Hari bersejarah kini tiba. 10 November dengan peringatan Hari pahlawan telah dirayakan. Semua merayakan dan mengenang. Sebagai pengikut perubahan dan yang hidup di era kini, peringatan berlanjut ke prosesi mencari dan penetapan pahlawan yang individul. Semua orang mempunyai dan membawa pahlawan untuk dirinya.
Kepahlawanan menjadi sesuatu yang partikular, yang kecil dan berbeda. Bapak dan ibu pahlawan bagi anaknya. Guru jadi pahlawan bagi muridnya. Atasan jadi pahlawan bagi bawahannya. Senior pahlawan bagi juniornya. Begitu seterusnya. Semua orang adalah pahlawan.
Hidup ditengah keberlimpahan pahlawan adalah hidup yang dirimbuni rasa aman,nyaman dan tentram. Tentu. Namun apatah mungkin pahlawan berlimpah. Jika saban hari tontonan ketidakadilan, kesewenang-wenangan, tindak kekerasan, penganiayaan, saling sikut satu sama lain sesama temen kerja, temen main dan manusia masih terjadi dimana-mana.
Perampasan lahan petani, lapak dagang dan penggusuran pemukiman tanpa asas keadilan masih kita saksiskan di koran, majalah, televisi dan media sosial. Paling deket atau baru saja terjadi adalah pembakaran lahan gambut yang mengakibatkan jutaan orang tidak menghirup udara segar demi sawit dan meraup untung sebanyak-banyaknya. Penganiayaan terhadap warga, penganiayaan atau percobaan pembunuhan pekerja KPK, pembunuhan aktivis lingkungan dan demostran. Dan lain-lain sederet peristiwa pembunuhan, penganiayaan dan pengrusakan yang tak tertungkap dan dibiarkan begitu saja.
Atau lebih deket lagi adalah kejadian yang sering terjadi ditempat kerja kita, lingkungan tempat tinggal kita, dan rumah Kita. Kita sering saksiskan sikap berat sebelah ditempat kerja, upah yang tidak layak, perlakuan dan sikap tak adil terhadap tetangga yang miskin dan kaya oleh tetangga atau malahan diri kita, ketidpedulian terhadap tetangga yang miskin secara kultural dan struktural. Kita memilih Acuh tak Acuh, membiarkan begitu saja hal tersebut. Kita Kekeh memegang Prinsip asal tidak menganggu dan mengusik hidup kita. Ternyata kita masih Acuh tak Acuh dan membiarkan ketidakpedulian terjadi. Apatah mungkin kita pahlawan, semuanya adalah pahlawan.
Pahlawan dan ketidakpedulian Kita
Ketidakpedulian melahirkan tragedi dan ironi. Dari ketidakpedulian yang kecil dan sepele yang dipeliharalah tragedi telahir. Kita tak pernah mengira Membuang sekantong Sampah plastik secara terus menerus ke selokan ternyata mengakibatkan banjir, matinya puluhan paus dilautan, rusaknya terumbu karang yang berakibat menurunnya jumlah ikan tangkapan nelayan. Kita Tak pernah mengira peristiwa pembunuhan orang per orang dalam waktu berbeda ternyata punya kait hubungan di hari depan perihal terjadinya peristiwa pembunuhan masal.
Ketidakpedulian adalah Sebab dari ketidaktahuan. Namun apa jadinya Jika ketidakpedulian yang terjadi adalah ketidakpedulian yang tahu. Hal tersebut dijelasin oleh Danarto dalam cerpennya berjudul Godlob. Begini potongan kisahnya:
“Oh bunga penyebar bangkai,
disana, disana, pahlawanku tumbuh mewangi.
Begitu Bunyi Deklamasi seorang ayah Ketika berhasil menemukan anaknya ditengah medan peperangan penuh bangkai, penuh Gagak. Seorang ayah telah kehilangan empat anaknya dimedan pertempuran tanpa menerima sesuatu apapun. Hanya sorak – sorak kagum ditengah iriangan pemakaman dan predikat pahlawan. Ia meminta sumbangan dari anaknya yang selamat berupa nyawa. Guna menggenapkan semua pengorbanannya, mengurangi kerugian.
Seorang ayah telah kehilangan semua anaknya. Pemakaman anaknya dipenuhi para pengiring yang menangis dan upacara militer yang megah. Anaknya yang terakhir resmi bersinggah di pemakaman pahlawan. Setelah pemakaman, suasana siang terasa sepi, jalanan yang kering kemarau bertebaran debu. Haripun berlalu. Seorang perempuan membuat gempar sebab membopong mayat. Perempuan pembopong mayat adalah ibunya pahlawan kemarin yang dimakamkan dan anak kini ditanganya, dibawa ke balai kota, para pembesar keluar dan orang-orang penuh berkumpul.
Seorang perempuan, ibu, menegaskan ditengah kerumunan, anaknya bukanlah pahlawan. Ayahnya yang telah membunuhnya. Anaknya tidak ingin jadi pahlawan. Dia tegas katakan tahu tabiat semua anaknya. Ayahnya telah membunuhnya. Ayahnya telah menipu kita. Ayah menunjukan pembesar, mengatakan sebaliknya bahwa pembesarlah yang telah menipu. Para pembesar menuding dan meneriakan “Penghianat” pada si- Ayah. Si-Ayahpun berkata-kata.” kemarin kubawa anakku, anak yang penghabisan. Perang demi perang telah memeluk anak-anakku dengan mesrahnya. Dalam sekejap mata mayat ini diangkat jadi pahlawan. Aku sudah mengira, aku sudah menduga. Sementara kalian dengan berkaleng-kaleng air mata mengantarkannya ke kuburan, aku dengan tertawa terpingkal-pingkal.”
Perempuan, si ibu, pun lantas mencabut pistol dari pinggangnya dan menggelegar bunyinya memenuhi sudut-sudut kota dan robohlah si-ayah dihadapnya. Perempuan kemudian berjongkok di hadapanya. Air matanya meleleh. Si-Ayah berkata:”Perang demi perang berlalu. Iseng demi iseng berpadu.” dan perempuan meraih mayat anaknya dan jatuh. Suasana menjadi hening. Semuanya terpaku.”
Apa dan Siapa Pahlawan
Pahlawan mesti mati dan kitalah yang mesti membunuhnya. Begitulah seharusnya peringatan Hari pahlawan kita isi. Membunuh bersama-sama pahlawan. Tanpa berniat mengubur jasa orang yang telah berjuang dan berkorban untuk masa depan kehidupan kita. Sebab pahlawan sering kali kita peringati dengan tidak manusiawi. Kita menegasikan sifat – sifat manusiawi para pahlawan, melekatkan kepadanya hanya sifat baik. Pahlawan kita sebut sebagai malaikat, bukan manusia dengan sifat yang unik dan dinamis.
Pahlawan adalah mitos. Kita memang membutuhkannya guna keberlanjutan hidup bersama. Menjadikan pahlawan mitos yang tak berimbang bukan hanya tidak baik dan tepat namun juga berbahaya. Ketidakberimbangan akan melahirkan klaim kebenaran, saling menegasikan satu sama lain, meregangkan ikatan sosial dan bahkan dapat memungkinkan konflik Jika dibiarkan terus menerus.
Maka pahlawan adalah manusia dengan sifat manusiawinya yang utuh yang mencintai dan mengikhtiarkan Kebenaran, kejujuran dan keadilan sekaligus tiada henti, sambung menyambung dari waktu ke waktu demi keberlanjutan hidup bersama. Semoga kita senantiasa berlimpah istiqamah!
*Hamdan Wijaya, pegiat Kandang Pustaka Desa Pesantunan Kabupaten Brebes.