Memilih Sekutu Hidup yang Sekufu

Adam adalah manusia pertama yang diciptakan oleh Tuhan. Dia hidup sendirian di surga. Lalu Tuhan menciptakan Hawa agar menjadi pasangan bagi Adam dan karena melanggar janji mereka akhirnya diturunkan ke bumi. Dari dua insan itulah, populasi manusia sekarang berkembang biak menjadi 7.7 miliar jiwa yang tersebuar di seluruh dunia. Itu adalah hikmah paling awam yang bisa kita ambil dari penciptaan pasangan bagi seorang Adam. Jika Adam tetap sendirian, apa yang akan terjadi? Wallahu a’lam.

Allah menciptakan manusia untuk hidup berpasang-pasangan, sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS al-Dzaariyat: 49:

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Artinya “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).”

Ayat di atas menjelaskan bahwa apa yang Allah ciptakan di dunia ini, memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain maka harus dipasang-pasangkan agar menjadi lebih sempurna. Sebut saja; siang dan malam, panas dan dingin, serta laki-laki dan perempuan. Allah menciptakan itu semua, tidak ada tujuan lain kecuali untuk memenuhi kebutuhan manusia, yaitu ciptaan-Nya yang paling sempurna.

Allah menciptakan manusia dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing, agar bisa saling melengkapi dan menjadi pasangan yang ideal. Menjadi pasangan ideal, sudah pasti menjadi dambaan setiap orang, baik sebelum maupun sesudah menikah. Kriteria pasangan ideal setiap orang tentu berbeda-beda, tergantung background keluarga dan pendidikan yang ia tekuni. Kriteria pasangan Ideal menurut lulusan SMA akan berbeda dengan pandangan ideal dalam perspektif lulusan S1. Sebab, ilmu pengetahuan dan lingkungan akan mempengaruhi cara berpikir dalam memilih pasangan.

Memilih Pasangan se-Visi

Menikah tidak sekadar memenuhi kebutuhan biologis antara laki-laki dan perempuan, tetapi bagaimana keduanya mampu menyamakan visi untuk mengurusi keluarga, bahkan umat dan bangsa. Menikah juga tidak sekedar sibuk mengurus keluarga sendiri, akan tetapi mau mengorbankan dirinya untuk memperjuangkan nasib anak bangsa.

“Jika kamu mau mengurusi anak orang lain, maka Allah akan mengurusi anak-anakmu,” Kata Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Monash Institute, saat kajian Tafsir. Saat ini, penulis baru menemukan pejuang yang benar-benar mau memintarkan anak orang lain, bahkan merelakan seluruh harta dan jiwanya untuk berjuang. Ya, pejuang itu adalah Abah Nasih (Abana), sapa’an akrab kami kepada Dr. Mohammad Nasih.

Sejak duduk di bangku kuliah, Abana menempa diri di HMI, dan di situlah dia bermpimpi punya istri yang “Kohati anak Kohati”. Abana menemukan pujaan hatinya yaitu seorang putri dari Profesor Sejarah Peradaban Islam di Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang. Profesor dan putrinya itu sama-sama Kohati. Karena itu, Abana berhasil mewujudkan salah satu mimpinya itu, yakni beristri “Kohati putri kohati”. Menikah dengan Kohati putri kohati adalah salah satu keberuntungan, karena pemahaman perjuangan tidak berbeda jauh. Dengan demikian, diharapkan kedua pasangan akan lebih mudah menjalani segalanya untuk berjuang di jalan Allah.

Tingkat Pendidikan

Memilih pasangan juga perlu mempertimbangkan tingkat pendidikan. Sebab, tingkat pendidikan akan mempengaruhi pola pikir seseorang. Abana menganjurkan kepada disciples (sebutan santri-santri Abana) untuk menikah setelah lulus S2 bagi perempuan dan lulus S3 bagi laki-laki, kecuali ada kejadian luar biasa atau kondisi tertentu yang memaksa untuk keluar dari idealitas itu, dan itupun atas restu dan rekomendasi Abana sendiri. Abana menekankan agar disciples menikah dengan pasangan yang se-kufu, misal; Lulusan S1 bisa menikah dengan lulusan S1, S2 dengan S2, dan seterusnya. Bisa menikah dengan orang yg berpendidikan sederajat, atau dengan laki-laki yang berpendidikan lebih tinggi.

Memilih pasangan yang sekufu dapat meminimalisir problem dalam kehidupan berkeluarga. Meskipun ada masalah, maka akan mudah menyelesaikannya karena akan timbul saling mengerti, memahami, dan tahu bagaimana bersikap untuk menyelesaikan masalah tersebut. Oleh sebab itu, meski sekufu tidak menjadi syarat atau rukun dalam pernikahan, tetapi kufu ini sangat penting untuk keberlangsungan keluarga yang memiliki orientasi mencetak generasi unggul untuk umat dan bangsa.

Abana juga berpesan kepada disciples, “Jika ingin mendapatkan pasangan yang berkualitas, maka harus memantaskan diri.” Maksud dari perkataan Abana tersebut adalah setiap disciples harus belajar dengan maksimal agar memiliki berbagai variabel yang menunjang kualitas mereka. Jika seseorang berkualitas, maka akan mendapat pasangan yang berkualitas. Sebab, pasangan kita merupakan cerminan diri kita, sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nuur: 26:

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ ۚ أُولَٰئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ ۖ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

Artinya “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (syurga).”

Banyak orang mengatakan bahwa jodoh sudah diatur oleh Allah dan akan datang dengan sendirinya. Karena itu, tidak perlu khawatir. Berbeda dengan cara berpikir Abana bahwa jodoh perlu diusahakan untuk mendapatkan yang terbaik. Di situlah letak kebebasan manusia (ikhtiar) diberikan oleh Tuhan kepada manusia agar memanfaatkan segala potensi yang telah diberikan oleh Allah swt, sehingga mendapatkan takdir terbaik menurut-Nya. Ini bisa dilihat dari usaha Abana memperjuangkan pujaan hatinya, yaitu Ibu Oky Rahma Prihandani, seorang dokter spesialis anak. Abana melakukan “segala cara” agar bisa menaklukkan hati Bu Oky, bahkan membentuk tim sukses agar dapat restu dari Profesor Sri Suhandjati.

Ada tiga istilah Jawa dalam memilih pasangan, bobot, bibit, dan bebet. Abana mendasarkan pilihannya dengan itu, sehingga beliau mendapatkan kesimpulan bahwa Bu Oky adalah perempuan yang pas dan cocok dijadikan istri serta ibu untuk anak-anaknya. Setelah berbagai usaha Abah lakukan, akhirnya Bu Oky jatuh cinta dan orang tua Bu Oky pun merestui. Pesan Abana kepada Disciples dalam mencari pasangan selalu mengutip potongan surat an-Nisa’ ayat 3, yang diartikan Abana “Nikahilan perempuan yang baik untukmu dan cinta kepadamu. Perempuan yang baik akan membuatmu tenang. Jika dia mencintaimu, dia akan bahagia.”

Jodoh dan cinta merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. karena jodoh pasti menumbuhkan cinta. Namun berbeda dengan perjodohan. Karena perjodohan merupakan usaha untuk menjodoh-jodohkan. Perjodohan bukanlah keinginan dua insan yang ingin bersatu, tapi ada pihak ketiga yang menginginkan mereka untuk bersatu. Saat perjodohan menumbuhkan cinta di antara dua insan yang dijodohkan, maka baru dinamakan jodoh. Sebab, bisa dikatakan jodoh jikalau ada cinta. Oleh sebab itu, cinta juga bisa diciptakan. Orang Jawa bilang, “witing tresno jalaran soko kulino, jatuh cinta itu terjadi karena terbiasa.”

Abana selalu berpesan kepada para santrinya agar mencari jodoh yang sekufu. Ketika menikah, cinta memang menjadi “syarat” kehidupan rumah tangga bahagia, tetapi lebih dari itu, kesamaan visi menjadi sangat urgent agar pernikahan itu berdampak besar pada perbaikan. Karena itu, setiap orang harus memastikan pasangan yang dipilih itu memiliki milieu perjuangan yang tinggi, sehingga bisa diajak berpikir besar dan melakukan langkah-langkah dari yang paling kecil dan dimulai dari pranata sosial terkecil, yakni keluarga. Karena itulah, mencari sekutu yang sekufu menjadi sangat penting untuk menciptakan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.

Bagi yang masih jomlo, carilah dengan cinta, sehingga ia akan membahagiakan dan menenangkan kehidupan kita. Lebih dari itu, jangan lupa cari yang sekufu dan pastikan memiliki milieu pejuang. Sebab, pasangan kita akan menjadi sekutu seumur hidup. Sekutu dalam menapaki jalan perjuangan untuk mencapai ridla Allah. Dengan demikian, memilih sekutu yang sekufu adalah kunci untuk membangun hidup yang bahagia dunia dan akhirat. Bagi yang sudah menikah alias sudah memiliki sekutu hidup, selalu pupuk cinta itu dengan visi-visi perjuangan agar semakin tumbuh besar dan kuat. Waallahu a’lam bi al-shawwab.

Oleh: Hidayatur Rohmah, Disciple 2011 Monash Institute, Almunus Jillin University, China.

Editor: Anzor Azhiev

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *