Oleh: Dr. Mohammad Nasih, M.Si.

Pengajar Ilmu Politik FISIP UMJ dan Pascasarjana Ilmu Politik UI, Pengasuh Pesantren-Sekolah Alam Planet NUFO Rembang, dan Guru Utama di Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an Monasmuda Institute Semarang

Tak syak lagi bahwa Islam masuk ke Jawa dengan jalan tanpa peperangan. Awalnya, penyebaran Islam dilakukan secara kultural. Aktivitas perdagangan menjadi media yang berperan besar memperkenalkan masyarakat Jawa kepada Islam, melalui pedagang-pedagang Arab yang sekaligus membawa missi dakwah. Ketinggian akhlak mereka, telah membuat Islam menjadi agama yang sangat menarik, sehingga beberapa gelintir masyarakat Jawa mulai tertarik masuk Islam.

Dakwah dilakukan juga dengan melakukan akulturasi ajaran Islam dengan budaya Jawa. Termasuk di dalamnya budaya yang lahir dari ajaran agama yang telah ada sebelumnya, Hindu. Akulturasi itu tidak hanya dengan memasukkan ajaran-ajaran Islam dalam budaya yang termasuk dalam kategori aspek non-teologis, seperti seni pewayangan, seni musik (gamelan), seni ukir, dan seni sastra, tetapi juga yang sesungguhnya masuk dalam dalam kategori teologis. Karena itu, bisa dikatakan bahwa dakwah Islam yang paling awal ini belum bisa menyampaikan konsepsi tauhid yang benar-benar murni sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah saw. dalam dakwahnya pada periode Makkah.
Ada perbedaan konteks dakwah Nabi Muhammad saw. dengan dakwah yang dilakukan oleh para wali di Jawa. Para wali memperkenalkan nama tuhan yang sebelumnya tidak pernah dikenal oleh masyarakat Jawa, yaitu Allah. Bahkan dalam penyebutannya, seringkali nama-nama yang sebelumnya sudah dikenal ini dianggap sama dengan Allah Swt.. Sedangkan Nabi Muhammad tidak memperkenalkan nama baru untuk tuhan yang harus disembah, melainkan sudah dikenal sebelumnya, yaitu Allah.

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar). (al-‘Ankabut: 61)
Hanya saja, masyarakat Arab, di samping menyembah Allah sebagai tuhan tertinggi, juga menyembah tuhan-tuhan lain yang jumlahnya sangat banyak.

أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّىٰ – وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَىٰ

Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al Lata dan al Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? (al-Najm: 19-20)

Tugas Nabi Muhammad saw. adalah memurnikan konsepsi ketuhanan hanya Allah saja. Ini dinyatakan oleh al-Qur’an mulai dari episode Makkiyah sampai Madaniyah.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (al-Bayyinah: 5)

Sebab, yang mereka sembah selain Allah sesungguhnya hanyalah nama-nama yang diada-adakan tanpa ilmu, sehingga tidak memiliki nilai kebenaran.

إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ ۖ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَىٰ

Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka. (al-Najm: 23)

Dengan pertimbangan tertentu, dakwah dilakukan untuk memperkenalkan konsepsi-konsepsi di dalam Islam, dengan tidak langsung menghilangkan budaya lama yang sudah mendarah daging.
Karena itulah, sebagian pengamalan ajaran agama Islam di Jawa bersifat sinkretik. Bahkan di antaranya masih dipertahankan sampai sekarang. Sebab, praktek sinkretik itu kemudian justru dilestarikan. Padahal awalnya adalah sebuah ikhtiar untuk yang penting ajaran Islam bisa dikenal dan diamalkan dengan harapan di masa berikutnya akan ada yang melakukan penyempurnaan dengan melakukan “pemurnian”. Di antara contoh budaya sinkretik ini terdapat dalam masyarakat Kudus yang sampai saat ini pada umumnya tidak mau (baca: berani) menyembelih sapi, kecuali sedikit saja yang sudah mulai menyembelihnya, karena menganggapnya sebagai ajaran Sunan Kudus. Sebab, saat Sunan Kudus berdakwah, mayoritas masyarakat Kudus dan sekitarnya adalah penganut Hindu yang mendewakan sapi. Padahal pandangan semacam ini sesungguhnya sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Kasus penyakralan hewan-hewan dengan kriteria tertentu sudah pernah ada di zaman Jahiliyah.

Baca Juga  Temuan-Temuan Saya di MIS dan Planet NUFO

مَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلَا سَائِبَةٍ وَلَا وَصِيلَةٍ وَلَا حَامٍ ۙ وَلَٰكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۖ وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

Allah sekali-kali tidak pernah mensyari’atkan adanya bahiirah, saaibah, washiilah dan haam. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti. (al-Ma’idah: 103)

Al-Qur’an mengkritiknya secara tegas sebagai di antara bentuk tindakan pengharaman atas sesuatu yang dihalalkan oleh Allah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (al-Ma’idah: 87)
Namun, pandangan bahwa dakwah di Jawa tidak menggunakan sarana politik, itu sebuah keliruan. Dakwah kultural dan struktural terjadi di Jawa, mirip dengan jalan dakwah Nabi di Makkah dan Madinah, sehingga sama-sama memperoleh kesuksesan gemilang. Jalan kultural bisa dikatakan tidak berjalan mulus, karena masyarakat Jawa yang Hindu memiliki paradigma kasta: Masyarakat secara umum terbagi menjadi empat kasta, yaitu: brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Dalam kerangka kasta ini, yang dianggap memiliki otoritas untuk menjalankan peran pendidikan dan spiritual adalah brahmana. Sementara pedagang termasuk kasta waisya yang dianggap lebih rendah dibandingkan kasta ksatria. Karena itulah, kemudian dilakukan perubahan strategi dengan juga menggunakan sarana politik.

Jalan politik inilah yang menyebabkan perubahan besar terjadi. Jawa yang sebelumnya berpenduduk mayoritas Hindu dan Buddha, kemudian berubah sangat drastis. Mayoritas masyarakatnya berbondong-bondong masuk Islam. Pameo bahwa “agama rakyat adalah agama penguasa” terjadi. Jadi, awal perkenalan Islam memang terjadi sejak awal kelahiran Islam pada abad ke-7. Namun, Islamisasi secara masif baru terjadi setelah berdiri kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, terutama Kerajaan Demak yang didukung oleh tokoh-tokoh yang dikenal dengan sebutan Walisongo.

Gagasan menggunakan kekuasaan untuk melakukan Islamisasi di Jawa bisa ditemukan di antaranya dalam lirik lagu “Lir Ilir”. Lagu yang sering dijadikan sebagai lagu dolanan anak-anak kecil di Jawa Tengah dan Jawa Timur ini sesungguhnya memiliki pesan yang sangat kuat kepada para raja Jawa untuk melakukan penghijauan Jawa. Kekuasaan yang ada pada mereka harus digunakan seoptimal mungkin untuk itu.
Lir ilir// Lir ilir// Tandure wis sumilir// Tak ijo royo-royo// Tak sengguh penganten anyar// Cah angon, cah angon// Penekno belimbing kuwi// Lunyu-lunyu penekno// Kanggo mbasuh dodot iro// Dodot iro, dodot iro// Kumitir bedah ing pinggir// Dondomono jrumatono// Kanggo sebo mengko sore// Mumpung jembar kalangane// Mumpung padang rembulane// Yo surako surak iyo.
Bangun sadar// Bangun sadar// Tanamannya sudah tumbuh// Sangat hijau// Semangat bagai pengantin baru// Penggemba. Penggembala// Panjatkan pohon belimbing itu// Walaupun licin tetap panjatkan// Untuk menyuci pakaianmu// Pakaianmu robek dibagian tepinya// Jahit dan tamballah// Untuk menghadap nanti sore// Selagi luas ruangnya// Selagi cahaya bulan terang benderang// Sambutlah ini dengan senang.

Baca Juga  Ke Planet Nufo Dua Kali Sepekan

Awal lagu itu mengingatkan bahwa para raja Jawa tidak boleh terlena. Mereka harus sadar, bangun, dan waspada. Jangan sampai teledor dari perjuangan. Masyarakat yang sudah menerima Islam, ibarat tanaman yang sudah mulai tumbuh dengan dedaunannya yang sangat hijau. Semangat mereka dalam menjalankan Islam sudah tumbuh dan menguat digambarkan seperti semangat penganten baru. Karena suasana baru dengan ajaran-ajaran yang baru, mereka lebih giat dalam menjalankan kewajiban yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan. Agama baru yang berarti juga adalah pengetahuan baru membuat mereka dalam suasana “puber” religi.

Karena itulah, diserukan kepada raja Jawa yang disebut sebagai penggembala. Kuat dugaan bahwa istilah penggembala ini diintrodusir dari sebuah hadits bahwa setiap muslim adalah pemimpin. Pemimpin dalam hadits ini diistilahkan dengan râ’in yang arti literalnya adalah penggembala.

كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِه

“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka. Seorang suami dalam keluarga adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Ketahuilah, bahwa setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas siapa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)

Kata cah angon dalam lirik lagu di atas bisa dipahami sebagai bahasa simbolik, sehingga memiliki nilai sastra yang sangat tinggi. Maknanya jelas, bahwa di dalam Islam, kekuasaan dipandang sebagai alat untuk memperjuangkan dan mentransformasikan ajaran-ajarannya. Ini terdapat bait selanjutnya yang juga menggunakan bahasa simbolik belimbing. Belimbing menjadi simbol karena ia memiliki lima sisi, sebagaimana Islam memiliki lima rukun; yaitu: dua deklarasi bahwa Allah adalah satu-satunya tuhan dan Muhammad adalah utusanNya, shalat, zakat, puasa, dan haji bagi yang mampu. Perjuangan mentransformasikan ajaran Islam harus dilakukan walaupun itu pasti akan menghadapi tantangan dan hambatan. Jalannya pasti sulit dan mendaki. Akan mengalami pasang surut, naik turun. Risikonya berat. Transformasi ajaran Islam paling efektif dan efisien adalah melalui jalur kekuasaan. Dengan transformasi itu, iman dan takwa seluruh rakyat akan bisa dibangun. Untuk ini, bahasa simbolik juga kembali digunakan. Takwa di dalam al-Qur’an disebut sebagai yang terbaik.

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

Baca Juga  Damai di Negeriku

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. (al-A’raf: 26)

Iman dan takwa perlu perlu diusahakan untuk seluruh warga negara, karena keduanya merupakan prasyarat agar Allah melimpahkan berkahnya kepada sebuah negeri. Takwa yang menjadi praktek kehidupan seluruh warga negara, akan membuat negeri menjadi negeri yang makmur dan ridlai oleh Allah Swt..

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (al-A’raf: 96)

Para pemimpin politik perlu melakukan usaha untuk membina iman dan takwa seluruh rakyat, karena pemahaman mereka yang baru sesungguhnya masih jauh dari sempurna. Konsepsi-konsepsi yang integral tentang Islam yang paripurna belum mereka pahami dengan baik. Karena itu, usaha untuk memahaminya secara utuh harus mereka lakukan, agar pemahaman yang dimiliki tidak lagi terputus dan parsial. Yang belum terhubung harus disambung, dan yang robek harus ditambal dengan hati-hati. Iman dan takwa juga bekal untuk menghadap kepada Allah yang akan terjadi dalam waktu yang sangat dekat. Bahasa simbol yang digunakan adalah menghadap nanti sore. Kesempatan hidup di dunia ini hanya sebentar saja, bagaikan datang di pagi hari dan pada sorenya harus kembali. Inilah yang di antara dasar paradigma bahwa waktu ibarat pedang. Sebab, ia cepat berkelebat dan menebas leher, sehingga mengantarkan kepada kematian. Dalam akhir bait lagu itu, para raja benar-benar diingatkan selagi ada kesempatan yang terbuka lebar. Jangan sampai menyiaa-nyiakan kesempatan yang telah diberikan.

Melihat perspektif yang ada di dalam lagu ini, perjuangan dakwah di Jawa jelas sekali tidak hanya melulu menggunakan jalan kultural, tetapi juga struktural. Dan itulah yang sesungguhnya dilakukan oleh Nabi Muhammad saw.. Selama 13 tahun Nabi Muhammad melakukan dakwah kultural di Makkah. Dakwah Nabi ini selalu menghadapi tantangan dan hambatan. Nabi dan para sahabat awal dicela dan disakiti secara fisik. Bilal bin Rabah ditindih batu panas, Amar bin Yasir disiksa dengan siksaan tak tertahankan, Sumayyah ibu Amar menjadi syahidah pertama dalam Islam, Nabi dilepari batu dan kotoran hewan, bahkan dibunuh oleh kaumnya sendiri.

Namun, keadaan kemudian berbalik. Ketika Nabi Muhammad hijrah ke Yatsrib dan di sana beliau bersama sahabat membangun entitas baru yang memenuhi syarat sebagai negara, dan pasti karena inilah Yatsrib diubah namanya menjadi Madinah dengan Nabi menjadi pemimpin tertinggi. Pada tahun ke-8 setelah hijrah, Nabi Muhammad berhasil menaklukkan Makkah dengan tanpa perlawanan sama sekali. Sebab, jumlah pasukan Nabi Muhammad berkali-kali lipat dibandingkan jumlah penduduk Makkah. Masyarakat yang dulu mencela dan menganiayanya, tak punya pilihan lain selain tunduk kepada Nabi Muhammad. Selama menjadi pemimpin politik di Madinah, Nabi tetap juga melakukan dakwah kultural, di antaranya menyuapi seorang Yahudi buta di dekat pasar, sehingga orang itu kemudian menerima Islam setelah diberi informasi setelah diberi tahu bahwa Nabi telah wafat. Ketika itu pemeluk Islam diperkirakan mencapai 120-150 ribu orang. Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

Sertifikasi Mall : Tinggalkan Budaya Membeli Barang Tiruan

Previous article

Pengaruh Paradigma Yang Salah, Penyebab Umat Islam Tidak Berislam Secara Kaffah?

Next article

You may also like

Comments

Ruang Diskusi