Dunia selalu memiliki banyak cerita di dalamnya, begitu juga kisahku yang kunjung tidak pernah usai. Dilema selalu saja mengakar pada perkara cinta, menghubungkan cita rasa untuk kemerdekaan hati dan kedamian jiwa. Hari itu, momen bersejarah bagi jiwa yang hanya membuka hati sekali seumur hayat. Awal yang begitu indah menguatkan dan mengkokohkan komitmen pada seorang perempuan. Senyum terurai dan karakter yang kuat mengingatkanku pada sosok Maryam, Sebuah cerita yang indah walau hanya sesaat.
Perkemahan yang berlarut di sebuah Desa yang dialami olehku membangkitakan jiwa pujangga dalam menulis syair layaknya Abu Nawas. Diawali dari segelintir perkataan dan diakhiri dengan sejuta bungkaman. Tangkai bunga itu sangat terlihat kuat nan indah dikala interaksi yang dilakukan selalu membuahkan senyuman. Kala itu, aku sibuk mengetik sebuah teks untuk dikirimkan ke temanku, kulihat dia sedang berlari sembari tersenyum ke pandanganku. Aku bergumam, apakah ini yang dinamakan ketentraman hati (cinta)?
Keyakinanku bahwa, cinta bukanlah sebuah teori yang sulit dijelaskan melainkan sesuatu yang abstrak yang hanya dialami seseorang. Begitupula dengan kisahku, malam indah di sebuah perkemahan yang hanya berjarak 5 m dari air terjun. Beramai-ramai kami berkumpul bercerita mengenai kebersamaan, sampai-sampai salah seorang dari teman kami mengeluarkan isak tangis di sela-sela bercerita.
“Mengapa engkau menangis Vina?” tanyaku
“Aku tak sanggup selama ini kebersamaan kita terusaikan oleh waktu dan tidak memiliki arti apa-apan selain kenangan wahyu…!”
“Walau kita berkemah hanya dua hari semalam, setidaknya ada kebersamaan yang kita bangun, aku sudah mengaggap kalian semua seperti saudaraku, datanglah ketika kalian membutuhkan bantuan,” tuturku sembari menghentikan percakapan dengan Vina.
Lalu, Vina pun tersenyum akan sedikit nasihat yang aku berikan, dan akhirnya malam yang penuh candaan dan isak tangis tersebut ditutup dengan api unggun dan daging kambing yang nikmat dibalut oleh kecap pedas manis di sekujur tubuh daging kambing tersebut. Kami akhirnya kembali ke kemah masing-masing, tetapi tidak denganku, aku masih duduk manis di depan api unggun seraya memikirkan tangkai bunga yang kokoh itu yang tidak tahu harus ditanam di mana, aku masih tetap dengan buku peganganku “Bintang Arasyi”. Aku meratapi tangkai bunga itu sedang asyik juga membaca buku di dalam tenda dengan penerangan dari ponselnya. Sosok Maryam ada dipundaknya, aku ingin menggapai itu, tetapi keraguanku semakin meningkat dikarenakan ketidaktahuanku mengenai kehidupan aslinya.
Keesokan harinya, aku memberanikan diriku untuk bertanya langsung sepenuhnya mengenai keingintahuanku mengenai dirinya yang sudah aku anggap seperti sosok Maryam. Akupun mensiasati teman-teman yang lain agar tidak satupun mereka mengetahui prihal ini.
Lalu, kami pergi ke suatu tempat tanpa ada satupun kawan-kawan kemah yang mengetahui, sampai di sana, aku mencoba menaikkan nafasku agar tidak terlihat grogi didannya, setiap aku bertutur kata didepannya selalu saja kegrogian yang dihasilkan, tetapi kali ini, moment yang tepat sebelum sore hari kami dan teman-teman perkemahan pulang ke rumah masing-masing.
Lalu, setelah sampai di tempat tujuan, aku memesan 2 porsi makanan untukku dan laras, sembari kami duduk dikursi bernomor 02. Dan, aku mulai membuka percakapan itu.
“Sebelumnya aku meminta maaf kepadamu laras prihal mengajakmu ketempat ini tetapi tidak memberitahumu jauh-jauh hari” tuturku.
“Tidak apa-apa, kan kita satu kemah, wajar dong, jikalau diajak pergi, mana tau aku bisa membantu keluh-kesahmu,” tutur Laras.
Aku semakin percaya diri bahwasanya Laras akan memberikan lampu hijau untukku.
“Begini, tahukah engkau selama perkemahan aku selalu memandangi raut wajahmu laras? Aku selalu percaya, aku akan mendapatkan dirimu, aku menyayangimu laras,” tuturku.
Sontak laras terkejut mendengar perkataan, seakan dia tidak percaya, jikalau aku menyukai karakter dirinya.
“ Apa yang engkau sukai dari diriku, kamu tidak tahu apa-apa mengenai kehidupanku Wahyu..! Aku bukanlah seperti orang yang selama ini ada di angan-anganmu, Aku memang selalu tersenyum di setiap langkahku, bukan berarti aku terlihat baik di depan semua orang termasuk dirimu, Wahyu, dan..! tutur Laras.
“Apapun itu mengenai dirimu, aku tidak perduli, rasaku semakin tidak terbendung kepadamu laras, tetapi disisi lain aku tidak memaksamu untuk menerimaku laras” tuturku.“
“Maaf Wahyu, semua orang yang di sisiku, aku menyayanginya, termasuk engkau wahyu, tetapi sebatas saudara. Apakah engkau tahu, selama ini aku menyayangi siapa? Mungkin saat ini aku bersamanya, tidak tahu masa depan, Tuhan Maha membolak-balikkan hati manusia, Wahyu..!”
Aku mulai lemas, aku tidak percaya akan perkataan Laras tersebut, tetapi itu nyata adanya.
Air mataku tidak terbendung ingin terjun bebas dari makomnya, aku mengusap air mata itu dengan bajuku. Aku tersenyum tetapi juga menjerit merintih perihnya api cemburu. Tetapi keyakinanku semakin kuat, dikala hatiku berkata, dirinya milikmu, gapailah dan engkau akan merdeka.
“laras, engkau tatap mata merahku, keyakinanku akanmu sudah sampai tahap final, walaupun saat ini engkau bersamanya, tetapi engkau pasti akan aku raih”
Laras terdiam, dan akhirnya kami memutuskan kembali ke perkemahan, di pertengahan perjalanan ke perkemahan, aku menarik lengannya sembari memeluknya dan mengatakan suatu keyakinan untuk dirinya. Pelukan pertamaku atas perempun dan aku sama sekali tidak menyesali itu.
Ternyata kami sudah ditunggu di perkemahan dan menyoraki kami dengan kata-kata candaan tetapi juga menyakitkan. Kami bergegas mengambil barang masing-masing dan pergi ke tempat parkiran kendaraan.
“Laras, ikut bersamaku yah, nanti akan aku antarkan sampai kerumahmu,” tuturku.
“Baiklah, ayo”
Dipertengahan jalan kami terpisah dengan teman-teman perkemahan dikarenakan hujan, akhirnya aku dan laras menetpi didepan rumah seseorang.
“Wahyu, apakah kamu masih kuat? Wajahmu terlihat sangat pucat dan kamu sangat kedinginan dan menggigil” tutur laras
Laras menggapai tanganku sembari menyelimuti tanganku dengan tangannya dan menghembuskan tangannya agar aku sedikit merasa hangat. Aku tersenyum, tetapi masih merasa sangat sakit. Aku mencoba meyakinkannya berulang kali tetapi tetap dengan jawaban yang sama.
“Apakah engkau tetap tidak yakin denganku Laras?”
“Wahyu, dengarkan baik-baik, aku tidak bisa bersamamu, aku saat ini bersama dengan yang lain, malam ini mungkin malam terakhir kita bersama, dan jangan engkau datang lagi dikehidupanku, pertemanan kita sampai disini ketika kamu sudah mengantarkanku sampai kerumah”.
Aku melihat matanya yang merah seakan tidak ingin mengucapkan kata-kata itu, aku meyakinkan kalau dia juga menyayangiku, tetapi tidak ingin ada yang tersakiti olehnya.
“Okey, mungkin benar katamu, aku lebih baik mengikuti kata-katamu, aku bukanlah orang yang baik buatmu, aku terlalu memaksakan keinginanku di atas keinginan orang lain”
“Sampai di situ perjuanganmu Wahyu, benarkan kamu tidak ingin berjuang lebih, aku ingin orang-orang yang berjuang bersamaku,” tutur Laras.
Perkataan itu spontan keluar dari bibirnya, aku terkejut, kalau selama ini benar apa yang aku yakini. Lalu aku mencoba untuk mengulangi meyakinkan Laras, tetapi tetap sama saja, Aku harus pergi sejauh aku melangkah sampai tidak bisa melihat dirinya lagi tanpa melihat ke belakang.
Akhirnya, hujanpun reda dan aku mengantar Laras kembali kerumahnya. Aku juga pulag kerumahku yang tidak terlalu jauh dengan rumah Laras.
Tangkai Bunga yang kokoh itu selalu aku letakkan di hati agar terlihat indah nan damai, tetapi tangkai itu kian layu, isak tangis dan jeritan keperihan seakan menyayati tangkai-tangkai itu karena pemiliknya kini telah pergi. Hidup tetaplah akan berlanjut, bangun dan carilah tangkai bunga itu kembali walau tidak seindah dulu. Benar kata Abana ”Cinta yang benar menimbulkan rasa bahagia melihat yang dicinta bahagia. Walaupun iya datang pada saat yang tidak tepat. Jika yang muncul adalah sakit hati, iri dan dengan kepada kebahagiaan, yakinkanlah bahwa itu adalah cinta yang akan menyebabkan jiwa merana, dan bisa mati karenanya”.
“Pecinta sejati tak pernah sakit hati walaupun cintanya belum bisa diterima oleh yang dicintai. Walaupun bahkan sudah pasti tidak dibalas dicintai, dia akan tetap mendoakan kebaikan orang yang dicintai dalam malam-malam sunyi. Pemaksa cinta, hanya akan mendapatkan tubuh, tetapi bukan jiwa. Dia bisa melampiaskan nafsu, tetapi tidak akan pernah menemukan harum nafas kerelaan dan kebahagiaan. Dia tidak akan menemukan hakikat keindahan cinta,” tutur Abana.
Oleh: Wahyu, Biblioarti, Pemerhati Perjalanan Buku Cinta