Menolak Menerima Kebodohan

Albert Einstein mengemukakan, imagination is important than knowledge. Knowledge is limited. Imagination encircles the world. Dari pernyataan itu, Einstein menekankah bawah imajinasi itu lebih penting dari pengetahuan. Imajinasi bukan hanya diartikan sebagai angan-angan kosong saja, tapi lebih dari itu. Imajinasi adalah sebuah angan-angan yang terarah. Berangkat dari pengetahuan, imajinasi ada untuk berkembang dan melesat dalam ruang dan waktu tanpa batas.

Pernyataan Einstein itu berbeda dengan Dr. Mohammad Nasih, salah satu orang yang mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan ilmu. Nasih berpandangan bahwa ilmu pengetahuan dan imajinasi itu sama-sama penting. Keduanya harus saling melengkapi tanpa ada ketimpangan disalah satu sisi.

Ilmu pengetahuan memerlukan imajinasi untuk menjadikannya masuk akal atau dapat dirasio. Ilmu pengetahuan tanpa imajinasi, seperti orang yang tidak pernah merasakan jatuh cinta. Ia hidup dan nyata, tapi hatinya sunyi dan hampa. Sebaliknya, imajinasi tanpa berdasar pada kebenaran ilmu pengetahuan, maka hanya akan membuat rugi, lantaran tersesat dan menyesatkan dalam jurang ketidaktahuan. Jadi, keduanya sangat penting guna menolak kebodohan.

Sebagai tokoh intelektual sekaligus pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Nasih mempunyai peran yang besar dalam kemajuan sumber daya manusia, terutama para pemuda Indonesia. Bahkan, Nasih mendirikan rumah perkaderan khusus mahasiwa di Semarang yang bernama Darr al-Qalam atau  yang lebih dikenal dengan nama Monash Institute. Di sana, para disciples (baca: mahasantri) dituntut untuk menjadi manusia yang berdaya dan berdikari. Bukan hanya pintar mengaji, melainkan juga punya logika level tinggi agar kelak tidak mudah dibodohi serta dipengaruhi.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Apa yang menjadi tujuan Nasih, ternyata  berkorelasi dengan pandangan Imam Ali. Menurut Imam Ali, orang yang bodoh adalah yang menganggap dirinya tahu tentang makrifat ilmu yang sebenarnya tidak diketahuinya dan dia merasa cukup dengan apa yang diperolehnya. Sebut saja orang tersebut berkarakter al-qona’ah bil jahl. Karakter ini bermakna menerima kebodohan diri sendiri sehingga merasa cukup dengan ilmu yang didapatkan. Oleh sebab itu, salah satu alasan Monash Institute didirikan untuk mengatasi problem yang mengakar tersebut.

Nasih menggunakan cara yang bisa dikatakan brilian untuk mengasah logika dan menambah khazanah keilmuan para disciple.  Cara yang ia terapkan adalah memadukan menghafal al-Quran dengan pemahaman i’rabul al-Qur’an yang dibingkai dalam suatu kajian. Dengan kajian I’rabul al-Qur’an, disciples dapat memaknai dan memahami al-Qur’an secara komprehensif, bukan sekadar literal saja. Oleh sebab itu, secara tidak langsung disciple menajamkan pikiran dari pemahaman yang diperolehnya. Di samping itu, Nasih juga mendapat pengetahuan-pengetahuan baru yang tidak ternilai harganya.

Nasih selalu mengingatkan disciples tentang kegunaan otak yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Maksudnya, jangan sampai ada waktu yang terbuang tanpa memikirkan suatu hal yang besar. Sebab, meningkatkan kapasitas otak itu perlu. Dengan memaksimalkan fungsi otak, membuat disciples jauh dari kebodohan. Disciples harus membuktikan bahwa usaha dan komitmen yang kuat dalam menuntut ilmu mampu membuat diri mereka pintar, bukan malah terbelakang.

Nasih yang akrab dengan sapaan Abana oleh disciples Monash Institute ini, juga tak pernah jemu mengingatkan disciples untuk menulis. Sebab, ketika seseorang konsisten dalam menulis, maka ia akan memperoleh manfaat yang besar. Manfaat tersebut diantaranya adalah meningkatkan kepiawaian berlogika, menambah kosa kata, menambah ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. “Penulis yang baik adalah pembaca yang baik”. Begitulah seorang penulis dapat memperoleh ilmu pengetahuan berkat membaca. Jika penulis ingin menghasilkan karya yang baik dan bagus, maka secara tidak langsung harus giat membaca, baik yang bersumber dari buku atau media lainnya.

Manusia, sebagai subyek, mau tak mau harus mencari dan memperoleh ilmu. Jangan karena sudah mendapat ilmu yang belum seberapa, menjadikan seseorang merasa cepat puas dan cukup. Sebab, ilmu pengetahuan itu unlimited. Apapun ilmunya, di manapun tempatnya, siapapun yang mengajarkannya, manusia harus merunut jalan untuk menggapainya. Meskipun ilmu yang didapat sedikit, tapi akan bermakna besar, lantaran menjadi manfaat bagi diri pribadi dan orang lain. Sebagaimana hadist Rasulullah SAW berikut:

لَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍطَ

 

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim”  (HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan Al Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghir  no. 3913)

Dalam hadist tersebut, diterangkan bahwa setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan wajib menuntut ilmu. Mereka yang berilmu akan mendapat keistimewaan tersendiri dari Allah SWT. Keistimewaan itu berupa peningkatan derajat orang yang berilmu di sisi Allah SWT. Dalam hadist lain juga dijelaskan bahwa orang yang menghendaki kakinya menempuh jalan kepada ilmu, maka balasan baginya adalah surga. Jika demikian, adakah manusia yang mau menolaknya?. Tentu mereka akan beramai-ramai mencari ilmu sebanyak yang mereka bisa. Berlomba-lomba mencari ilmu untuk menjadi orang yang paling tahu.

Nasih adalah figur yang tepat untuk dijadikan inspirator sekaligus motivator dalam menuntut ilmu. Meskipun telah menjadi seorang aktivis, enterpreneur, akademisi dan hafidh al-Qur’an, tidak ada kata cukup dalam kamus hidupnya. Katakanlah ia orang yang multitalenta. Ia tidak kenal lelah dan tidak pernah berhenti untuk menggali ilmu. Eksistensinya pun sudah tidak dapat diragukan lagi. Sebagian besar waktunya dicurahkan untuk memperjuangkan kemaslahatan umat. Tak ayal, apabila Nasih kerap kali terlihat di forum-forum kepemudaan dan kemasyarakatan. Karena sekali lagi, ia peduli terhadap masa depan para pemuda maupun pemudi bangsa.

Ketika suatu kajian, Nasih pernah berkata kepada disciples : “kalian harus mengerasi diri kalian untuk belajar, jika tidak kalian akan dikerasi oleh orang lain yang levelnya di bawah kalian, tapi mempunyai kekuasaan  di masa depan.” Sungguh Nasih tidak menginginkan hal tersebut terjadi. Nasih berharap semua anak-anaknya kelak (baca: disciples) menjadi manusia yang berilmu, berharta dan berkuasa. Namun, para disciple tetap harus berada pada koridor jihad islam.

Guna mempermudah jalan meraih tujuan tersebut dan menolak kebodohan umat, Nasih memberikan berbagai beasiswa untuk mereka yang memiliki tekad kuat dalam menuntut ilmu, dan mau menghafalkan al-Qur’an. Dari upaya yang telah dilakukan,  Nasih bermimpi dapat mencetak generasi unggul yang berwawasan tinggi, berlogika kuat,  dan hebat berdasarkan al-Qur’an dan al-hadits, seperti halnya slogan Monash Institute “Excelent With al-Quran”.

Namun, pada hakikatnya semua dikembalikan kepada si subyek yaitu manusia. Apakah mereka benar-benar ada kesadaran dan kemauan untuk mencari ilmu? Karena, ada di antara manusia yang malah menikmati ketidaktahuan dan ‘kebodohan’. Ada yang mempunyai kesempatan untuk menuntut ilmu, tapi tidak dimanfaatkan sebaik mungkin. Ada juga yang karena faktor tertentu, menyebabkan seseorang terhalang untuk menuntut ilmu. Boleh jadi, karena faktor finansial, tekanan lingkungan atau memang kondisi psikologisnya yang  mendorong untuk berlaku demikian. Padahal, tindakan tersebut hanya akan merugikan diri sendiri. Akibatnya, timbul rasa penyesalan yang tak kuasa untuk dibendung lagi. Semoga Allah Swt senantiasa menjaga dan menjauhkan kita  dari hal-hal yang tercela. Aamiin. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

Oleh: Wahyuni Tri Ernawati, Ketua Parlemen Monash Institute Kabinet MIlitan,Mahasiswi Jurusan Pendidikan Biologi  UIN Walisongo Semarang

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *