Cerpen  

Sebuah Pelajaran

Sudah sore rupanya. Mentari telah menyelesaikan tugasnya menyinari dunia tempat aku tinggal. Suasananya sangat nyaman dan sejuk, seperti sore-sore sejuk yang dulu sering aku habiskan bersamanya, yang sekarang hanya tinggal kenangan. Tiba-tiba aku bernostalgia teringat masa lalu. Aku mengingat-ingat kembali diriku saat masih sekolah, dan kenangan yang ada didalamnya.

Saat itu, aku tertarik pada seorang gadis. Sudah sekitar dua bulan aku memperhatikannya. Gadis kecil itu, santriwati pondok sebelah. Dia tidak terlalu cantik, tidak pula tinggi. Tapi dimataku, dia adalah bunga yang baru mekar, terlihat anggun dan membuat siapa saja yang didekatnya penasaran. Kata temanku, dia santri ikut ndalem. Santri yang ikut Kiai di rumah untuk membantu urusan rumah tangga seperti mencuci, memasak, bersih-bersih, dan lain-lain. Dia juga salah satu dari santri-santri yang menghafal quran di pondoknya. Yang terakhir ini bagiku adalah nilai lebih yang ada pada dirinya.

Aku baru selesai bekerja ketika matahari bergerak ke arah barat. Setelah memarkirkan becak, sebelum kembali ke kamar, seperti biasa aku menyempatkan diri nangkring di persimpangan jalan antara pondok putra dan putri, demi melihatnya lewat. Jika beruntung, aku bisa mendengar pujaan hatiku itu masih setoran hafalan di depan Pak Kiai. Aku bisa ikut mendengarkan suara merdunya melalui celah kecil dari luar bilik. Selama ini, hanya itu yang berani kulakukan. Aku bukan anak gaul yang biasa berkomunikasi dengan banyak manusia. Aku masih malu-malu jika bertemu lawan jenis, terutama gadis itu. Alasil, selama ini yang bisa kulakukan hanyalah memandanginya, memastikan ia pulang dengan selamat ke kamarnya.

Suatu hari, akhirnya aku memiliki kesempatan berbicara dengannya. Aku diminta Pak Kiai memindahkan meja baru ke ndalem beliau. Kebetulan, Mbak ndalem yang ada disana adalah gadis itu. Dia yang mengarahkanku ke tempat mana meja tersebut diletakkan. Dengan mengumpulkan seluruh keberanian, aku memperkenalkan diri.

”Namaku Nuha, saya diminta Pak Kiai memindahkan meja ke dalam”. Ucapku.

“Baik, silakan Kang Nuha. Masuk lewat sini.” Dia ramah sekali, batinku.

Tanpa ba bi bu, aku langsung menyelesaikan tugasku. Setelah selesai, akau segera kembali ke pondok putra. Aku terlalu senang sampai-sampi tidak tahan berada disana dalam waktu yang lama.

Setelah hari itu, hari-hariku terasa sangat menyenangkan. Aku lebih bersemangat menjalani segala kegiatanku baik itu di pondok, di sekolah atau ketika bekerja. Tiap sore seperti biasa, aku masih menyempatkan sedikit waktuku untuk melihatnya. Kadang, aku juga menyapanya, mengajaknya berbicara. Aku mulai berani sejak kami berkenalan pada hari itu. Kami ngobrol banyak hal ringan. Dia bukan perempuan yang banyak bicara. Dia lebih sering mendengarkanku bicara, tanpa terlihat bosan. Menanggapi cerita-ceritaku dengan antusias, seperti adik mendengar cerita dari kakaknya.

Inilah yang membuatku sedih. Dia sangat polos. Masih bersih, sepertinya belum memahami cinta. Aku merasa kalau dia hanya menganggapku kakak, tidak lebih. Meski aku telah banyak menunjukkan perhatianku padanya, namun yang aku rasakan dari dia hanyalah perasaan dari adik ke kakaknya. Aku sendiri juga bodoh, tidak berani mengungkapkan rasa cintaku ke dia. Hubungan kami berdua terus seperti itu hingga tiba saatnya kelulusanku. Aku sudah menginjak kelas 3 Madrasah Aliyah. Aku ingin menjadi pengajar di desaku yang masih minim guru. Setelah lulus aku akan melanjutkan kuliah di kota besar.

Sebelum berangkat, aku ingin mengungkapkan perasaanku kepadanya. Aku ingin ia tahu apa yang aku rasakan sebelum aku pergi. Dan, aku ingin dia juga yang akan menjadi pendamping hidupku kelak. Hari itu, sebelum menemuinya kupersiapkan dahulu mentalku, keberanianku, kukumpulkan jadi satu. Aku menunggunya di tempat biasa. Rasanya sangat mendebarkan. Detik demi detik terasa amat sangat lama sekali.

Dia pun lewat. Seperti biasa, aku mengajaknya ngobrol. Untuk menutupi kegugupanku, aku bercerita seperti hari-hari biasanya. “Dek, aku udah lulus.”

“Alhamdulillah. Terus habis ini mau ngapain Kang?”

“Aku mau nerusin kuliah di Semarang”

“Wah, bagus itu. Hebat banget. Tapi nanti tinggal dimana? Biaya kuliahnya gimana?”

“Ya, rencana sih aku mau jadi Takmir Masjid, terus nyambi kerja apa gitu. Jadi tukang becak lagi juga nggak papa, hehehe. Yang penting tolong doain aku terus ya, biar cepet sukses.”

“Iya, selalu aku doain kok, Kang.”

“Aamiin. Makasih banyak lho Dek, doanya.”

“Sama-sama, Kang. Aku seneng kok kalo Kang Nuha cepet sukses.”

Dan, hari itu berlalu sebelum aku sempat mengutarakan maksudku. Bahkan ucapan selamat tinggal pun tak sempat kuucapkan. Aku belum memiliki keberanian itu. Aku sudah harus meninggalkan kota tempat aku mengukir mimpi-mimpi indah. Selama kuliah, aku berusaha menghibur diri bahwa dia anak yang polos, Insya’a Allah dia tidak akan kemana-mana. Pikiran itu selalu kumunculkan ketika aku mulai berfikir yang aneh-aneh, kalau-kalau dia nanti diambil orang.

Peringatan choul adalah moment dimana para alumni berkumpul. Alumni dari manapun selalu menyempatkan diri hadir di acara ini. Selain untuk hurmat Kiai, juga agar bertemu teman yang sudah lama tak bertemu. Tak terkecuali aku, yang menggunakan kesempatan ini untuk bertemu dengannya. Sudah dua tahun lebih aku di perantauan. Aku sengaja tidak pulang karena ingin fokus di perkuliahan dahulu. Dalam perjalanan pulang, aku tak bisa lagi memendam perasaan cinta dan rindu yang telah terpendam lama. Malam itu, tepatnya bakda Isya, setelah sampai di rumah penuh kenangan tersebut, aku mencari sosoknya.

Aku memberanikan diri bertanya pada temanku mengenai keberadaannya. Bukannya mendapat jawaban yang kuinginkan, aku malah memperoleh berita baru yang tak kusangka-sangka. Dia telah menjalin hubungan dengan santri lain, dan santri tersebut adalah teman sepondokku sendiri, seangkatan pula. Aku yang baru saja datang dari tempat jauh, belum istirahat, tiba-tiba mendapat berita yang langsung meruntuhkan istana impian yang telah aku bangun sejak lama. Jelas saja aku sock. Aku merasa tidak dapat menerima ini semua. Apalagi, menurut informasi yang kudapat, pak Kiai telah merestui hubungan mereka berdua.

Aku ingin lari, tidak ingin melanjutkan acara ini. Di tengah kegalauanku, aku berjalan cepat menghindari keramaian, tidak ingin orang lain melihatku dalam keadaan seperti ini. Aku ke persimpangan jalan tempat aku dulu sering menemuinya. Aku merasa tidak dapat berpikir lagi dengan jernih. Bayangan kenanganku bersamanya terus berputar dalam otakku silih berganti. Aku menghabiskan cukup banyak waktu berdiam diri disana, meratapi nasib diri sendiri. Aku baru beranjak dari persimpangan menjelang tengah malam. Dengan langkah pelan, aku mencoba berbaur dengan teman-temanku. Aku juga menyapa temanku yang telah beruntung mendapatkan pujaan hatiku. Aku tidak bisa marah ke temanku itu, karena memang dia tidak tahu tentang perasaanku. Aku tidak pernah bercerita kepada siapapun tentang rasa ini. Aku hanya berani bercerita kepada penciptaku di sepertiga malam terakhir.

Sampai acara selesai, aku tidak melihatnya, dan tidak ingin menemuinya. Aku terlalu takut terhadap kemungkinan-kemungkinan yang aku ciptakan sendiri. Dua hari setelah acara besar tersebut, aku kembali ke perantauan tanpa bertemu atau sekedar melihatnya. Sampai akhir, gadis itu tidak mengetahui sama sekali tentang perasaanku

Kini, masa itu telah menjadi kenangan bertahun-tahun lalu. Seiring berjalannya waktu, secara perlahan, aku mulai rela melepasnya. Melanjutkan hidup dan mengejar karir. Meski begitu, aku belum menemukan perempuan lain yan kusayangi dengan sepenuh hati dan segenap ragaku lagi. Atau mungkin, aku tidak akan pernah menemukan perempuan seperti itu. Ah, entalah. Semua kejadian ini telah menjadi pelajaran berharga dalam hidupku. Sudah sepantasnya aku mendapat ganjaran akibat ketidakmampuanku untuk segera mengutarakannya.

Oleh: Almas Fairuza Salsabila, Mahasiswi Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *