Mr. Nasih dan Filosofi Berdikari

Baladena.ID/Istimewa

Pagi ke pagi kuterjebak di dalam ambisi

Seperti orang-orang berdasi yang gila materi

Rasa bosan membukakan jalan mencari peran

Keluarlah dari zona nyaman

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Diam dan mati milik dia yang tak bisa berdiri

Berdiri di kakinya sendiri

Beberapa cuplikan lagu tersebut merupakan lagu karya Fourtwnty yang berjudul “Zona Nyaman”. Pada lagu tersebut, tersirat beberapa pesan tentang kemandirian. Bagaimana seseorang yang memiliki ambisi untuk memiliki harta dengan mengabaikan zona nyaman yang dimiliki, sehingga ia mampu hidup mandiri, sehingga bisa berdiri di kaki sendiri (berdikari).

Lagu tersebut menjadi suntikan tersendiri bagi penulis sebagai salah satu disciples Monash Institute Semarang, salah satu rumah perkaderan yang didirikan oleh seorang doktor muda (ketika itu 2010), Dr. Mohammad Nasih. Bagi penulis, lagu ini mengandung beberapa pesan yang selalu menjadi nasihat beliau, yakni kerja keras, disiplin tinggi, tinggalkan kesenangan semu, dan berdikari.

Mr. Nasih, begitu saya memanggilnya dulu (2011), memang merupakan sosok pekerja keras, disiplin, dan selalu mencurahkan tenaga, pikiran, dan hartanya untuk berjuang mengkader para generasi muda Indonesia untuk menjadi generasi penerus bangsa yang unggul dan handal, terutama bagi para mahasiswa yang kurang mampu, tetapi memiliki semangat belajar yang tinggi, atau mereka yang memang memiliki prestasi. Mereka dikader secara super intensif dengan kedisiplinan yang tinggi. Oleh karena itu, Mr. Nasih memberi sebutan “disciples” pada mahasiswa didikannya di lembaga nirlaba itu, yang berarti orang yang disiplin.

Sejak tahun 2011, berbagai usaha dan upaya dilakukan oleh Mr. Nasih untuk mengkader disciples Monash Institute. Berbagai konsep dan dinamika belajar dibuat sedemikian rupa agar semua disciples memiliki keunggulan di pelbagai aspek, yakni keilmuan, kepemimpinan, dan kewirausahaan. Setiap disciples juga dibekali basic pemahaman yang mendalam tentang ilmu umum dan agama. Konsep tersebut Mr. Nasih buat dengan berprinsip bahwa terdapat 3 kriteria ideal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu ‘ilmul ulama’, amwâlul aghniya’, dan siyasatul muluk wal mala’, maksudnya secara sederhana da[at dipahami seorang yang yang memiliki kualitas: berilmu, berharta, dan berkuasa.

Ketiga kriteria ideal tersebut dilatar belakangi oleh kondisi umum bangsa Indonesia, yang muncul adalah banyak pemimpin yang hanya menjadi boneka berdasi dan menjabat guna memenuhi kepentingan-kepentingan golongan.  Mereka tidak hanya minus akhlak, tetapi penulis sebut dengan “minus ilmu dan harta”. Sebagai dosen Ilmu politik, Mr. Nasih menilai bahwa kondisi tersebut disebabkan oleh ketimpangan antara ilmu dan harta yang dimiliki pejabat sehingga mereka tidak berdikari saat berkuasa, yang pusatnya terletak pada mentalitasnya.

Konsep Hidup Berdikari

Mandiri, secara psikologi, sebagaimana pendapat Chaplin (2011) merupakan suatu kondisi seseorang yang tidak bergantung pada orang lain dalam menentukan keputusan dan memiliki sikap percaya diri, atau disebut dengan istilah “independence”. Seseorang yang memiliki kepribadian mandiri akan cenderung mampu untuk menghadapi berbagai permasalahan. Sebab, orang yang memiliki pribadi mandiri akan selalu beruasaha mencari solusi, menghadapi dan memecahkan permasalahan yang ada.

Konsep hidup berdikari juga pernah diungkapkan Bung Karno dalam pidatonya berjudul ‘Tahun Vivere Pericoloso’. Bung Karno mengungkapkan bahwa terdapat tiga paradigma yang dapat membangkitkan Indonesia menjadi negara besar. Paradigma tersebut dikenal dengan istilah ‘Trisakti’ atau tiga kekuatan yang berfungsi sebagai kesaktian bangsa. Trisakti ini meliputi berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Pada paradigma berdikari dalam ekonomi, Bung Karno mengingatkan akan kekayaan sumber daya alam bangsa yang melimpah namun belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk membangkitkan ekonomi nasional. Salah satunya disebabkan oleh ketergantungan terhadap ekonomi asing yang masih sangat tinggi. Menurut Bung Karno, ketergantungan tersebut akan menyebabkan resesi ekonomi nasional yang berkepanjangan, bukan mensejahterakan rakyat.

Terlebih kebijakan perekonomian saat ini tidak lepas dari investasi modal asing yang dapat menyebabkan kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme dalam bentuk baru. Ungkapan Bung Karno pun kini sangat dirasakan terutama saat Indonesia mulai berafiliasi dengan lembaga keuangan internasional di era orde baru. Dan bangsa Indonesia tidak dapat menghindari krisis ekonomi yang berdampak hingga saat ini.

Konsep hidup berdikari yang dicetuskan oleh Dr. Mohammad Nasih dibagi menjadi dua, yaitu mapan secara intelektual dan mandiri secara finansial. Menurut Mr. Nasih, orang yang mapan secara intelektual adalah orang yang mampu memahami al-Qur’an dan hadist serta ilmu-ilmu salafi yang dikombinasikan dengan ilmu-ilmu modern sehingga terdapat interkoneksi antarsetiap ilmu, sehingga melahirkan paradigma baru yang mencerahkan peradaban.

Guna menunjang anak didiknya untuk mandiri secara intelektual, Mr. Nasih menerapkan sistem pembelajaran ‘utawi-iku’, yaitu pembalajaran memahami al-Qur’an dengan metode nahwu-sharaf yang dikaitkan dengan ilmu modern, sehingga kajian yang ada selalu memberikan pemahaman yang segar dan tetap berbobot. Karena itu, setiap orang yang mau menghafal al-Qur’an, diharuskan memahami bahasa Arab terlebih dahulu, agar hafalannya cepat dan fungsional ketika sudah berhasil dihafal. Lebih dari itu, disciples diberi kebebasan untuk memilih keilmuan di perguruan tinggi, termasuk penulis misalnya mengambil jurusan Matematika bingga lulus magister (S2) Pendidikan Matematika. Namun, al-Qur’an dan sunnah tetap menjadi dasar yang mesti dimiliki oleh semua disciples dengan fokus keilmuan apapun.

Mandiri secara finansial dikaitkan dengan istilah amwâlul aghniya’. Nasih mendefinisikan kata aghniya’, yang berasal dari kata ghina’, dengan orang yang tidak membutuhkan. Menurut Mr. Nasih, orang yang mandiri secara finansial adalah orang kaya yang tidak membutuhkan hartanya dan orang tersebut mau mempergunakan hartanya untuk berjuang demi kesejahteraan umat dan bangsa, bukan untuk hidup hedonis yang hanya mensejahterakan diri sendiri.

Terkait mandiri secara finansial ini, Mr. Nasih menjadi pribadi teladan yang telah mencurahkan tidak hanya waktu dan tenaganya, tetapi sebagian besar hartanya untuk memberdayakan calon kader umat dan kader bangsa. Mr. Nasih mendirikan lembaga Monash Institute dengan harta secara mandiri tanpa sumbangsih dana sedikitpun dari pemerintah. Memang benar, Mr. Nasih menolak untuk ada keterlibatan dana “luar” yang akan merusak independensi pesantren. Meski jalan untuk itu sangat banyak ditawarkan kepada pria beranak empat tersebut, ia lebih memilih untuk mengembangkan usaha mandiri bersama disciples dan masyarakat di kampung halamannya untuk mengembangkan lembaga ini.

Sebenarnya, Mr. Nasih sudah melatih kemandirian secara finansial ini sejak duduk di bangku perkuliahan dan aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Selama terjun di organisasi ini, Nasih mahasiswa tidak mau atau dengan kata lain menghindari untuk meminta sumbangan ke senior-seniornya. Ia lebih memilih untuk memperbanyak menulis di media massa yang saat itu dapat menghasilkan banyak uang untuk membiayai segala aktivitas organisasi. Aktivitas demikian Nasih lakukan supaya ia berdikari dan bebas dari tarik ulur kepentingan siapapun dan apapun. Prinsip tesebutlah yang terus Mr. Nasih pelihara hingga kini Monash Institute berkembang bercabang di berbagai daerah di Indonesa, mulai dari Semarang, Jakarta, hingga Rambang.

Semua itu dilakukan untuk memberikan contoh kepada para santri bahwa dengan berdiri di kaki sendiri, mereka tidak jatuh, sekalipun dengan satu kaki. Hanya saja, karena kekuatan yang ada pada mereka belum maksimal, artinya masih bertumbuh, maka perlu banyak kaki. Dengan kata lain, mereka harus bergandengan tangan untuk menjaga keseimbangan dan saling menguatkan satu sama lain, sehingga “berdikari” benar-benar akan membebaskan siapapun dari pengaruh buruk apapun. Wallâhu a’lam bi al-shawâb.

Oleh: Uzlifa Khanifatul Muttaqi, Disciple 2011, Alumnus Pascasarjana UNNES Semarang, Wakil Bendahara Umum PW GPII Jawa Tengah 2017-2020

Editor: Anzor Azhiev

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *