Mendongkrak Kualitas Petani Kita

Baladena.ID/Istimewa

Hakikatnya negeri yang subur, tentu memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah. Seperti halnya ungkapan seorang tokoh Cladius Ptolomeus, ahli Geografi dari Yunani di salah satu buku karangannya berjudul Geographia, bahwa Indonesia merupakan salah satu Negeri yang mendapat julukan  “Negeri Emas”. Sebab, Indonesia kaya akan SDA yang melimpah ruah dan subur, terutama di sektor pertanian.

Sayang potensi alam yang pernah mengantarkan Indonesia mampu bersaing di kancah Internasional telah mengalami stagnasi. Potensi alam telah ditelantarkan begitu saja. Tanah subur yang kaya komoditas pertanian kini tinggal kenangan semata. Negara agraris yang pernah tersohor sebagai eksportir komoditas pertanian dunia bertransformasi menjadi Negara defisit komoditas pertanian, khususnya pangan. Di berbabagi tempat bertebaran  komoditas pertanian impor. Tidak hanya sebatas pangan impor, seperti jagung, gandum, beras dan kedelai. Akan tetapi, ikan, garam, buah-buahan, dan holtikultural berasal dari luar Negeri.

Sungguh ironis, Negara yang dikatakan gemah ripah loh jinawi, subur, makmur dan kaya akan sumber daya alam ternyata dalam memenuhi kebutuhan pangannya masih impor. Apabila kita cermati dengn seksama, ternyata impor yang dilakukan Negara Indonesia tidak hanya beras semata. Selama satu dekade ini Negara Indonesia telah mengimpor jumlah pangan yang sangat begitu besar.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Impor Indonesia terhadap bahan pangan beras rata-rata lebih dari 2juta ton. Sedangkan kedelai lebih dari 1,2juta ton, jagung 1,5juta ton, gula pasir 1,6juta ton, buah-buahan 160 ribu ton, sayuran 250 ribu ton, daging 400 ribu ekor sapi, dan susu 90 ribu ton.

Kondisi tersebut terjadi tentunya dilatar belakngi oleh banyak faktor, terutama kualitas sumber daya manusia (SDM). Sebab, melimpahnya sumber daya alam (SDA) tanpa pengelolaan yang efektif tidak akan menghasilkan sesuatu yang memuaskan. Petani sebagai aktor kunci keberhasilan tidak mampu berdaya dalam negeri sendiri. Mereka hanya mengandalkan sesuatu yang bersifat praktis tanpa memperhatikan kualitas hasil pangan yang ada. Sehingga, masyarakat lebih cenderung suka dengan kualitas produk luar negeri.

Kuranganya kualitas kemampuan para petani dari segi keilmuan untuk mengelola lahan pertanian menjadi salah satu faktor fundamen terjadinya krisis pangan di Negeri ini. Selain itu, keperpihakan pemerintah kepada petani hanya setengah hati. Sebab, para petani dibiarkan begitu saja tanpa bimbingan dan pengarahan menghadapi ganasnya pasar bebas.

Sudah saatnya pemerintah mengupayakan peningkatan kesejahteraan petani domestik. Salah satunya menghimpun dan membimbing para petani untuk mendorong kualitas para petani memalalui berbagai bentuk penyuluhan dan pelatihan secara intensif. Seperti, diadakannya gerakan Serikat Petani Indonesia (SPI) di tingkat nasional, dan kelompok petani desa (KPD) di tingkat desa atau kampung.

Dengan wadah yang memberikan kebutuhan bagi petani, baik dari segi peningkatan kualitas, penyuluhan, bimbingan, penyediaan bibit unggul dan alat-alat pertanian yang  menunjang, diharapkan para petani mampu mengelola sumber daya alam (SDA) yang sudah tersedia di negeri ini. Dengan demikian, Indonesia mampu memproduksi produk dalam negeri dengan kualitas unggulan dan tidak akan mengalami krisis pangan, sehingga tidak cenderung akan mengimpor hasil produksi luar negeri. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Oleh: Khoirun Ni’am al-Gunemi, Pengusaha di Bidang Pertanian asal Gunem, Rembang Jawa Tengah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *