Lima Keuntungan Besar Mengajar

Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidh Darun Nashihah MONASH INSTITUTE Semarang; Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ

Jumlah pengajar di Indonesia tergolong sangat minim. Di lembaga pendidikan formal, dengan kurikulum negara, dan pengajar digaji oleh negara, rasio pengajar dengan yang diajar masih jauh dari rasional. Yang tercatat saat ini, rasionya kira-kira 1/15. Namun secara faktual jauh lebih kecil lagi. Lebih kecil lagi, rasio di lembaga pendidikan yang tidak mendapat dukungan pembiayaan negara, seperti pesantren-pesantren tradisional, atau lembaga-lembaga pendidikan di wilayah-wilayah pinggiran.

Ada dua faktor penyebab mengajar tidak menjadi aktivitas menarik, sehingga hanya sedikit saja orang yang berminat dan menjalaninya secara konsisten. Pertama, mengajar dipandang bukan profesi prestisius. Terlebih jika dikaitkan dengan gaji yang diterima, jika dibandingkan dengan dokter, insinyur, advokat, dan akuntan, pengajar adalah yang paling rendah, bahkan seringkali tidak jelas. Ditambah lagi dalam perspektif Islam, mengajar secara tersirat tidak boleh dilakukan untuk mendapatkan upah. “Ikutilah orang yang tidak meminta upah dan mereka mendapatkan petunjuk” (Yasin: 21). Mengajar dalam konteks ini merupakan tugas kenabian yang tidak patut dimaterialkan.

Kedua, kapasitas. Di luar lembaga pendidikan formal, pesantren misalnya, mengajar adalah aktivitas yang oleh sebagian masyarakat dianggap prestisius. Walaupun tidak ada gaji dari negara, tetapi penghargaan masyarakat kepada pengajar di pesantren sangat tinggi. Dan penghargaan itu bisa terkonversi menjadi banyak bentuk, di antaranya juga material yang besar. Namun, tidak banyak yang mampu melakukannya, di antaranya karena kapasitas yang tidak mumpuni.

Sebab, walaupun sebenarnya ada yang memiliki kapasitas yang bisa dijadikan sebagai modal awal untuk mengajar, tetapi karena melihat secara sekilas dari sisi lahiriyah saja yang tidak menguntungkan secara materi, maka mengajar menjadi tidak menarik. Padahal, jika dijalani, mengajar akan mendatangkan banyak sekali manfaat yang sangat besar. Memahami faktor kedua ini tidak mudah, kecuali oleh mereka yang telah menjalani aktivitas mengajar dan memiliki jiwa entrepreneurship dan terlebih lagi sosiopreneurship.

Secara umum, setidaknya, ada lima keuntunga besar yang bisa didapatkan pada kemauan mengajar, yaitu:

Pertama, menjadi sarana uji keluasan pemahaman. Orang yang tidak mengajar, bisa saja merasa memiliki pemahaman yang cukup, padahal sebenarnya belum tentu demikian. Mengajar bisa menjadi sarana pembuktian apakah anggapan itu benar atau salah. Sebab, mengajar berarti menyampaikan pemahaman yang sudah terkonstruksi di dalam pikiran. Dalam hal ini, mengajar mirip dengan menulis yang memerlukan pemahaman tentang konsepsi atau pokok permasalahan yang sedang dibahas.

Jika tidak memiliki konsepsi yang jelas dan utuh, maka baru beberapa menit saja sudah habis materi yang disampaikan dan tidak bisa menjawab pokok permasalahan. Bedanya lagi, mengajar berhadapan langsung dengan audiens yang bahkab walaupun mereka adalah berusia kanak-kanak, tetap memiliki potensi dan kesempatan langsung untuk mendebat dengan pandangan yang berbeda, bahkan bertentangan.

Kedua, jika berbasis teks, mengajar akan membuat seorang pengajar dituntut untuk sangat detil dan teliti. Dan jika yang diajarkan adalah kitab suci, maka pengajar akan memiliki pemahaman dengan fundamen yang sangat kokoh, sehingga tidak mudah digoyahkan oleh wacana-wacana yang kelihatannya menarik, padahal tidak memiliki akar yang menghunjam kuat.

Mengajarkan al-Qur’an dan hadits khususnya, karena teks asli keduanya menggunakan bahasa Arab, maka mau tak mau harus membaca dan memaknainya secara detil. Berbeda sekali dengan mengajarkan sekedar wacana yang bisa memicu perdebatan berkepanjangan tanpa ujung. Misalnya wacana tentang pernikahan sesama jenis. Jika tanpa basis teks kitab suci, alias hanya menggunakan akal semata, maka hasilnya adalah dua kutub wacana, yaitu: membolehkan dan melarang. Keduanya, bisa timbul tenggelam sebagai kebenaran yang dianut tergantung banyak sedikitnya pendukung.

Namun, dengan basis kitab suci, kebenarannya hanya satu, yaitu melarangnya. Al-Qur’an menegaskannya di antaranya dengan mengisahkan kaum Nabi Luth yang dibinasakan akibat perilaku seks sesama jenis.

Ketiga, melatih retorika yang menarik. Apalagi jika yang diajar adalah beragam kalangan. Orang yang memiliki kebiasaan mengajar akan memiliki kesempatan untuk mengidentifikasi mana materi-materi selingan yang disukai oleh audiens, sehingga bisa menjadikannya sebagai bahan awal yang menarik. Jika audiens sudah terpaut, maka materi inti bisa dimasukkan, sehingga pesan yang disampaikan akan lebih mengena.

Dan dengan memiliki audiens yang beragam, pengajar akan termotivasi untuk menemukan berbagai contoh yang menarik dan sesuai dengan kehidupan riil audiens. Kemampuan ini di samping juga merupakan bakat, sesungguhnya juga memerlukan latihan dalam waktu yang tidak sebentar. Gabungan antara kapasitas intelektual yang nampak pada kemapanan konsepsi dan kemampuan menyampaikan dalam retorika yang menarik, akan menjadi sajian yang disukai oleh khalayak yang dalam era medsos saat ini bisa menjadi bahan viral.

Itulah sebab, ada pengajar yang walaupun sesungguhnya substansi bahan ajarnya sudah disampaikan oleh banyak yang lain, tetapi ia menjadi yang paling menarik. Sebab, kemampuan retoriknya memang sangat berbeda.

Keempat, menemukan pemahaman-pemahaman baru. Mengajar yang serius, membutuhkan persiapan dengan membaca banyak referensi, juga melakukan perenungan yang mendalam. Dalam perenungan itulah, bisa lahir gagasan yang baru sama sekali. Bahkan pemahaman baru itu bisa saja muncul begitu saja saat proses mengajar terjadi. Itulah sebab, di dunia pesantren tidak sedikit pengajar yang dianggap mendapatkan ilmu ladunni.

Namun, pemahaman ladunni ini biasanya didistorsi dengan ilmu pengetahuan yang didapatkan dengan sama sekali tidak melakukan usaha untuk belajar. Usaha belajar sudah dilakukan. Dan mereka yang memiliki kapasitas keilmuan hebat, pasti memiliki kesungguhan yang luar biasa dan juga telah melakukan usaha yang di atas rata-rata. Setelah mereka mengamalkan dan mengerjakan apa yang mereka ketahui itu, Allah memberikan kemudahan untuk mendapatkan pengetahuan seolah-olah tanpa belajar, karena ia datang sebagai ilham yang tiba-tiba.

Kelima, memacu untuk terus belajar. Sebab, ilmu pengetahuan mengalami perkembangan tiada henti. Jika proses untuk terus mencari berhenti, maka seorang pengajar akan kehilangan relevansi. Terlebih lagi di era disrupsi informasi. Setiap orang memiliki kesempatan untuk menggali ilmu semudah menggerakkan jemari. Sebab, buku-buku tidak lagi harus diambil di rak buku, apalagi jauh-jauh di perpustakaan. Semua tersedia dalam genggaman, bahkan dengan HP yang tidak perlu terlalu canggih dan mutakhir.

Maka beruntung sekali orang yang memiliki kesempatan mengajar. Siapa pun yang telah merasakan manfaat dan nikmat mengajar, dia akan melakukannya, bahkan jika pun untuk melakukannya ia harus “membayar”. Wallaahu a’lam bi al-shawaab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *