Tafsir  

Jangan Berlaku Adil! Adil itu Syirik

Jangan Berlaku Adil! Adil itu Syirik
Ilustrasi

Adil tidak semata-mata adalah konsep yang diterima manusia. Bahkan dalam al-Qur’an, konsep keadilan juga diterapkan manusia kepada Allah. Namun, konsep adil yang ditujukan kepada Allah berkonotasi negatif sebab bisa berarti menyekutukan Allah.

Tentu tidak semua kata adil di dalam al-Qur’an itu berkonotasi positif. Sebab, adil dalam al-Qur’an memiliki makna berbeda ketika berinteraksi dengan konteks yang berbeda pula. Seperti dalam surat an-Nisa ayat 3 yang menjelaskan tentang poligami. Jika tidak bisa berlaku adil, maka nikahilah satu saja. Adil disini berarti memberlakukan sama istri-istri lain dalam segi giliran menginap, menafkahi, dan memberikan luapan kasih sayang.

Begitupun jika adil dalam konteks bernegara. Syaikh Muhammad bin Shalih menerangkan bahwa adil adalah menunaikan hak setiap pemiliknya. Atau dapat diartikan menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya. Berarti pemerintah mesti memberikan hak-hak yang sama antar warga negara. Hak untuk mendapatkan jaminan kesehatan, hak untuk berpendidikan, hak untuk mendapatkan upah yang layak dan lain sebagainya.

Secara global, adil berarti sama. Walaupun dalam beberapa konteks, adil tidak berarti harus sama. Seperti adil dalam memberikan sangu untuk anak berangkat sekolah. Anak SMA tidaklah sama uang bekal jajannya dengan anak SD begitupun sebaliknya. Maka adil disini berarti proporsional. Tapi dari segi memberi bekal uang jajan adalah sama.

Lawan dari kata adil adalah zalim. Zalim berarti tidak menunaikan hak-hak yang seharusnya diberikan atau tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Zalim juga berarti bentuk penganiayaan terhadap orang lain. Baik penganiayaan dalam bentuk fisik atau dalam bentuk ucapan.

Di dalam al-Quran, zalim juga adalah lawan kata dari terang (2: 257). Berarti orang zalim adalah orang yang memiliki kegelapan di dalam hatinya. Itulah sebabnya ia berani untuk menganiyaya orang lain atau berlaku maksiat kepada Allah. Sedangkan cahaya Allah bagi manusia itu disebut dengan hudan atau petunjuk. Dari akar kata yang sama tersebut akan membentuk suatu kata hidayatan.

Orang yang mendapat hidayah dari Allah tidak akan pernah menyekutukan Allah. Dia akan menjadikan Allah sebagai pelindung baginya. Sebab itu, Allah lah lentera yang dapat menunjukannya dari jalan kegelapan menuju cahaya (2: 257).

Kezaliman yang besar adalah berlaku syirik atau menyekutukan Allah (31: 13). Menyekutukan Allah berarti membuat Allah sebagai rekan bagi berhala-berhala lain. Sedangkan berhala itu tidaklah pantas apabila disandingkan dengan Allah. Apalagi membuatnya menjadi tandingan Allah (2: 165).

Berarti jelas bahwa perbuatan syirik atau menyekutukan Allah adalah perbuatan zalim. Dan zalim bertolak belakang dengan adil. Namun bagaimana dengan konteks ayat di dalam al-Quran yang menyatakan bahwa adil itu berarti syirik?

Menarik jika kita membaca permulaan surat al-an’am. Di ayat pertama kita menemukan kata yang memiliki arti kontekstual. Artinya, kata tersebut hanya bisa dipahami dengan konteks ketika ayat itu diturunkan (asbab an-nuzul).

Ayat pertama surat al-an’am menjelaskan pujian kepada Allah yang telah menciptakan langit dan bumi. Begitupun Ia menciptakan gelap dan terang. Namun, masih saja ada manusia yang menyekutukan Allah. Manusia itu termasuk dalam golongan kafir (kafara=menutup). Ia menutup dirinya dari keagungan Allah dan menjadikan sesuatu sebagai sekutu Allah.

Di ayat tersebut terdapat kata ya’diluun. Bila melihat terjemah bebas dari kata ya’diluun di dalam al-Qur’an hasil terjemah Departemen Agama, artinya adalah menyekutukan. Padahal kata ya’diluun itu berasal dari kata ‘adala-ya’dilu yang memiliki arti berbuat adil. Lalu mengapa berbuat adil lantas diartikan menjadi menyekutukan?

Kembali ke definisi awal kata adil. Adil sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya memiliki arti sama. al-Quran ingin memberikan suatu konsep bahwa menyamakan antara Allah dan mahkluknya itu adalah perbuatan syirik. Walaupun dapat dikatakan itu adil. Tapi adil dalam konteks ini berkonotasi negatif. Sebab Allah tidaklah sama dengan mahkluknya. Ia adalah Dzat yang menciptakan mahkluk. Maka tidaklah pantas jika Ia disamakan dengan mahkluknya.

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa Allah berbuat adil kepada manusia dengan segala bentuk ketetapannya. Manusia juga diperintah berbuat adil kepada sesama manusia (4: 58, 16: 90). Namun manusia dilarang berbuat adil kepada Allah. Yang dimaksud adil disini adalah menyamakan Allah dengan sesuatu dan dalam berbagai aspek. Baik dalam aspek ibadah (menyembah) atau aspek lainnya, misalnya mencintai. Cinta kepada manusia tidaklah boleh sama dengan cinta kepada Allah. Seharusnya cinta kepada Allah lebih besar dari cinta kepada manusia. Begitulah kiranya isi kandungan surat al-an’am ayat satu.

Dapat dikatakan bahwa secara etimologis al-adl memiliki dua makna. Makna pertama adalah al-istiwa yang berarti lurus. Kata ini semakna dengan kata adil, sesuai, seimbang, dan proporsional. Kedua, kata ‘adl berarti bermakna al-I’wjaj atau menyimpang. Sebab ternyata ada sebagian orang yang menutup diri (kafir) dan berpaling untuk menyekutukan Allah (6: 1). Wa Allahu a’lamu bi al-shawwab.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *