Dr. Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi. Pada bagian ketiga, tentang Sebuah Model Reaktualisasi, halaman 283. Menyatakan Lima Program Reinterpretasi, yang sangat rekomended bagi gerakan Islam masa kini. Dari pada membuat program kerja organisasi yang cenderung kontra produktif, program yang di wacanakan oleh Dr. Kuntowijoyo, bisa menjadi referensi bagi gerakan Islam kontemporer.
Program pertama, adalah perlunya dikembangkan penafsiran sosial struktural lebih dari pada penafsiran individual ketika memahami ketentuan-ketentuan tertentu di dalam Al-Quran. Selama ini kita melakukan penafsiran yang bersifat individual ketika memahami, mislanya, sebuah ayat yang menyatakan larangan untuk hidup berlebih-lebihan. Dari penafsiran individual terhadap ketentuan ini sering timbul sikap untuk mengutuk orang-orang yang hidup berfoya-foya, yang memiliki vila-vila di Puncak, atau yang mempunyai banyak deposito di bank-bank luar negri. Sesungguhnyalah kekacauan semacam itu sah saja adanya. Tapi yang lebih mendasar sebenarnya adalah mencari sebab-sebab struktural kepada gejala hidup mewah dan berlebihan itu muncul dalam konteks sistem sosial dan sistem ekonomi. Dengan upaya ini, penafsiran kita terhadap gejala hidup mewah harus lebih dikembangkan pada perspektif sosial, pada perspektif stuktural. Dari penafsiran semacam ini, mungkin kita akan menemukan akar masalahnya yang paling esensial yaitu terjadinya konsentrasi kapital, akumulasi kekayaan, dan sistem pemilikan sumber-suber penghasilan atas dasar etika keserakahan. Gejala-gejala seperti inilah sebenarnya yang harus kita rombak agar tidak memungkinkan terjadinya gaya hidup mewah, gaya hidup yang secara moral maupun sosial sangat di kecam oleh Al-Quran.
Program pertama ini rekomended sekali bagi gerakan-gerakan yang mengatasnamakan Islam saat ini. Karena, goalnya jelas dan juga dasarnya jelas, dari pada membuat program yang hanya terjebak pada formalitas belaka serta cenderung membunag-buang anggaran, program ini menjadi tawaran solutif dan esensial.
Program kedua, adalah mengubah cara berpikir subjektif ke cara berpikir objektif. Tujuan dilakukannya reorientasi berpikir secara obejktif ini adalah untuk menyuguhkan Islam pada cita-cita objektif. Tentang ketentuan zakat misalnya, secara subjektif, tujuan zakat memang diarahkan untuk “pembersihan” harta kita, juga untuk pembersihan jiwa kita. Tapi sesunggunya sisi objektif tujuan zakat pada intinya adalah tercapainnya kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial itulah yang menjadi sasaran objektif dikeluarkannya ketentuan utnuk berzakat. Dari reorientasi semacam ini kita dapat mengembangkan tesis yang lebih luas bahwa Islam benar-benar ingin memperjuangkan tercapainya kesejahteraan sosial yang didalamnya zakat merupakan salah satu sarananya. Demikian juga kalau kita bicara tentang larangan riba. Ketentuan itu misalnya perlu kita beri konteks pada cita-cita egalitarianisme ekonomi untuk tercapainya kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, pada level aktual, kita dapat saja mengembangkan bentuk-bentuk institusi bank yang bebas bunga (zero interesting bank) yang tidak mengguakan rente, untuk membantu pemilikan modal bagi kelas ekonomi lemah.
Mari bersih-bersih diri dengan zakat seperti yang diprogramkan oleh Dr. Kuntowijoyo, gerakan Islam dewasa ini sebetulnya sangat ditungg-tunggu gebarakannya. Karena persoalan zakat memang sangat relevan untuk bisa mempertahankan keimanan umat, sehingga bebas dari pengaruh-pengaruh yang bisa saja akan luput dari rasa syukur sehingga nilai-nilai religiusnya mudah terkikis oleh persoalan dunia, mari canangkan!.
Selanjutnya program ketiga, adalah mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis. Selama ini kita cenderung lebih menafsirkan ayat-ayat Al-Quran pada level normatif, dan kurang memperhatikan adanya kemungkinan untuk mengembangkan norma-nomra itu menjadi kerangka-kerangka teori ilmu. Secara normatif kita mungkin hanya dapat mengembangkan tafsiran moral ketika memahami konsep tentang fuqara dan konsep tentang masakin. Kaum fakir dan miskin paling-paling hanya akan kita lihat sebagai orang-orang yang perlu dikasihani sehingga kita wajib memberikan sedekah, infaq, atau zakat kepada mereka. Dengan pendekatan teoritis, kita mungkin akan dapat lebih konsep tentang kaum fakir dan kaum miskin pada konteks yang lebih real, lebih faktual, sesuai dengan kondisi-kondisi sosial, ekonomi, maupun kultural. Dengan cara itu kita dapat mengambangkan konsep yang lebih tepat tentang siapa sesunggunya yang dimaksud sebagai fuqara dan masakin itu; pada kelas sosial dan ekonomi apa mereka berada dalam suatu masyarakat, dan sebagainya. Demikianlah, kalau kita berhasil memformulasikan Islam secara teoritis, maka banyak disiplin ilmu yang secara orisinal dapat dikembangkan menurut konsep-konsep Al-Quran.
Program ketiga ini, cukup luas untuk benar-benar bisa dipraktikan. Karena jelas membutuhkan penelitian-penelitian yang mendalam sehingga dapat menghasilkan teori dari pemikir-pemikir Islam. Semoga dari banyaknya gerkan Islam yang eksis di Indonesia, bisa menerapakn program ini sehingga gerakan ke Islamannya nyata adanya.
Program yang keempat adalah mengubah pemahaman yang a-historis menjadi historis. Selama ini pemahaman kita mengenai kisah-kisah yang ditulis dalam Al-Quran cenderung sangat bersifat a-historis, padahal maksud Al-Quran menceritakan kisah-kisah itu adalah justru agar kita berpikir historis. Misalnya kisah tentang bangsa Israel yang tertindas pada zaman Fir’aun sering hanya kita pahami pada konteks zaman itu. Kita tidak pernah berpikir bahwa apa yang disebut sebagai kaum yang tertindas itu sebenarnya ada di sepanjang zaman dan ada pada setiap sistem sosial. Pada zaman feodalisme, pada sistem kapitalisme, pada sistem sosialisme, selalu terdapat apa yang disebut sebagai kaum mustadha’afin (kaum tertindas). Oleh karena itu, sesungguhnya kita harus menjelaskan siapakah golongan-golongan yang berada pada posisi tertindas itu di dalam sejarah; termasuk pada saat sekarang ini, yaitu pada sistem sosial ekonomi yang memungkinkan untuk “membebaskan mereka yang terbelenggu”. Dengan cara berpikir historis, kita akan dapat mengidentifikasi siapakah yang dimaksud sebagai golongan “yang terbelenggu” itu dalam sistem sosial politik kita sekarang.
Dr. Kuntowijoyo memang sangat peduli dengan cara bepikir yang produktif dan solutif, dengan program keempat ini sangat memungkin kita untuk lebih jernih daalam melihat realitas sosial dan memberi perhatian penuh terhadap kaum yang tertindas.
Program yang kelima, yaitu merupakan simpul dari keempat program sebelumnya adalah bagaimana merumuskan formulasi-formulasi yang spesifik dan empiris. Dalam sebuah (general) ayat disebutkan bahwa Allah mengecam orang-orang yang melakukan sirkulasi kekayaan hanya di kalangan kaum kaya. Pernyataan ini jelas bersifat umum dan normatif. Oleh karena itu kita perlu mengartikan pernyataan itu pada pengertiannya yang spesifik dan empiris. Itu berarti kita harus menerjemahkan pernyataan itu kedalam realitas sekaranag; bahwa Allah mengecam keras adanya monopoli dan oligopoli dalam kehidupan ekonomi politik, adanya penguasaan kekayaan oleh kalangan tertentu di lingkungan elit yang berkuasa.
Dengan menerjemahkan pernyataan yang umum itu secara spesifik untuk menatap gejala yang empiris, pemahaman kita terhadap Islam akan selalu menjadi kontekstual, sehingga ia dapat menumbuhkan kesadaran mengenai relitas sosial. Dan hal ini, pada gilirannya, akan menyebabkan Islam menjadi agama yang lebih mengakar di tengah-tengah gejolak sosial sekarang ini.
Sekian lima program yang di wacanakan oleh Dr. Kuntowijoyo, semoga ini menjadi solusi bagi gerakan Islam sekarang, sehingga gerakan dan organisasi ke Islaman di Indonesia keberadaanya benar-benar solusi atas persoalan sosial, dan berpihak pada kaum tertindas tentunya. Laksanakan!
Oleh: Baqi Maulana Rizqi, Kader HMI Bumiayu.