yang dilihat sekitar 50 kali sehari, atau rata-rata sekali setiap 6,4 menit.