“Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta.” (Muhammad Hatta)
Dari ungkapan tersebut, sudah sangat jelas rasa kegelisahan Hatta melihat kondisi persatuan bangsa ini yang kian lama kian memburuk. Indonesia dengan berbagai macam perbedaan yang ada, menjadi begitu mudah untuk dipecah belah. Hal ini terjadi karena pengetahuan tentang semangat persatuan semakin berkurang. Begitu pula dengan salah seorang pemuda desa asal Rembang, Mohammad Nasih, merasakan kegelisahan melihat bangsa ini yang mudah sekali terjerumus ke dalam lubang perpecahan, terkhususkan pada kondisi umat Islam Indonesia saat ini.
Fenomena-fenomena kondisi umat Islam sekarang ini ternyata sudah diprediksi oleh Ir. Soekarno, bahwa nanti akan ada perang justifikasi kafir antar golongan umat yang tergabung dalam dua ormas Islam besar di Indonesia, Nahdlatul Ulama’ (NU) dan Muhammadiyah. Umat Islam harusnya mengedepankan semangat api Islam, bukan malah mengedapankan abu Islam. Menurut Nurcholish Madjid, hal itu dapat terjadi karena adanya sifat absolutist fiqhiyyah (saya pasti benar dan yang lain salah).
Terkadang, jika hanya dilihat dari luar, mereka tampak harmonis dan seolah-olah tidak ada masalah sedikit pun, tetapi bukan jaminan sedang tidak terjadi sesuatu di dalamnya. Sering kali keharmonisan itu bersifat basa-basi belaka, ketika ada panggilan untuk perjuangan, mereka enggan bersatu dan lari saling menghindar. Sehingga sangat berdampak buruk pada umat. Tidak heran jika umat Islam semakin hari semakin tertinggal dalam berbagai macam bidang. Perumpamaan kondisi umat Islam yang seperti ini ibarat dua gajah yang saling bertengkar dan lingkungan sekitar yang terkena dampaknya.
Permasalahan tersebut hampir seluruhnya merata, di daerah pedesaan maupun daerah perkotaan. Secara umum, Mohammad Nasih berpendapat bahwa NU dan Muhammadiyah sangat sulit bersatu dikarenakan ada berbagai macam kepentingan yang mengatasnamakan organisasi. Padahal dalam konteks politik, sejarah telah mencatat bahwa pada masa lalu, NU dan Muhammadiyah pernah berafiliasi dalam satu partai politik Islam bernama Masyumi. Namun, karena ada beberapa faktor yang membuat umat Islam terpecah belah dan mengakibatkan umat Islam mengalami kekalahan di ranah perpolitikan. Perpecahan tersebut ditambah lagi dengan adanya sebagian oknum yang sengaja menggembor-gemborkan hal-hal yang bersifat sepele, remeh, dan tidak berimplikasi besar kepada umat.
Tentang qunut misalnya. Sejak dahulu hingga sekarang, perdebatan masayarakat tentang qunut tidak kunjung selesai dan alot. Doktor ilmu politik itu mengatakan bahwa hal-hal seperti itu tidak perlu diperdebatkan, karena akan menghabiskan waktu dengan sia-sia. Umat non Islam sudah sampai di bulan, umat Islam masih sibuk membahas sesuatu yang bersifat fiqhiyyah. Sudah saatnya umat Islam beralih pembahasan ke arah yang membangun sebuah peradaban. Sudah saatnya umat Islam mengejar ketinggalan dari umat non Islam dan berlomba-lomba dalam hal kebaikan (fastabiqu al-khairaat).
Menurut Gus Baha’, isu ini merupakan isu politik identitas. Orang yang qunut sering diidentikkan sebagai orang NU dan orang yang tidak qunut sering diidentikkan sebagai orang Muhammadiyah. Hal ini menjadi isu yang sangat menarik untuk diperbincangkan di tengah masyarakat. Seharusnya, orang yang qunut disebut sebagai pengikut mazhab Syafi’i atau Syafi’iyah dan orang yang tidak qunut disebut sebagai pengikut mazhab Hanafi atau Hanafiyah. Fenomena ini terjadi karena banyak dari masyarakat yang telah tercabut dari tradisi keilmuan, sehingga menjadi “salah kaprah”.
Karena realitas itu, Nasih dengan latar belakang keluarganya yang berbasis NU dan setengah perjuangannya berada di Muhammadiyah, mencoba mendamaikan warga dengan latar belakang dua organisasi tersebut, dengan cara memberikan perspektif tentang bagaimana umat Islam pada waktu dulu mampu mencapai zaman keemasan. Salah satu kunci keberhasilan umat Islam adalah bersatu dan saling bersinergi. Perspektif itu Nasih sampaikan lewat forum-forum maupun tulisan di bebagai media cetak dan online. Dalam hal ini, Nasih biasa menyebut kegiatan ini dengan istilah “ngaji peradaban”.
Nasih beranggapan bahwa apa yang dia lakukan hasilnya kurang maksimal. Dia pun melakukan inisiatif lain dengan mendirikan sebuah lembaga perkaderan berbasis pesantren, yang diberi nama Monash Institute di daerah Semarang. Dia lah yang menjadi guru utama di lembaga itu. Santrinya adalah mahasiswa dan mahasiswi yang sedang menempuh pendidikan S1 di UIN Walisongo, Universitas Sultan Agung, Universitas Diponegoro, Universitas Wahid Hasyim dan Universitas Semarang. Selain itu, dia juga mewajibkan santri-santrinya untuk menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam. Karena berdasarkan pengalaman dan penilaiannya, kader-kader HMI terdiri dari berbagai macam latar belakang ormas Islam, NU dan Muhammadiyah termasuk di dalamnya, dan mereka bisa duduk bersama untuk saling berdiskusi bersama.
Nasih berharap santri-santrinya yang akan menjembatani dua organisasi gajah tersebut dengan konteks yang lebih besar. Dengan jalur kontribusi yang berbeda, NU berkonsentrasi pada pendidikan klasik berbentuk pesantren, sedangkan Muhammadiyah berkonsentrasi pada pendidikan modern berbentuk sekolah dan perguruan tinggi serta rumah sakit. NU adalah pemegang tradisi, sedangkan Muhammadiyyah adalah perancang sistem pendidikan atau pengelolaan manajemen modern. Kelebihan dua organisasi tersebut bisa disinergikan, sehingga dapat dipastikan akan terbentuk peradaban yang sangat canggih.
Selain itu, Nasih berpendapat bahwa yang harus didahulukan oleh umat Islam adalah membangun persaudaraan antar sesama elemen umat Islam (ukhwah islamiyah). Baru setelah itu, umat Islam membangun toleransi dengan umat non Islam dan rasa cinta tanah air (hubb al-wathan). Hal ini sesuai dengan hadits nabi yang berkaitan tentang ukhwah islamiyah, “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sehingga mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.” (H.R. al-Bukhâri, 1: 12)
Seorang muslim adalah saudara sesama muslim, jangan men-dhaliminya dan jangan membiarkannya (menderita), barangsiapa yang membantu saudaranya, maka Allah akan membantu kebutuhannya, dan barangsiapa yang menghilangkan kesulitan seorang muslim, maka Allah akan menghilangkan kesulitan dia di hari kiamat, dan barang-siapa yang menutupi (‘aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi ‘aibnya di hari kiamat.” (H.R. al-Bukhâri, 2: 66) Wallahu a’lamu bi al-shawab.
Oleh: Yusuf Abdullah