Pagi dan embun itu selalu menjadi pasangan ter-serasi sebelum sang fajar benar-benar beranjak pergi. Keserasiannya selalu menyisakan buliran bening. Meski hanya berupa tetesan, ia tetap menjanjikan kedamaian. Maka tidak heran jika teramat banyak orang yang mendambakan kehadirannya. Langkah yang agak jauh pun tidak jadi halangan. Asalkan momen itu tak terlewatkan.
Seperti pagi ini. Atul dan Muna memutuskan beranjak dari tempat tidur selepas shalat subuh. Tentu saja juga setelah ngaji rutin baca al-Quran di Aula utama asrama pondok. Langkah agak cepat terlihat jelas dari cara mereka mengayunkan kaki. Entah apa tujuan mereka pagi itu, tapi yang jelas Atul ingin mencurahkan sesuatu. Sepertinya agak penting.
Mereka berdua jalan beriringan, tangan kanan keduanya terangkat kira-kira tiga puluh derajat. Menyibak rerumputan di belakang asrama, menikmati kubangan embun yang siap melesat dari rerumputan ilalang. Kesejukan tiap tetes itu pun nyaris membasahi seluruh telapak dua insan itu. Kaki terus saja melangkah, sesekali saling bertatap muka. Saling melempar senyum. Hingga pada akhirnya kaki terhenti, tepat di ujung talut.
Saatnya duduk, menghadap arah terbit sang mentari. Keduanya bersamaan pelan-pelan menarik napas, lalu mengeluarkannya dengan tenang pula. Sejuk pagi yang selalu mereka rindukan. Suasananya pun cukup syahdu, hingga mampu menstimulus setiap orang untuk segera bercerita perihal rasa.
“Mun, aku ingin minta pendapatmu. Kamu tahu kan, sebentar lagi kita sama-sama akan jadi alumni. Bukan lagi alumni sekolah tingkat SMA, tapi jadi alumnus sebuah Universitas.” Curah Atul yang secara otomatis menghentikan kegiatan Muna; memandangi mentari yang mulai meng-orange.
“Terus?” Tanya Muna yang mulai penasaran dengan pernyataan Atul.
“Ya, massak iya aku harus begini-begini aja. Gak mungkin terus bertahan di tempat ini, kan. Kita juga harus bisa survive di tempat lain.” Jelas Atul yang mulai terlihat gelisah.
Muna tersenyum, “Tul, maksudmu itu kamu masih mengkhawatirkan nasib masa depanmu, kan? Tidak perlu khawatir. Di sini kita punya guru, sosok yang patut kita muliakan. Boleh saja kita memutuskan beranjak dari tempat ini. Asalkan satu, mendapat ridla dari Abah; guru kita. Meski demikian, kita pun harusnya paham, guru mana pun akan lebih bahagia bila dikelilingi murid-murid kebanggannya. Pun sebaliknya, kita para murid pun akan sangat bahagia bila bisa istiqomah menemani langkah beliau.”
“Ya meskipun kita tahu, pada akhirnya setiap dari kita pasti akan menemukan jalan hidup sendiri-sendiri. Tugas kita hanya mengusahakan yang terbaik. Maka, segera ambil bagianmu, lalu perjuangkan dan sinergikan lah.”
Atul pun mengangguk, sangat paham dengan jawaban Muna. Sebab itu bukan kali pertama ia mendapat penjelasan yang demikian. Ia selalu diceramahi dengan kalimat itu tiap kali curhat ke Muna. Dan memang sudah benar prinsip yang begitu itu. Kita bukan hanya berburu ilmu, tapi juga keberkahan dari seorang guru. Kita ini harus pandai-pandai menyenangkan hati guru. Menyenangkan dengan mematuhinya, mengamalkan apa yang ajarkan, dan jangan lupa mendokannya.
Sekecil apapun jasa yang diberikan guru tidak akan melahirkan kesiaan. Ibarat tetesan embun, meski sangat sedikit ia tidak akan menjatuhkan kekeruhan. Ia hanya membawa tetes bening, sejuk, dan membawa kedamaian bagi siapa pun.