Doktor “Serabutan”

Baladena.ID/Istimewa

Berbicara mengenai gelar akademik, doktor adalah gelar tertinggi dalam strata pendidikan di Indonesia. Tidak ada gelar yang lebih tinggi lagi setelah itu. Seorang yang menyandang gelar tersebut, tentu saja diidentikan dengan kapasitas keilmuan yang mapan dalam bidang akademik tertentu. Anggapan itu wajar, meski tidak selalu benar. Tidak berhenti sampai di situ, seorang doktor hampir-hampir selalu dikaitkan dengan sebuah profesi bernama “dosen”. Anggapan ini juga tidak salah, tetapi tidak selalu tepat.

Faktanya, ada doktor yang mengambil bidang lain di luar bidang akademik untuk berperan atau mengaktualisasikan dirinya. Lalu bagaimana dengan doktor mengambil peran di banyak bidang dan survive di sana? Doktor semacam ini layak diberi sebutan “doktor serabutan”. Serabutan dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai “silang-menyilang tidak menentu (tentang arus lalu lintas); cenderung melakukan apa saja (tentang pekerjaan, peran, dan sebagainya)”.

Julukan doktor serabutan itu layak disematkan kepada Dr. Mohammad Nasih, M.Si, seorang doktor ilmu politik dari Universitas Indonesia. Seorang yang melakukan apa saja untuk perbaikan generasi bangsa. Tidak hanya mampu mengkonseptualisasikan ide dan gagasan dengan baik, tetapi Nasih juga mampu mengerjakan banyak hal-hal teknis di luar bidang keilmuan akademiknya. Mungkin yang paling sering dilihat orang adalah Nasih mengisi talkshow di berbagai stasiun televisi, baik diundang dengan kapasitasnya sebagai pengamat politik maupun sebagai ahli agama, sehingga sama dengan doktor-doktor atau ahli lainnya yang keluar masuk TV, tetapi yang tidak diketahui, Nasih memiliki segudang aktivitas di luar semua itu.

Memang tidak sedikit, kita menemukan doktor lulusan universitas ternama bahkan luar negeri yang mengabdikan dirinya pada masyarakat dan memang itu tugas yang melekat pada gelar yang disandangnya. Ada sebagian yang bertani, ada pula yang mengabdikan menjadi pengajar sekolah di pedalaman hutan. Respon masyrakat cenderung positif, meski ada beberapa yang menyayangkan. Betapa tidak, untuk menjadi seorang doktor diperlukan waktu dan biaya serta pikiran yang luar biasa terkuras.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Abah Nasih, begitu saya memanggilnya, adalah satu dari sekian doktor yang menjalani rutinitas sebagai doktor serabutan. Uniknya, selain mengajar sebagai seorang dosen di beberapa universitas di Jakarta, Abah juga memiliki rutinitas yang sering diidentikan dengan pekerjaan orang kampung, menggembala, bertani, dan berternak, misalnya. Pekerjaan itu ia lakukan karena pilihan, bukan karena keterpaksaan keadaan. Itulah yang menjadikannya memiliki nilai plus atas potensi yang ia miliki. Abah sama sekali tidak malu mengerjakan hal-hal teknis, yang dianggap itu kerjaan “panitia” dalam sebuah acara organisasi.

Keseharian Abah Nasih adalah mengajar. Tiada hari tanpa mengajar. Monash Institute adalah rumah yang Abah bangun sebagai tempat kegiatan belajar-mengajar dan menanamkan ideologi, gagasan, atau ide kepada santri-santrinya. Sebagai bagian dari tanggung jawab, Abah menyayangi santri-santrinya sebagaimana ia menyayangi anak biologisnya sendiri. Itulah mengapa ia menyebut santri-santrinya sebagai anak ideologisnya. Artinya, Abah memiliki tanggung jawab sebagai seorang Ayah tidak membeda-bedakan dalam hal pengajaran. Ia memiliki ambisi membuat cerdas anak biologis dan ideologisnya tanpa pandang bulu.

Selain mengajar di Monash Institute, Abah juga mengajar di program pascasarjana Univeristas Indonesia (UI), Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), dan juga di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan Perbankan (Stebank). Salah satu motivasi Abah mengajar adalah Abah sering mendapatkan sesuatu hal yang baru ketika mengajar. Sesuatu yang baru tersebut beberapa didapatkan dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ketika kajian atau mengajar. Dengan mengajar di banyak tempat seperti itu, tidak lantas membuat Abah enggan menerima panggilan untuk berceramah di beberapa tempat.

