Harapan pada Sebuah Pertemuan

Pertemuan adalah dambaan semua orang ketika kerinduan telah berhasil menguasai jiwa. Obat mujarab dari sakit yang diderita akibat dahsyatnya kerinduan yang menusuk sukma. Rindu yang mendalam tak hanya terjadi karena tak pernah ada pertemuan sebab bentangan jarak yang berhasil membelenggu raga. Akan tetapi, pertemuan tanpa sapa dan dinginnya sikap yang tak kembali seperti sedia kala itulah kerinduan yang sesungguhnya.

Tahukah? Ribuan rasa terus berkecamuk membentuk pedang besi yang tajam dan mencabik jiwa, tatkala bentangan jarak berhasil kita buat dengan sengaja. Luka, itulah kiranya keadaan hatiku kala itu. Diam seribu bahasa kala mata saling menatap. Raut muka dengan jutaan kebingungan yang sama-sama menyimpan beragam tanda tanya begitu terlihat jelas. Sinar rembulan kala itu tak seterang ketika purnama.

Semua itu tak lepas dari tujuan awal rembulan yang ingin menjadikan mentari untuk terus bercahaya tanpa harus bergantung pada yang lain. Sadar akan tugas dan tanggug jawabnya untuk terus bercahaya meski penduduk bumi sering menyalahkannya, terus memberikan cahaya terbaiknya meski seringkali tak dihargai. Aku selalu menginginkan hal itu, terlebih ketika hujan telah dianggap istimewa karena telah berhasil memberikan keteduhan dan kenyamanan bagi insan yang mampu merasakannya.

Tahukah engkau? Ketika jiwamu dipenuhi kerinduan mendalam pada pemberi energi pagi, disitulah jiwaku juga merasakan hal yang sama pada pelukis pagi dan malam. Namun, sekeras tenaga aku ingin menepisnya. Jikalau aku tak menepisnya, aku takut ketika imajinasiku tentang mentari yang yang tak mau memberikan cahayanya pada bumi dan rembulan akan benar-benar terjadi.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Segeralah bangkit wahai mentariku. Aku tak ingin kau terus berada lorong kegelapan yang nyata. Cahayamu sangat ditunggu oleh alam semesta. Jadilah tinggi namun tetap menyejukkan hati. Jadilah kuat meski pisau masalah terus menyayat. Jadilah berani meski badai masalah datang silih berganti.

Dari kerinduan yang berhasil kau rasakan ada pesan tersirat yang sebenarnya ingin disampaikan. Pertemuan itu tidaklah mudah terjadi. Ada perjuangan yang mesti ditempuh. Bersabar menahan kerinduan dan bermuhasabah atas segala perbuatan yang telah dilakukan. Tidak hanya berhenti sampai situ, harapan jiwa yang sedari dulu belum berubah ialah  ingin memperbaiki apa yang perlu diperbaiki. Atau bahkan meninggalkan keburukan yang sebenarnya telah menjadi sebuah kebiasaan. Meski bulan tidak menafikkan bahwa dirinya juga masih berkutat pada hal tersebut akan tetapi, itulah harapannya pada mentari.

Sebenarnya bulan bukan pencerah tapi, mentarilah yang sebenarnya punya potensi besar untuk kembali membuat cahaya bersinar lebih terang dan semakin terang. Termasuk membuat sinar rembulan selalu seperti purnama. Kemudian mampu memaknai hakikat terdalam dari cerita dikala hujan hingga energi pagi yang selalu ingin dipancarkan bulan meski ia hanya bisa terlihat pada malam hari.

Perihal melupakan, sebenarnya aku tak berharap itu terjadi. Hanya saja aku tak mau rasa yang seharusnya membuatmu semakin kuat perlahan melenakanmu bahkan menghilangkan jatidiri dan potensi besar dalam dirimu. Seperti kata yang pernah kita ucapkan dan menjadi motivasi diri bahwa kita akan sama-sama menjadi suporter perjuangan. Penyemangat kala lelah mulai menyapa, penghibur kala sedih bertamu dan penguat kala jiwa mulai lemah diterpa masalah. Itulah kiranya kontrak mentari dan bulan dalam goresan tinta di atas kertas suci bermatrai kepercayaan yang tertanam di dalam hati sanubari.

Jikalau rindu membuat hidupmu hampa maka, itulah rasa yang juga sama kurasakan. Namun, sekuat tenaga aku berhasil menepisnya. Lengkap dengan segala konsekuensi yang harus aku tanggung. Ibarat kapal pesiar yang terus berlayar di samudra luas, dan pada suatu saat akan kembali ketika visi pelayarannya sudah usai serta membawa hasil yang telah ia dapatkan. Begitulah kiranya alasan dari bentangan jarak yang kian hari terus terasa jauh meski raga tak lagi bersekat.

Masih ingatkah kau? Ketika bentangan jarak pernah memisahkan dua insan yang baru menyadari akan arti sebuah kehadiran? Di situlah awal aku merasakan kerinduan yang begitu mendalam. Hingga pada akhirnya kerinduan tersebut dapat terpecahkah ketika sebuah pertemuan terjadi. Laksana pertemuan Nabi Adam dan Ibunda Hawa di bukit kasih sayang (Jabal Rahmah). Lambaian tangan dan wajah sederhanamu lengkap dengan lukisan bulan sabit yang terlukis di bibir membuatku semakin yakin tentang sebuah hal kala bertemu. Ya, kau ternyata juga meyimpan kerinduan itu.

Untukmu yang tengah di dera rindu, aku ingin menyampaikan sesuatu. Tatkala wajahku tak nampak di depanmu maka, yakinkanlah hatimu bahwa aku ingin mengajarkan sesuatu. Tentang sebuah proses untuk menikmati masa itu, hingga temu dapat mengobati rindumu. Meski aliran sapa tak sederas aliran air di kala hujan menyapa dan lebar senyum tak seluas samudra namun, doaku untukmu tak pernah terhenti layaknya hembusan nafas yang terus behembus hingga nyawa berpamitan dengan raga.

Segeralah bangkit wahai mentariku. Aku tak ingin kau terus berada lorong kegelapan yang nyata. Cahayamu sangat ditunggu oleh alam semesta. Jadilah tinggi namun tetap menyejukkan hati. Jadilah kuat meski pisau masalah terus menyayat. Jadilah berani meski badai masalah datang silih berganti.

Harapku masih sama, sebuah pertemuan dengan membawa sejuta kerinduan yang telah tersimpan lama dan akan tercurahkan pada saat yang tepat. Lengkap dengan harapan terbesar  dalam cerita kekuatan cinta yang masih tertanam serta segala target yang sudah kita selesaikan. Maka dari itu, bersabarlah. Percayakan semua pada Sang Pemilik Rahasia bahwa pada saat yang tepat pelangi akan muncul setelah hujan berhasil menerpa jiwa yang sedang dirundung lara.

Apakah kau tahu? ini adalah bentuk kasih sayang yang nyata dariku.

 

Semarang, 7 Maret 2020

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *