Jangan pernah bertanya “kenapa” kepada orang yang jiwanya sesak dipenuhi cinta, tak terkecuali yang mencintai diri dan egonya sendiri
Cinta benar-benar memabukkan, membuat seorang yang mengaku paling waras terlihat seperti orang gila. Membuat seorang yang begitu cerdas terlihat sangat tolol. Semua orang punya keahlian, tapi dihadapan cinta, semua orang adalah pemula. Di hadapan cinta kau sulit menjelaskan kenapa kau rela menghabiskan waktu untuk sekedar menunggu ucapan “selamat pagi” dari seorang yang begitu kau kasihi, atau mungkin menjelaskan kenapa kau tak bisa berhenti tersenyum saat membaca pesan “makan dulu, biar gak sakit” dari orang yang bahkan bukan siapa-siapamu.
Ada begitu banyak kisah cinta yang melegenda, mulai dari Qays si “Majnun” yang meninggal di tepi kuburan Laila, perempuan yang membuatnya jatuh hati, meski tak pernah sempat ia miliki, kisah cinta Romeo Juliet yang abadi dalam kematian sebab hidup di tengah konflik keluarga besar Capulets dan Mountage, sampai kisah pengorbanan Raja Shah Jahan membangun Taj Mahal dalam kurun waktu 11 tahun untuk membuktikan cintanya kepada mendiang istrinya, Mumtaz Mahal, yang meninggal setelah melahirkan anak ke-14-nya.
Tentu tak perlu menjadi salah seorang di antara ketiganya, cinta punya ribuan bentuk lain. Seorang Ayah yang memeras keringat demi semangkuk sup hangat di musim dingin untuk keluarganya, seorang pejuang yang berjudi dengan kematian demi kibaran bendera negara yang kelak menginjak leher cucunya, atau kisah seorang Rabiah Al-Adawiyah yang justru memilih sendiri sampai akhir hayatnya demi cinta kepada pencipta-Nya.
Ya, cinta begitu abstrak, begitu kaya akan tafsir, rahim yang melahirkan segala bentuk sikap dan perbuatan. Sebab itu pula, ada orang yang rela membakar hutan, mengeruk gunung, menimbun laut demi cintanya kepada uang, membantai jutaan manusia demi kekuasaan, membuang malu demi ketenaran, atau bunuh diri demi cintanya pada keheningan.
Cinta mempunyai banyak wajah, dan yang terburuk adalah kekerasan. Kita bisa menemukan ada sangat banyak kekerasan yang dilakukan di atas panji demi agama, demi suku, demi rakyat atau yang paling dekat adalah demi hubungan yang awet ke lawan jenis. Prett. Korbannya bisa orang tua, anak-anak, laki-laki, dan perempuan, baik yang sudah menikah maupun yang masih dalam status komitmen hubungan serius alias pacaran.
Perempuan adalah orang yang paling rawan mendapatkan kekerasan, menurut data yang dikeluarkan WHO, 35% perempuan perempuan di seluruh dunia mengalami kekerasan fisik maupun kekerasan seksual, baik dari pasangannya ataupun dari orang lain. Secara global, 38% wanita telah tewas dibunuh oleh pasangannya. Sementara menurut UN Woman 70% perempuan mengalami kekerasan fisik dari pasangan hidup mereka.
Di Indonesia sendiri menurut data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan yang dikeluarkan pada 8 Maret 2016 lalu, jumlah kekerasan terhadap istri di tahun 2015 mencapai 6.725 kasus, kekerasan dalam pacaran mencapai 2.734 kasus dan kekerasan terhadap anak perempuan mencapai 930 kasus.
Sementara kasus perkosaan mencapai 2.399 kasus, pencabulan 601 kasus, dan pelecehan seksual 166 kasus. Selanjutnya masih dari CATAHU Komnas Perempuan, laporan mengenai kekerasan terhadap perempuan setiap tahun meningkat. Rilis terbaru yang dikeluarkan tahun 2019, kekerasan terhadap perempuan di tahun 2018 meningkat sampai 14% dari tahun sebelumnya.
Ada sangat banyak perempuan yang tidak menyadari bahwa ia terjebak dalam toxic relationship. Alih-alih menumbuhkan kasih sayang, empati, saling support, dan senantiasa saling memupuk welas asih dalam hubungan yang sehat. Malah sebaliknya dalam hubungan semacam ini, seseorang cenderung merasakan emosi negatif, dan konflik batin yang mendalam pada dirinya. Hubungan beracun menyebabkan tumbuhnya amarah, depresi, kecemasan hingga berujung pada praktik kekerasan satu sama lain kepada pasangan. Celakanya, atas nama cinta itu sendiri, korban kekerasan terkadang bersikap mewajarkan, bahkan justru menyalahkan dirinya.
Dalam sejumlah kasus, tidak sedikit korban yang terjebak pada toxic relationship yang enggan mengakhiri hubungannya meski sudah tidak layak lagi dipertahankan. Perasaan takut mendapat intimidasi, malu, atau yang paling naif adalah karena percaya pada “harapan” bahwa pasangannya akan berubah menjadi lebih baik setelah mengemis dan berlutut di kakinya.
Kekerasan kerap terjadi akibat adanya ketimpangan relasi kuasa (Dosen ke mahasiswi, atasan ke bawahan), relasi gender atau budaya patriarki yang acap kali menjadikan perempuan sebagai pihak yang ter-subordinasi. Selain itu, tekanan dari lingkungan sosial dan infrastruktur hukum yang belum mampu melindungi hak korban kekerasan juga menjadi faktor yang membuat para korban memilih bungkam.
Misalnya saja dalam kasus perselingkuhan, perempuan (sebagai orang ketiga) selalu diposisikan sebagai penyebab tunggal rusaknya sebuah hubungan, sedangkan ketika orang ketiga adalah laki-laki, perempuan yang berselingkuhlah yang akan tetap dianggap sebagai perempuan yang “tidak baik” “nakal” atau “genit”.
Dalam kasus hamil di luar nikah juga kurang lebih sama, perempuan selalu menjadi objek hujatan yang cenderung mendapat sanksi sosial berlebihan, dianggap “hina”, pendosa, dan tidak suci. Ketimbang menawarkan jalan keluar, dan memberikan dukungan secara psikologis, lingkungan sosial cenderung menjadi hakim moral yang menyebabkan perempuan kian merasakan beban sosial yang begitu berat.
Padahal dukungan psikis dan moril dari lingkaran sosial terdekat korban, seperti teman, guru/dosen, keluarga sangat penting untuk membantu menguatkan perempuan keluar dari tekanan berat ini. Sepertinya lebay ya? heuheu. Tapi itu bisa menjadi sebab kenapa beberapa memilih menggugurkan kandungannya (aborsi) dibanding memelihara dengan alasan calon bayi itu berhak hidup sebagai buah cinta kedua orang tuanya.
Di tengah kondisi masyarakat seperti ini, menciptakan ruang yang adil dan ramah terhadap perempuan tentulah masih butuh perjuangan extra keras. Upaya-upaya meninggalkan budaya patriarki butuh dukungan dari semua pihak. Ini tidak bisa lagi dilihat sebagai masalah individu, tetapi ini adalah masalah sosial yang tidak bisa didiamkan. Untuk menyelesaikannya, tidak hanya kesadaran masyarakat, lebih jauh, harus ada infrastruktur hukum yang dirakit negara sebagai payung yang dapat melindungi dan mencegah wabah kekerasan seksual yang punya dampak begitu luas, mulai dari perceraian, trauma pada korban, depresi, sampai pada kematian.
Tentu tak ada yang salah dalam hal mencintai, tapi segala yang berlebihan kerap berbanding terbalik dengan tingkat kewarasan. Dalam mencintai kita butuh aktivitas berpikir untuk menjaga kewarasan, untuk terhindar dari kekerasan, atas nama apapun. Bumi tidak berputar untuk dirimu sendiri, untuk sukumu sendiri, untuk rasmu sendiri, untuk kaum dan golonganmu sendiri, pun untuk agamamu sendiri. Di atas cinta terhadap apapun, ada cinta pada kemanusiaan yang menjembatani segala kepercayaan menuju Tuhan yang menghendaki perbedaan.