Momong dalam Mengajar

Kebanyakan orang menganggap mengajar sambil momong anak itu mengganggu proses belajar mengajar. Apalagi anak yang usianya masih sangat belia, tidak menutup kemungkinan akan mengacaukan jalannya pembelajaran atau kaijan, sebut saja ketika mereka bertengkar, menangis, dan bergurau ketika bermain-main. Abah Nasih, yang harus momong empat (4) anaknya, tidak menghiraukan kekhawatiran-kekhawatiran itu. Sebab, konsekuensi ingin menjadikan anak yang terdidik sejak dini perlu treatmen khsusus yang berbeda dari kebanyakan orang. Jika kebanyakan orang enggan membangunkan anak untuk bangun subuh, Nasih justru membangunkannya lalu membawanya ke tempat shalat dan ikut ngaji bersama.

Bagi Abah Nasih, meskipun anak-anak sedang bermain saat proses belajar-mengajar, sebenarnya alam bawah sadar mereka sedang bekerja. Secara tidak langsung mereka merekam apa yang dikatakan saat kajian berlangsung. Ia mencontoh Nabi Muhammad Saw. yang tidak pernah merasa terbebani membawa cucu-cucunya ketika dalam majelis ataupun masjid, bahkan tidak pernah memarahi atau jengkel saat cucu-cucunya itu bermain di dalam majelis. Namun ada kalanya Abah merasa jengkel juga dan itu adalah hal yang wajar. Hanya saja Abah tidak pernah menghentikan kegiatan mengajar sambil momong anak itu dan di situlah terkadang Abah memberikan pelajaran kepada putri-putrinya.

Pak Kiai Doktor Menyopiri Santri-santrinya

Hal unik dan tidak umum yang dilakukan oleh Abah Nasih adalah menyupiri santri-santrinya. Di mana-mana, santri itu yang menjadi supir gurunya bukan guru yang menyupiri santri-santrinya. Hal itu dilakukan bukan semata-mata karena santrinya tidak bisa menyupir, namun Abah ingin mengajarkan hubungan antara santri dan Kiai haruslah biasa saja. Abah ingin menghapuskan tradisi feodal yang mendarah daging di kehidupan pesantren dengan kehidupan yang egaliter tetapi tetap dengan kontrol dan batas tertentu.

Abah juga tidak pernah menolak ketika santrinya mengajak untuk simaan atau melakukan sesuatu bermanfaat lainnya. Seringkali kegiatan simaan dengan santrinya dilakukan di mobil dalam perjalanan menuju tempat-tempat yang akan dikunjungi untuk aktivitas tertentu. Hal itu dilakukan untuk mengefektifkan waktu, yaitu dengan melakukan dua hal dalam satu waktu sekaligus. Terkadang, ia juga menanyakan kabar personal tiap santri juga berdiskusi tentang visi untuk masa depan. Ia mengajarkan nilai untuk tidak membuang-buang waktu, meskipun itu dalam sebuah perjalanan.

Sampai di Rembang, seringkali Abah tidak langsung istirahat. Ia pergi ke sana kemari tanpa rasa lelah. Kadang ia ke sawah, kemudian ke ladang, lalu ke tempat-tempat lain, termasuk ke kandang sapi. Ketika sampai di Rembang salah satu yang wajib dikunjungi Planet NUFO, rumah bagi anak-anak SMP hingga SMA dan laboratorium perkaderan untuk mewujudkan sebuah peradaban baru yang berkemajuan.

Doktor Penggembala

“Jika ingin menjadi pemimpin yang bijak, maka menggembalalah kambing, contohlah para Nabi” begitulah kalimat yang sering Abah Nasih katakan kepada santri-santrinya. Muatan ideologi yang ingin disampaikan Abah adalah mengenai kepemimpinan profetik, yakni kepemimpinan para Nabi. Semua Nabi menggembala, berarti semua Nabi belajar kepemimpinan dari menggembala. Gembalaan ibarat rakyat yang harus diarahkan kepada ladang yang tumbuh rumput hijau nan subur.

Sejak kecil, Abah Nasih sudah akrab dengan kambing. Bahkan ketika SD, ia memiliki 10 ekor kambing yang ia pelihara sendiri. Biasanya, sebelum berangkat sekolah Nasih muda mengikatkan dombanya dengan tali di sebuah ladang dan memberinya minum ketika ia pulang dari sekolah. Sebab itulah ia mengenal betul dunia gembalaan. Sekarang, ia pun masih memiliki peternakan sapi dan menjadi penjual sapi. Ia juga pernah mengadakan pelatihan cara ngangon seribu sapi.

Di balik belajar kepemimpinan, Abah juga ingin mandiri secara finansial, bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga sambil memikirkan orang lain. Ia mengajak orang-orang di desanya dan santrinya untuk mengurus sapi-sapi itu. Ada banyak yang bisa disinergikan dari semua itu. Salah satunya, kotoran hasil peternakan itu dijadikan sebagai pupuk untuk pertanian yang juga Abah kembangkan.

Doktor Bertani

Tidak umum bagi seorang doktor ilmu politik melakukan rutinitas sawahan layaknya para petani di desa. Ia rela berpanas-panasan di tengah sawah untuk membersamai para petani. Ia juga sering sekali menanam secara langsung tumbuhan dan sayuran di ladang. Ia berusaha meminimalisir makanan yang dibeli dari luar yang tidak diketahui asal muasal atau cara menanam sayuran tersebut.

Telo, makanan penuh karbohidrat yang bisa dijadikan sebagai pengganti nasi itu Abah tanam sebanyak mungkin untuk makan santri-santrinya. Ia memerintahkan kepada santri santrinya untuk makan makanan sehat hasil tanam sendiri. Karena lebih diketahui asal usul dan cara menanamnya. Sehingga tidak takut makanan itu terkontaminasi oleh zat berbahaya atau zat-zat kimia lainnya.

Mengerjakan Hal Sepele

Memang “doktor serabutan” patut disematkan kepada Abah Nasih. Bagaimana tidak, selain petani dan penggembala, abah juga memiliki penggilingan tebu. Tebu-tebu itu diambil dari ladang yang Abah tanam sendiri untuk selanjutnya di giling dan dijadikan gula. Penggilingan Tebu itu membutuhkan bahan bakar seperti kayu. Namun agar bahan bakar hemat dan tahan lama biasanya menggunakan ban bekas. Selain karena tahan lama, ban bekas juga tidak sulit di dapatkan dan gratis. Dengan begitu, bisa juga meringankan pencemaran sebab menumpuknya sampah ban bekas.

Ban bekas itu Abah dapatkan dari bengkel tetangganya di Semarang. Ia meminta anak-anaknya untuk mengambil ban bekas dari tetangganya untuk ditaruh di mobil untuk kemudian dibawa ke Rembang. Bukan tanpa sebab, Abah juga ingin mengajarkan kemandirian ekonomi pada anak-anaknya sejak dini. Sebab, satu ban yang dibawa dari tetangganya untuk ditaruh di mobil dihargai dua ribu. Selain itu, Abah juga mengajarkan matematika praktis kepada anak-anaknya sehingga mereka bisa diajak berpikir untuk menghitung jumlah ban dan jumlah hadiah yang diberikan.

Jiwa kreatif selalu tertanam dalam jiwa Abah Nasih yang kemudian mengalir pada anak-anak biologis maupun ideologisnya. Di Planet Nufo, ban bekas itu dijadikan sebagai hiasan taman dan pot-pot bunga yang indah. Kemampuan untuk melihat kesempatan itulah yang menjadikan seseorang bernilai. Sebab ia mampu melakukan hal-hal yang jarang dilakukan oleh orang lain. Tidak hanya ban bekas, Abah sering membawa kayu, bibit, bahkan tanah untuk dibawa ke Rembang atau sebaliknya. Padahal, ia bisa meminta santri-santrinya yang pasti juga dengan senang hati akan melakukannya, tetapi Abah tidak melakukannya.

Abah selalu berpesan kepada santri-santrinya untuk berpikir ideologis, berwawasan politis, bertindak taktis, dan mengerjakan yang teknis-teknis. Berpikir ideologis yang dimaksudkan adalah mampu mengkonseptualisasikan dan mengemukakan ide atau gagasan dan mengimplementasikan dalam ruang lingkup kehidupan nyata. Berwawasan politis mencakup segala hal yang bermuatan politis, seperti pemerintahan dan bahkan kultural keagamaan, agar tidak mudah ditipu oleh “mereka”. Bertindak secara taktis dalam menyikapi segala hal dan tidak malu atau gengsi untuk melakukan hal-hal teknis yang menjadi puncak dari konsep, yakni eksekusi. Wallahu alamu bi al-shawwab.

Oleh: Fauziyatus Syarifah, Disciple 2015 Monash Institute, Sekretaris Umum Kohati Korkom Walisongo 2018-2019

Editor: Anzor Azhiev

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *