Menjaga Integritas Pejabat Publik

Menjaga Integritas Pejabat Publik

Kontroversi dan kegaduhan-kegaduhan di ruang publik seperti saat ini seharusnya tidak terjadi. Sesunggunya kegaduhan itu justru muncul akibat pernyataan yang dilontarkan oleh pejabat publik sebagai perpanjang tangan pemerintah. Seringkali pejabat publik mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat pada umumnya. Sebagai contoh pernyataan Menteri Agama soal cadar dan celana cingkrang. Terbaru, polemik masalah penempatan Basuki Cahaya Purnama alias Ahok sebagai salah satu pimpinan di salah satu BUMN milik negara. Pejabat publik sebagai pemersatu bukan pemecah persatuan, keteladanan, profesional dan progresif dalam konsep kebijakan yang diperlukan termasuk dalam memilih orang untuk menduduki jabatan tertentu, integritas menjadi pertimbangan yang utama.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBIH) memberikan penjelasan terkait dengan “Pejabat Publik” istilah ini terdiri dua suku kata, Pejabat yaitu pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting (unsur pimpinan) dan Publik diartikan sebagai orang banyak (umum). Jika kedua suku kata digabung menjadi menjadi pejabat publik, maka mengandung arti pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting sebagai pimpinan yang mengurusi kepentingan orang banyak.

Istilah Pejabat Publik dalam UU No. 8/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberi penjelasan yang lebih jelas, hal ini terdapat pada Pasal 1 angka 8: Pejabat Publik adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu pada badan publik. Sementara, yang dimaksud badan publik sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang yang sama: Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Amanah yang sangat besar karena mengelola kepentingan umum dan menggunakan anggaran yang berasal dari rakyat, sehingga seorang pejabat publik harus memahami tugas pokok dan etika yang dipegang teguh agar terhindar serta melanggar. Ketentuan ini pun dapat kita lihat dalam TAP MPR tahun 2001, bahwa etika pejabat publik harus selaras dengan visi misi Indonesia masa depan, di antaranya adalah memiliki sifat jujur, adil dan tidak munafik. Ketentuan yang sangat ideal dan perlu aplikasi nyata, namun kenyataannya kadang sebaliknya, ini yang masih menjadi pekerjaan rumah untuk diselesaikan.

Integritas adalah adalah konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan. Disisi lain pejabat publik harus transparan, bertanggung jawab serta yang tidak kalah penting adalah memiliki budaya malu. Budaya malu inilah yang seolah-olah hilang dari pejabat negeri ini, sudah terindikasi korupsi masih tetap menjabat dengan alasan praduga tidak bersalah dan belum ada keputusan hukum tetap dari pengadilan, kita bandingkan dengan negara yang menjunjung moralitas, negara Jepang misalnya pejabat publiknya sangat menjunjung tinggi etikanya, tercium sedikit saja kesalahannya atau melanggar dengan legowo meletakan jabatannya.

Kelemahan masyarakat kita adalah mudah melupakan dan memaafkan begitu saja, hal ini terbukti dengan terpilihnya kembali mantan koruptor atau terpidana kasus-kasus tertentu  menjadi pejabat publik. Sanksi sosial sangat perlu diterapkan, dengan menelusuri rekam jejaknya, integritasnya, jika tidak sesuai jangan dipilih kembali, kemudian regulasi pun menjadi pedoman yang harus ada, karena sampai saat ini masih hanya berupa wacana.

Selayaknya pejabat publik memiliki kemampun yang di atas rata-rata kebanyakan orang sehingga ia layak menduduki jabatan tertentu, kemampuan tersebuat adalah kompetensi dan integritas. Pertama, berbicara tentang kompetensi, fenomena sekarang banyak pejabat publik ketika berbica dan menguraikan masalah di luar kompetensinya, bahkan tidak paham maslahnya, pertanyaannya adalah bagaimana akan mampu menyelesaikanya, masalahnya saja tidak tahu. Hal ini penting untuk dievaluasi, agar mendudukan seseorang berdasarkan kompetensi yang dimiliki bukan berdasarkan kepentingan individu atau kelompok golongan tertentu. Kedua, integritas, merupakan basis dalam mengemban amanah yang diembanya yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur dan keyakinan kepada sang pencipta, bahwa pengawasan ada pada kuasaNYA, sehingga dalam menjalankan tugas sebagai pejabat publik akan lurus sesuai dengan semestinya.

Menjadi pejabat publik adalah amanah yang harus dipertimbangkan apakan menerima atau menolak, karena pertanggungjawabanya tidak hanya di dunia, tapi juga akan diminta di akhirat kelak, sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al Isra’ Ayat 36 yang artinya “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya” oleh karena itu, pergunakanlah jabatan untuk menolong banyak orang, sehingga kebermanfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

Kesadaran etis harus dipegang erat oleh pejabat publik, karena sedang mengemban amanah publik yang begitu mulia, kembalilah pada tugas pokonya dan jelas perannya yaitu mensejahterakan masyarakat, sebagai pemersatu dan berlaku adilah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *