Permasalahan membenahi kesejahteraan rakyat seringkali dihadapkan pada problematika pemikiran ekonomistik para pembuat kebijakan. Efek yang ditimbulkan dari pemikiran ekonomisktik adalah kebijakan publik yang dihasilkan oleh para Policy Maker tanpa sadar cenderung berpihak kepada kepentingan modal.
Gerakan sosial yang berorientasi pada perlawanan terhadap hegemoni neoliberalisme dilakukan dengan berbagai langkah dan strategi. salah satunya adalah strategi perlawanan dengan metode memasuki ruang ruang politik, yaitu mempengaruhi proses kebijakan publik. Karena dalam proses kebijakan publik tersebutlah menjadi arena pertarungan antara mereka yang mendukung kapitalisme liberal dengan mereka yang selalu menginginkan keadialan dan kedaulatan rakyat.
Tuntuan kedaulatan yang dilakukan oleh gerakan sosial dikarenakan semakin banyaknya sumber-sumber produksi yang dikuasai TNCs. Fenomena pengakuisisian sumber produksi Mempengaruhi banyak kebijakan neoliberalisme yang diterapkan Negara-Negara yang terbagung dalam WTO, salah satunya adalah Indonesia.
Banyaknya kebijakan neoliberalisme yang diterapkan di Indonesia, juga tidak dapat dilepaskan dari banyaknya aktor yang berada di belakang neoliberalisme ataupun globalisasi tersebut. Seperti, TNCs, IFIs (International Financial Institutions) yang mempunyai misi utama dalam memberikan pinjaman bagi Negara miskin termaksud Indonesia. Dari sekian banyak IFIs yang terkenal, yang memberikan pijaman kepada Indonesia adalah World Bank dan IMF. Meskipun, Peminjaman modal untuk indonesia didasari atas Indonesia dengan sumber kekayaan alam yang melimpah menjadi incaran untuk dieksploitasi.
Masuknya Pinjaman ke Indonesia seakan-akan menjadi tanda Berakhirnya kolonialisme bangsa-bangsa yang terjajah. Selanjutnya, memasuki era postkolonialisme. dimana di era postkolonialisme dominasi dan penjajahan tidak lagi dilakukan secara langsung, melainkan melalui penjajahan teori dan ideologi.
Praktek penjajahan teori dan idiologi di indonesia dapat dilihat dalam Pelaksanaan Developmentalisme semasa Orde Baru. Pelaksanaa kebijakan Developmentalisme di era Orde Baru di terjemahkan dengan tahapan-tahapan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Kepatuhan Negara kepada perintah lembaga-lembaga Internasional seperti IMF, World Bank, WTO, TNC/MNC, Menunjukkan bahwa bangsa ini masih terus dipaksa berpikir dan bertindak diluar kehendaknya (dihegemoni).
Kondisi seperti ini didasarkan atas hubungan antara masyarakat dan Negara dengan internasionalisasi modal yang tidak seimbang bahkan eksploitatif. Kondisi tersebut merupakan hakekat dari penindasan-penjajahan (imperialisme), yang ada semenjak kolonialisme. Pada era Kolonialisme maupun era postkolonialisme memberikan Perubahan paradigma politik agraria3. Perubahan politk agraria dalam
Pelaksanaan Developmentalisme semasa Orde Baru dapat dilihat dari beberapa kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah. antara lain, melalui paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di tahun 1967 dan 1968. Orde Baru mengeluarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan Undang-undang Penamaman Modal Dalam Negeri (UU PMDN).
Tindakan yang dilakukan oleh Negara bertujuan untuk membuka kran investasi di Indonesia. Termasuk berinvestasi pada pengelolaan sumber daya Indonesia. Pilihan paradigma pembangunan selama pemerintahan Orde Baru, karena atas dukungan corak hukum yang pembuatan dan pembentukannya sangat sangat legal formal dan positivistik (Mustain,2007;71). Dengan sejumlah ketentuan-ketentuan hukum yang ada, paradigma pembangunan yang lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi dengan ditopang oleh investasi modal asing digalakkan secara besar-besaran melalui industrialisasi.
Kebijakan industrialisasi yang dilakukan oleh orde baru secara tidak langsung menimbulkan konsekuensi yang ditanggung oleh rakyat. Kensekuensi dari kebijkan dapat dilihat semakin banyaknya kebutuhan lahan atau tanah (yang umumnya dikuasai rakyat tanpa tanda kepemilikan sesuai kehendak hukum Negara) cukup besar sebagai tempat untuk investasi. Untuk itu Negara perlu memberikan jaminan hukum guna memfasilitasi kebutuhan lahan tersebut, yang pada akhirnya memunculkan konflik pertanahan antara rakyat berhadap-hadapan dengan Negara yang ditopang oleh perangkatnya, yaitu birokrasi dan keamanan (Mustain,2007;72).
Praktek penjahan ideologi Orde baru dilawan oleh rakyat dengan gerakan sosial yang pada puncaknya adalah fenomena reformasi. Keberhasilan mengenahi gerakan sipil membuat Studi-studi tentang gerakan masyarakat sipil di Indonesia, khususnya mengenai gerakan reclaiming oleh masyarakat sipil atas tanah yang dikuasai negara dan/atau swasta yang didukung negara menjadi bervariasi.
Sejauh ini, studi-studi tentang persoalan gerakan masyarakat sipil hanya dilakukan oleh Kartodirdjo, Onghokham, Kuntowijoyo dan belakangan ini Siahaan beserta Mustain yang mengkaji mengenahi gerakan masyarakat sipil menemukan variasi baru dalam gerakan sosial dalam konteks negar indonesia. Mereka telah berhasil mengukuh kan pandangan versi Indonesia tentang fenomena historis yang penting tentang gerakan sosial rakyat miskin dan marjinal di pedesaan.
Namun, harus diakui, saat ini sangat sedikit para akademisi yang memperhatikan, menganalisis dan melakukan penelitian ilmiah tentang gerakan protes masyarakat sipil secara serius di masa Orde Baru, apalagi masa transisional, reformasi. Sejarah mencatat, berbagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan negara acapkali dilakukan rakyat, baik bersifat secara individual maupun kolektif, terselubung, sekadar aksi unjuk rasa hingga aksi pemberontakan.
Hampir semua aksi perlawanan rakyat yang berkaitan dengan persoalan agraria tidak lepas dari corak pemerintahan yang tengah berkuasa. Artinya, berbagai bentuk aksi gerakan perlawanan dan bahkan pembrontakan diakibatkan oleh kebijakan negara yang seringkali menjadikan tanah sebagai bagian dari perpolitikan, alat kepentingan penguasa.
Meskipun secara normatif pembangunan daerah yang cenderung ke arah industrialisasi menjadi tulang punggung perekonomian, nyatanya ketidakpuasan menyangkut persoalan agraria tetap saja tidak terhindarkan. Menurut catatan, semenjak tahun 1968 hingga berakhirnya kekuasaan Orde Baru, data yang terekam dan terpublikasikan menunjukkan setidaknya terdapat 60 kasus perlawanan sengketa tanah berskala besar.
Situasi di lapangan sudah tentu lebih banyak, apalagi Jumlah tersebut tidak termasuk upaya penyerobotan lahan yang diperkirakan ribuan jumlahnya. Serangkaian konflik agrarian tersebut berlangsung antara rakyat dan dengan kekuatan modal yang di legistimasi oleh negara dalam wujud BUMN.