“Lihat, ada banyak bintang yang menampakkan diri malam ini.”
“Kau tau, Aku tidak bisa melihat mereka semua.”
Tangannya lalu menarikku sambil berlari. Kuikuti arah langkah kakinya. Tadi, ia menunjuk banyak bintang yang katanya indah malam ini. Namun percuma saja. Sudah pasti aku tidak bisa melihat dengan jelas mereka semua. Mataku hanya mampu menatap bintang besar yang cahanya terlihat jelas. Kakiku berhenti melangkah mengikuti langkahnya yang tertahan. Sebuah menara. Ia mengajakku memasuki sebuah menara. Aku tidak tahu pasti isi dari menara ini. Namun, ketika membaca tulisan di depan pintu masuk tadi, aku menyadari sesuatu.
“Satu lantai lagi, Wortelina.”
Aku mengangguk. Melihat raut mukanya berbinar seolah ingin memberi tahu sesuatu.
“Ting tong.,” pintu lift terbuka.
“Mengapa mengajak kemari, Pilik?”
“Aku ingin engkau menemaniku menghitung bintang malam ini,” kami berhenti di depan sebuah teleskop besar.
“Kamu bisa melihat mereka sekarang, Wortelina.”
Malam itu, kami dengan asyiknya sibuk menghitung bintang. Mencari rasi bintang. Menghubung-hubungkan garis diantara mereka. Rasanya sudah lama sekali aku begitu sesemangat ini. Menghitung bintang tentunya adalah pekerjaan yang tidak akan pernah selesai. Sebab jumlah mereka yang begitu banyak. Namun bagiku, yang terpenting bukan selesai atau tidak aku menghitung bintang. Namun dengan siapa aku menghitungnya.
“Wortelina, lihatlah bintang diujung sana. Yang paling bersinar. Dikelilingi enam bintang lainnya.”
Baru saja tanganku hendak meraih teleskop. Berniat melihat bintang yang ingin ia tunjukkan. Tiba-tiba tangannya mengambil alih teleskop. Melarangku menyentuhnya.
“Biarkan aku, dengan mataku. Mengabadikan peristiwa ini untukmu. Biarkan mataku mewakili matamu melihat bintang itu.”
“Lalu, bagaimana aku bisa merasakan keindahannya?”
“Kau cukup melihat mataku. Semudah itu.”
“Mengapa suka menatap bintang?”
“Sebab masa depanku terlihat disana.”
“Bagaimana, bisa?”
“Kau tidak perlu tahu, Wortelina. Kau cukup mengetahui rencanaku untuk menggapainya.”
“Mengapa aku harus mengetahui rencanamu?”
“Sebab kau bagian dari yang harus kugapai.”