Bukan suatu hal yang mudah menjadi seorang guru. Seorang guru harus siap siaga dalam keadaan apapun. Guru harus mempersiapkan dirinya, baik secara fisik, mental, material, maupun spiritual. Guru dituntut untuk selalu sehat, karena ilmu yang dimilikinya sangat dibutuhkan oleh para murid. Jika guru sakit, maka kemungkinan besar guru tidak akan mengajar, sehingga akibatnya akan terjadi ketimpangan dalam proses transfer ilmu, sebab ketiadaan salah satu unsur, yaitu guru sebagai muara ilmu pengetahuan.
Sehat tidak selalu berpatok pada fisik. Kesehatan mental atau kejiwaan pun menempati posisi yang penting. Selain mempersiapkan materi pembelajaran bagi muridnya, kondisi mental gurupun harus diperhatikan. Sebab kesehatan mental tercipta akibat mental yang terorganisasikan secara benar sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Kondisi kejiwaan yang stabil dan tenang akan membawa dampak positif terhadap proses pembelajaran. Guru dengan mudah berkonsentrasi, menyampaikan gagasan-gagasan cemerlangnya kepada murid, tentunya dengan tingkat kesalahan yang bisa diminimalisir. Jika murid berbuat kesalahan, guru tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang melewati batas kewajaran kepada murid.
Lain halnya ketika guru mengajar dalam kondisi mental yang buruk; tertekan akibat kondisi rumah tangga, misalnya. Kemungkinan besar guru akan susah berkonsentrasi dalam menyampaikan gagasannya, bahkan bisa jadi akan timbul kejadian yang tidak diinginkan di dalam kelas. Akibatnya, kelas tidak kondusif dan materi pun tidak tersampaikan kepada murid. Tentunya tidak ada guru yang menginginkan hal tersebut.
Meski pendidikan di masa kini tidak harus face to face -akibat keberadaan internet yang semakin memanjakan manusia untuk melakukan apa saja dalam waktu dan tempat yang bersamaan, teleconference, misalnya-, namun kehadiran guru tidak bisa digantikan oleh apapun. Hal ini disebabkan karena guru merupakan ujung tombak pendidikan. Sehingga posisi guru amatlah penting dalam proses knowledge-transfer dan value-transfer.
Untuk menyelaraskan keduanya, mau tidak mau seorang guru harus mandiri. Mandiri secara intelektual maupun secara finansial. Kemandirian intelektual akan membuat guru menjadi seseorang yang cerdas dan kreatif, berpikir out of the box, dan bahkan bisa menginspirasi banyak orang. Dengan demikian, guru tak hanya menjadi muara ilmu pengetahuan, namun juga menjadi role model bagi anak didiknya.
Rasanya kurang lengkap jika kemandirian intelektual tidak dibarengi dengan finansial yang mencukupi. Ada sebuah pepatah yang cukup unik: “Logika tanpa logistik, tak jalan” atau yang lebih ekstrim lagi: “Logika tanpa logistik hasilnya anarkis”. Seakan-akan ketika kebutuhan perut belum terpenuhi, otak tidak akan bekerja secara maksimal. Sehingga mau tidak mau seseorang harus bekerja keras agar kemandirian terwujud.
Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa kebutuhan finansial tidak hanya berbicara tentang perut saja, ada banyak hal lain yang harus dicukupi. Diantaranya adalah kualitas sumber daya manusia dan sarana-prasarana yang dalam konteks ini guru harus bisa memenuhinya sendiri. Jika kemandirian finansial belum tercapai, maka harapan untuk mewujudkan ide-ide fantantis akan terhambat.
Mohammad Nasih, pendiri Monash Institute telah menyadari hal tersebut sejak lama. Laki-laki kelahiran tahun 1979 yang akrab disapa Nasih itu sekilas tidak berbeda dari kebanyakan laki-laki di dunia ini. Namun Nasih menjalani kehidupan yang sama sekali jauh dari kenyamanan, bahkan terkesan “mencari” bahaya. Hal ini dapat dilihat dari jalan hidup pilihannya yang dapat dibilang anti mainstream.
Sebagai doktor politik yang telah memiliki kehidupan yang mapan, tentunya Nasih memiliki peluang lebih banyak untuk ongkang-ongkang kaki di gedung ber-AC di ibukota sana. Kedekatannya dengan elite politik ternama negeri membuka ruang gerak yang luas untuk menimbun kekayaan dan meningkatkan popularitas. Seringkali Nasih mendapat tawaran-tawaran yang menggiurkan, berupa bantuan dana maupun kekuasaan dari para pejabat itu. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali. Namun Nasih tidak mengambil peluang itu, ia malah memilih duduk bersama dengan santri-santrinya di Monash Institute -mendiskusikan impian-impian masa depannya.
Hidup bermewah-mewah bukanlah kehidupan yang ia idam-idamkan, meskipun sebenarnya dia mampu, namun tidak ia dilakukan. Nasih tetap ingin menjadi orang yang sederhana sehingga ia tetap bisa bergaul dengan semua kalangan. Nasih pernah mengatakan kepada istrinya, bahwa sebenarnya ia bisa saja membelikan mobil yang lebih bagus daripada mobil yang ia miliki saat ini. Namun, Nasih tidak melakukan itu, karena banyak kebutuhan lain yang harus dibiayai. Daripada uang dihambur-hamburkan untuk kesenangan duniawi, lebih baik dibelanjakan untuk sesuatu yang bermanfaat bagi umat.
Bukan hanya sebagai rumah perkaderan, bagi Nasih, Monash Institute memiliki makna yang lebih dari itu. Di dalamnya, Nasih membenamkan cita dan harapan yang mendalam, semoga kelak akan muncul benih-benih manusia yang bisa diharapkan umat dan bangsa, bukan manusia yang memikirkan perutnya saja.
Kehidupannya yang dekat kepada elite politik mengantarkan kesadarannya kepada suatu kesimpulan: bahwa untuk memakmurkan semua orang (salah satunya melalui pendidikan), satu-satunya jalan yang paling efektif adalah menjadi penguasa politik. Oleh karena itu, Nasih punya mimpi untuk menjadi penguasa. Jikalau bukan dirinya yang menjadi pemimpin, maka kelak muridnya nanti yang akan menjadi pemimpin.
Kemandirian Seorang Guru
Ada sebuah hadis yang cukup unik, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
عَنِ الْمِقْدَامِ رَضِي اللَّهم عَنْه عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ)) رواه البخاري
“Dari al-Miqdam Radhiallahu‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang (hamba) memakan makanan yang lebih baik dari hasil usaha tangannya (sendiri), dan sungguh Nabi Dawud ‘alaihissalam makan dari hasil usaha tangannya (sendiri)”.
Hadis ini menunjukkan keutamaan seseorang mencari nafkah dengan usahanya sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sisi uniknya, mengapa analogi yang Rasulullah berikan adalah Nabi Dawud as, bukan nabi yang lain? Menurut Nasih, Nabi Dawud as. mempunyai kekuasaan politik juga pada masa itu. Sehingga bukan hal yang mustahil ketika seorang penguasa menginginkan sesuatu, maka ia bisa saja menyeleweng dan mengkhianati amanat yang dititipkan.
Nasih mengutip perkataan Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Semakin jelas dan gamblang bahwa bukan merupakan suatu hal aneh ketika pemimpin menyalahgunakan kekuasaannya. Meskipun demikian, Nabi Dawud as. menyadari posisinya sebagai utusan Allah yang notabene memiliki sifat ma’shum.
Dan kisah tersebut menginspirasi Nasih untuk melakukan hal serupa. Ambisinya untuk membangun dan mengembangkan Monash Institute membuatnya bekerja lebih serius. Ia telah membulatkan tekad untuk tidak meminta bantuan ke pihak manapun.
Tidak terlintas sedikitpun di dalam benaknya untuk mengajukan proposal kepada para pemilik dana. Bahkan tidak mau mendaftarkan lembaganya ke pihak berwajib (baca: pemerintah), dengan dalih proses kaderisasi akan terhambat sebab campur tangan pemerintah. Dia ingin membuat lembaga yang benar-benar independen, sehingga tiada pihak manapun yang bisa menyetirnya demi mengeruk keuntungan dan kepentingan tertentu.
Kepada santri-santrinya ia mengingatkan agar senantiasa menjaga kehormatan diri (iffah). Walaupun merasa benar-benar terdesak, jangan sampai menunjukkan bahwa mereka membutuhkan bantuan orang lain. Oleh karena itu, Nasih mewanti-wanti mereka agar memiliki kapasitas yang mumpuni. Dengan begitu, mereka akan menjadi kader yang tangguh, bukan kader tanggung yang menyusahkan umat.
Selain itu, Nasih menegaskan kembali bahwa perjuangan yang didasarkan pada materialisme akan mengantarkan kepada perbuatan menghalalkan segala cara. Sehingga kata Nasih lagi, “Saya tidak mencari jenang (baca: makanan tradisional Jawa yang terbuat dari tepung ketan atau tepung beras), tapi mencari jeneng (baca: nama baik)”. Baginya, membangun nama baik merupakan sesuatu yang sangat penting, tanpa nama baik, jangan berharap masyarakat akan mengakui keberadaan kita.
Namun demikian, perjuangan itu harus mengorbankan banyak hal, termasuk harta. Al-Qur’an menekankan bahwa jihad itu dengan harta dan jiwa. Bahkan dalam sejarah Islam di masa Rasulullah, jihad harta dan jiwa ini menjadi amalan dominan kaum Muslimin kala itu. Allah swt berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar” (QS. Al-Hujurat [49]: 15).
Dalam konteks ini, harta dicari untuk digunakan sebagai modal perjuangan, bukan untuk ditimbun dan dijadikan sebagai kekayaan pribadi atau keluarga. Demikian yang dicontohkan oleh Rasulullah, ia seorang yang kaya raya, tetapi semua hartanya habis digunakan untuk berjuang di jalan Allah. Ia kaya, tetapi memilih menolak kemewahan untuk dirinya, hingga seringkali Rasulullah berpuasa ketika Aisyah mengatakan tidak ada sesuatu yang bisa dimakan. Masyaa’a Allah. Wallahu a’lam bi al-shawaab.
Oleh: Lailatus Syarifah, Disciple 2017 Monash Institute, Mahasiswa Pendidikan Matematika, Ketua HMI Korkom Walisongo Semarang 2019-2020.
Editor: Anzor Azhiev