Lika liku perjalanan Mohammad Nasih, doktor ilmu politik yang hafal al-Qur’an, dalam mencapai kesuksesan sekarang ini tidaklah semulus dan selurus jalan tol. Walaupun lahir di desa yang tidak terdeteksi dalam peta, tetapi itu tidak membuatnya pesimis. Nasih, panggilan akrab ayah empat anak ini, selalu mendasarkan segala yang dijalaninya dengan keyakinan bahwa Allah akan memberikan kekuatan untuk mengabulkanya, termasuk dalam mewujudkan mimpinya “menghabiskan sekolah” hingga mendapat gelar doktor.
Tentu saja pencapaian itu membuat kedua orang tuanya bangga. Meski ia sejak SMA telah ditinggal ayahnya menghadap Sang Khaliq, tetapi ia yakin bahwa bapaknya tetap bangga melihatnya dari alam kubur. Betapa tidak, Nasih diajarkan oleh ayahnya untuk melampaui apa yang dicapai oleh ayahnya, termasuk dalam pendidikan. Ayah Nasih yang bernama Muhammad Mudzakir adalah seorang sarjana yang sekaligus pernah menjabat sebagai kepala desa Mlagen, Pamotan, Rembang selama beberapa periode.
Dalam konteks pencapaian gelar pendidikan formal, Nasih muda didoktrin oleh ayahnya agar ia minimal harus lulus S2 (magister), sehingga ia dianggap berhasil. Kalau sama, maka ayahnya akan malu, karena merasa gagal. Logika ini digunakan untuk hal lain-lain dan diterapkan pula untuk anak-anak Nasih, baik anak biologis maupun ideologis. “Kalian harus melewati apa yang saya capai, itu baru saya berhasil,” kata Nasih berulang kali dalam setiap kajiannya bersama disciples di Monash Institute.
Ada kisah menarik bagaimana Mohammad Nasih mewujudkan impiannya menjadi doktor di universitas terbaik, Universitas Indonesia (UI). Sejak lulus sarjana dari jurusan Tafsir Hadits IAIN (sekarang UIN) Walisongo, Nasih tidak pernah lagi meminta biaya studi kepada orang tua. Selain ibunya yang single parent, Pak doktor berusaha membiayai perkuliahannya sendiri agar terlatih untuk berkerja keras dan tidak manja. Hal ini dilakukan dengan menulis di koran, yang pada saat itu adalah hal yang sangat prestisius, yang memberikan honor.
Selain itu, alasan ‘mandul’nya pesangon dari orang tua untuk membiayai perkuliahan Nasih adalah aktifnya sang doktor muda di organisasi ekstra kampus bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang pada saat itu Ibunya mendapat kabar bahwa organisasi itu dianggap menganut paham yang bertentangan dengan basic amaliah keagamaan Nahdlatul Ulama’ (NU), organisasi yang digeluti orang tuanya.
Namun demikian, hal itu tidak membuat calon doktor itu berhenti atau keluar dari orangnisasi tersebut, bahkan Pak Doktor semakin aktif dengan masuk di dalam struktural, mulai menjadi ketua umum Komisariat, ketua Korkom dan cabang, bahkan masuk dalam kepengurusan PB HMI. Sebab, ia merasa anggapan yang dituduhkan itu tidak berdasar alias hanya sentimen kepentingan semata. Meski terlibat konflik dengan ibunya, Nasih tidak kemudian memutus hubungan, ia tetap berusaha baik dengan orang tua satu-satunya itu.
HMI yang mengajarkan kebebesan berpikir (rasional) dan doktrin membela kaum tertindas, membuat Nasih kemudian tertarik dengan dunia politik. Ia melihat politik sebagai medan jihad yang laur biasa pengaruhnya, tetapi juga menantang. Hingga Nasih berkata: “Pahala jihad yang paling besar adalah berpolitik, (politisi yang benar). Dan ladang dosa terbesar adalah politik juga (politisi jahat). Ini disebabkan oleh pengaruh politik yang sangat signifikan dalam pembangunan suatu negara.
Karena demikian, Nasih yang tadinya adalah mahasiswa jurusan Tafsir dan Hadis berbelok arah mengambil ilmu politik, dari magister sampai doktor. Dua jejang pendidikan pascasarjannya itu ditempuh dan diselesaikan di Universitas Indonesia. Lalu, dari mana ia mendapat uang untuk membiayai semua itu? Apakah uang dari hasil menulis cukup?
Nasih harus meminjam dana terlebih dahulu untuk membayar SPP di awal semester kepada dosennya, Prof. Dr Sri Suhandjati Sukri yang sekarang menjadi mertuanya. Uang pinjaman itu lalu dikembalikan pada deadline tertentu dengan tetap mengandalkan dari hasil menulis dan menjadi tenaga ahli di DPR. Tentu saja Nasih berkerja lebih keras untuk bisa mengembalikan uang pinjaman tersebut. Dengan tekad yang kuat dan usaha yang tidak pantang menyerah, Nasih berhasil meraih gelar doktor ilmu politik pada 2010 di usia 30 tahun.
Lalu bagaimana setelah Nasih menjadi doktor? Apa tanggung jawabnya sebagai doktor ilmu politik? Apa yang dilakukannya? Seiring berjalannya waktu, dengan melihat kondisi perpolitikan di Indonesia, serta pengalaman langsung di arena jihad terbesar yang semakin hari semakin tidak karuan itu, membuat Doktor Muda itu memutar otak. Hingga akhirnya, ia berinisiatif untuk membuat gerakan baru, membina kaum muda belia. Medan jihad itu ternyata di dalamnya banyak sekali orang-orang yang jahat bercokol kuat di jantung kehidupan sebuah bangsa, sehingga perlu revolusi dari dalam.
Ironi memang, jika kekuasaan tertinggi, sopir dari jalannya arah suatu negara dikuasai oleh orang-orang yang secara mayoritas, mabuk kepada dunia. Hal demikian membuatnya sadar, bahwa harus ada jalan bagi orang-orang yang ‘berakhlak’ baik dapat masuk ke dalam panggung perpolitikan. Namun, tidak bisa dilakukan sekarang. Maka perbaikan itu terpaksa dilakukan dari pinggir. Adalah dengan cara mendirikan lembaga perkaderan instensif dan wadah pemberdayaan kaum muda, Nohammad Nasih memulai membuat jalan. Rumah perkaderan, sebagai kawah candradimuka dan tempat penempaan para pemuda, diharapkan juga sebagai tempat pemuda Indonesia melek terhadap politik.
Doktor muda ini mulai merekrut kaum muda dari kampung halaman dan sekitarnya yang memiliki basic keilmuan cukup, ketahanan tubuh yang kuat, dan memiliki semangat tinggi untuk diharapakan menjadi pemuda yang mandiri yang di masa depan diharapkan menjadi seorang pemimpin yang berkarakter. Kemudian untuk mewujudkan impian tersebut, Pak Doktor mendirikan sebuah rumah perkaderan yang dinamai Monash Institute, singkatan dari nama beliau, Mohammad Nasih Institute.
Mimpi Panen Doktor
Kesibukannya yang harus bolak balik antara Jakarta-Semarang, karena harus mengurus perkaderan dan memantau disciples di rumah perkaderannya itu, tidak membuat Pak Doktor melupakan bertemu dengan keluarga, baik Semarang ataupun keluarga yang di Rembang, desa tempat ia dilahirkan. Kepadatan kegiatan yang Pak Doktor jalani sehari-hari sebetulnya bukan hal baru yang ia jalani. Sebab, dulu ketika masih dibangku kuliah, Nasih sudah bergulat di dunia training dengan menjadi seorang instruktur, sehingga setiap akhir pekan, waktunya dihabiskan untuk mengkader anak-anak muda potensial di organisasi hijau hitam itu.
Hobi itu terus dikembangkan hingga kini, sampai Pak Doktor juga mendirikan sekolah alam Planet NUFO. Kini Nasih punya program pengembangan suber daya manusia dari anak usia SMP sampai dengan perguruan tinggi. Salah satu cara memberdayakan anak-anak muda di rumah perkaderan yaitu, memberikan program beasiswa untuk yang tidak mampu, melalui program menghafalkan al-Qur’an sebelum masuk perkuliahan. Dengan tujuan agar ketika kuliah sudah hafal al-Qur’an, sehingga pembelajaran lebih fokus pada pendalaman dalam memahami al-Qur’an dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Dengan semangat yang demikian, diharapkan akan lahir generasi hafidh-hafidhah yang mampu mengatasi problematika umat dan bangsa untuk Indonesia yang lebih maju. Tidak hanya itu, Pak Doktor juga mengajari anak didiknya untuk berwirausaha. Di kampung halamannya, Monash Institute juga mengajari disciples untuk berternak sapi, kambing, lele, ayam, bebek, dan lain sebagainya. Selain perternakan, mereka juga menekuni usaha bidang pertanian, seperti menanam sayuran, polowijo, tomat, tebu, dan lain-lain.
Pak Doktor bersama para disciples memanen hasil tanaman itu sebagai bagian dari belajar filosofi kehidupan. “Barang siapa yang menanam, dia akan memanennya.” Semua itu, selain digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, hasilnya juga digunakan untuk memberikan beasiswa kuliah bagi disciples yang membutuhkan, dari jenjang SMP sampai doktor.
Monash Institute yang didirikan sejak 2010 itu kini telah memiliki lebih dari 250 disciples dengan jenjang pendidikan beragam. Angkatan pertama sebagian sudah menempuh jenjang pendidikan doktoral, sehingga mulai tahun 2021, Pak Doktor tidak lagi panen hasil tanaman di kampung, tetapi mimpi panen doktor akan mulai terwujud. Bagi Nasih, di era yang seperti sekarang ini, pendidikan formal perlu ditempuh, selain tentu saja disciples harus meningkatkan kualitas diri secara mandiri sebagai tanggung jawab kepada Allah swt. sebagai makhluk yang dikarunia akal pikiran.
Pak Doktor pernah bermimpi, Monash Institute suatu saat akan panen doktor dan masa itu ternyata sudah dekat. Doktor mimpi panen doktor akan benar-benar ada, dan mungkin pertama kali di dunia.
Oleh: Evi Rochanatul Maghfiroh, Disciples 2014, Guru Mulia di Sekolah Alam Planet NUFO Rembang.
Editor: Anzor Azhiev