Di antara arti literal al-Qur’an adalah bacaan. Namun, bacaan ini bukanlah bacaan bacaan biasa. Di dalamnya terdapat berbagai keunikan yang tidak terdapat pada bacaan yang lain. Keindahan bahasanya tak tertandingi sampai 14 abad setelah diturunkannya. Dan tentu saja akan terjadi selamanya.

Bukan hanya rimanya yang membuat setiap pendengarnya, bahkan yang tidak mengerti artinya sekalipun, terpengaruh. Keteraturan ritmisnya benar-benar menghadirkan nuansa yang sangat menyentuh rasa. Itulah yang membuat al-Qur’an tak tergantikan dengan terjemahan dalam bahasa apa pun selain Arab. Terjemahan al-Qur’an tidak bisa disebut al-Qur’an. Begitu sederhananya.

Ditambah lagi dengan berbagai keunikan lain, di antaranya spektrum makna banyak kata di dalamnya yang kadang meluas, kadang menyempit. Itu yang membuat kajian tentang al-Qur’an tak pernah kehilangan daya tarik. Jika dituliskan dengan tinta sebanyak samudra yang dilipatgandakan pun, pelajaran dari firman yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. ini, tak akan pernah ada habisnya.

Lalu bagaimana cara umat Islam yang sebagian besarnya sekarang ini bukan orang bisa membaca dan memahami al-Qur’an? Berikut ini wawancara eksklusif baladena.id dengan Ustadz Dr. Mohammad Nasih, M.Si., al-Hafidh, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Furqon, Mlagen, Pamotan, Rembang, atau lebih dikenal dengan Planet NUFO, yang juga dosen ilmu politik FISIP UMJ, Jakarta:

Baladena.id: “Abah Nasih, kita tidak pernah menemukan ada buku terjemahan al-Qur’an, yang resmi ya, yang terpisah dengan teks aslinya yang berbahasa Arab. Yang saya baca, alasannya adalah terjemahan itu bukan al-Qur’an. Padahal kalau kitab-kitab suci yang lain, terjemahannya ya dianggap kitab suci itu. Kenapa bisa begitu ya?”

Abana: “Ini berkait sangat erat dengan i’jaz atau kemu’jizatan al-Qur’an dari aspek kebahasaan. Dan itu karena al-Qur’an, kalau menggunakan istilah yang pernah digunakan HB Jassin, berwajah puisi. Karena nuansa puitisnya memang jadi sarana untuk melemahkan dan mengalahkan para penyair Arab Jahili yang cerdas luar biasa saat itu. Saking cerdasnya mereka, sampai disebut majnun, kerasukan jin. Nah, ini masalah pertama dalam kajian kita kali ini. Sebab, majnun biasanya diartikan gila. Tidak tepat itu. Yang tepat adalah kerasukan jin. Khadam jin itulah yang dianggap membuat mereja jadi jinius. Nuansa puitisnya pasti akan tereduksi apabila diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Sedangkan kata qur’an itu sudah memiliki asosiasi tersendiri, di antaranya adalah mengandung keindahan itu. Seperti kalau dalam bahasa Indonesia, kata koran itu melahirkan asosiasi, yaitu: lembaran-lembaran tipis yang lebar, dengan kertas buram, dan ada gambar-gambarnya, bahkan seringkali ada iklannya. Kalau bentuknya kertas lux, ukuran tebal, dengan sampul, itu bukan koran, tetapi buku. Keduanya, walaupun sama-sama dibaca alias bacaan, tetapi namanya beda. Yang satu koran, yang satu buku. Ada yang lain lagi sebutannya, dengan kriteria yang berbeda; ada jurnal, ada majalah, dan lain-lain.”

Baca Juga  Membangun Mahasiswa Berkarakter dan Berspiritualitas

Baladena.id: “Bisa diberikan contoh konkret tentang ini, Bah?”

Abana: “Contohnya sangat banyak. Saya berikan dua atau tiga saja ya. Coba baca surat al-Nâs. Semua ayatnya berakhir dengan huruf sin. Al-‘Ashr, semuanya berakhir dengan huruf ra’. Makanya kalau baca ayat kedua surat al-‘Ashr, jangan dilanjutkan dengan illâ. Berhenti di khusr.Tetapi jangan berhenti dalam arti kemudian tidak dilanjutkan sama sekali. Sebab, ayat ketiga itu mengandung pengecualian yang dikatakan oleh ayat 2. Al-Fiil, semuanya berakhir lam. Al-Fatihah saja misalnya, rimanya în dan îm. Atau kalau ayat terakhirnya dianggap sebagai dua ayat, berarti ditambah dengan im-nya alayhim. Ini yang pertama. Anggap saja ini biasa saja, dalam arti tidak ada kesengajaan untuk membuat bunyi-bunyian di akhir yang berima. Perhatikan contoh yang kedua ini. Ini adalah bukti bahwa memang al-Qur’an ini didesain berima. Bandingkan saja antara al-Syu’arâ’: 48, al-Shâffât: 114, 120 dengan Thâhâ: 70. Yang satu “Mûsâ wa Hârûn” sedangkan satunya lagi “Hârûna wa Mûsâ”. Kenapa bisa begitu? Karena ayat-ayat di al-Syu’arâ’ dan al-Shâffât didominasi oleh rima în dan ûn. Akhir ayatnya begitu. Sedangkan ayat-ayat di surat Thâhâ didominasi oleh akhiran aa.”

Baladena.id: “Bisa diperjelas lagi, Bah?”

Abana: “Oh iya. Saya lupa. Ini harus ditunjukkan secara konkret. Kalau tidak hafal al-Qur’an, memang akan sulit mengikuti apa yang saya sampaikan ini. Sebab, baru bisa ditangkap pesannya kalau melibatkan beberapa ayat sebelum dan sesudahnya. Saya baca rumpun ayatnya saja biar lebih memudahkan. Kita mulai dari yang al-Syu’arâ’ ya:
فَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سَاجِدِينَ
46. Maka tersungkurlah ahli-ahli sihir sambil bersujud (kepada Allah),
قَالُوا آمَنَّا بِرَبِّ الْعَالَمِينَ
47. mereka berkata: “Kami beriman kepada Tuhan semesta alam,
رَبِّ مُوسَىٰ وَهَارُونَ
48. (yaitu) Tuhan Musa dan Harun”.
قَالَ آمَنْتُمْ لَهُ قَبْلَ أَنْ آذَنَ لَكُمْ ۖ إِنَّهُ لَكَبِيرُكُمُ الَّذِي عَلَّمَكُمُ السِّحْرَ فَلَسَوْفَ تَعْلَمُونَ ۚ لَأُقَطِّعَنَّ أَيْدِيَكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ مِنْ خِلَافٍ وَلَأُصَلِّبَنَّكُمْ أَجْمَعِينَ
49. Fir’aun berkata: “Apakah kamu sekalian beriman kepada Musa sebelum aku memberi izin kepadamu? Sesungguhnya dia benar-benar pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu maka kamu nanti pasti benar-benar akan mengetahui (akibat perbuatanmu); sesungguhnya aku akan memotong tanganmu dan kakimu dengan bersilangan dan aku akan menyalibmu semuanya”.
قَالُوا لَا ضَيْرَ ۖ إِنَّا إِلَىٰ رَبِّنَا مُنْقَلِبُونَ
50. Mereka berkata: “Tidak ada kemudharatan (bagi kami); sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami,
Perhatikan ayat 48 yang ada di tengah itu. Ayat-ayat sebelum dan sesudahnya berakhiran în dan ûn. Begitu juga yang di al-Shâffât. Silakan dicek sendiri. Dan perhatikan terjemahannya. Bentuknya seperti murni prosa. Tidak ada nuansa puitisnya. Hilang sudah nuansa puitis itu akibat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pasti juga kalau diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Sekarang kita bandingkan dengan yang di surat Thâhâ.
وَأَلْقِ مَا فِي يَمِينِكَ تَلْقَفْ مَا صَنَعُوا ۖ إِنَّمَا صَنَعُوا كَيْدُ سَاحِرٍ ۖ وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَىٰ
69. Dan lemparkanlah apa yang ada ditangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat. “Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang”.
فَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سُجَّدًا قَالُوا آمَنَّا بِرَبِّ هَارُونَ وَمُوسَىٰ
70. Lalu tukang-tukang sihir itu tersungkur dengan bersujud, seraya berkata: “Kami telah percaya kepada Tuhan Harun dan Musa”.
قَالَ آمَنْتُمْ لَهُ قَبْلَ أَنْ آذَنَ لَكُمْ ۖ إِنَّهُ لَكَبِيرُكُمُ الَّذِي عَلَّمَكُمُ السِّحْرَ ۖ فَلَأُقَطِّعَنَّ أَيْدِيَكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ مِنْ خِلَافٍ وَلَأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ وَلَتَعْلَمُنَّ أَيُّنَا أَشَدُّ عَذَابًا وَأَبْقَىٰ
71. Berkata Fir’aun: “Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal balik, dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya”.
Terlihat jelas ya bedanya. Itulah sebabnya, terjemahan al-Qur’an bukan al-Qur’an. Karena ada nuansa puitis yang hilang.”

Baca Juga  Guru yang Tertipu

Baladena.id: “Wah iya ya, jadi kelihatan sekali.”

Abana: “Nanti dulu, saya kasih satu lagi contoh. Biar jadi tiga. Perhatikan QS. Yusuf: 103, bandingkan dengan ujung ayat al-Baqarah: 74. Kita awali dengan Yusuf: 102 ya, agar bisa melihat rimanya:
ذَٰلِكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهِ إِلَيْكَ ۖ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ أَجْمَعُوا أَمْرَهُمْ وَهُمْ يَمْكُرُونَ
102. Demikian itu (adalah) diantara berita-berita yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); padahal kamu tidak berada pada sisi mereka, ketika mereka memutuskan rencananya (untuk memasukkan Yusuf ke dalam sumur) dan mereka sedang mengatur tipu daya.
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
103. Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman — walaupun kamu sangat menginginkannya.
وَمَا تَسْأَلُهُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۚ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ
104. Dan kamu sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka (terhadap seruanmu ini), itu tidak lain hanyalah pengajaran bagi semesta alam.
Kita bandingkan ayat 103 ini dengan ujung al-Baqarah: 74.
وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
74. …. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
Kalau mau menggunakan pola yang sama dengan Yusuf: 103, mestinya ayatnya:
وَمَا اللَّهُ عَمَّا تَعْمَلُونَ بِغَافِلٍ
Tapi nanti ujungnya akan tidak landai, tidak indah. Sebab, ujung ayat di al-Baqarah yang isinya ratusan ayat itu didominasi oleh ûn dan în. Kalimat ini di dalam al-Qur’an diulang sebanyak 6 kali, ditambah dengan yang awalnya wa maa rabbuka, bukan wa maa Allahu, sebanyak 3 kali, maka jadi 9 kali. Silakan cek al-Baqarah: 74, 85, 140, 144, 149, Ali Imran: 99, dan yang 3 lagi di al-An’am: 132, Hud: 123, dan al-Naml: 93.”

Baca Juga  Negara Kemakmuran

Baladena.id: “Sepertinya cukup dulu ini, Bah. Sudah terlalu panjang ini.”

Abana: “Baik. Nanti kita lanjutkan lagi. Sebab, ini belum selesai. Masih panjang ini urusannya.” (AH)

Redaksi Baladena
Jalan Baru Membangun Bangsa Indonesia

KADERISASI ALA RASULULLAH

Previous article

Perempuan dan Peran Profesional

Next article

You may also like

Comments

Ruang Diskusi