Kisah  

Cahaya Senja

Cahaya senja terlihat begitu mempesona. Sinarnya menembus celah dedaunan, menyinari wajah seorang gadis yang ayu. Gadis mungil yang duduk termangu di rumah pohon. Sembari mengayunkan kaki, ia bertanya-tanya dalam hati.
“Sungguh menakjubkan alam semesta ini. Ciptaan Yang Maha Karya,” ungkap gadis itu dengan lirih. Matanya terpejam, merasakan indahnya semesta.

Cahaya jingga itu menyinari wajah gadis tadi. Kulit putih peraknya bersinar terkena mentari. Angin sepoi-sepoi membelai lembut kulit gadis itu. Gadis manis yang tinggal di gang 4, blok VIIB nomor 25. Orang Rusia sering menyapanya dengan sebutan Mapraheu. Sungguh beruntung nasib gadis ini. Gadis yang ditemukan oleh Johan Gottlib Gahn.

Johan selalu mengenalkan gadis tersebut ke berbagai negara. Ia pun meyakinkan gadis itu, kalau dirinya dikenal di berbagai negara. Mapraheu memiliki nama panggilan yang berbeda-beda. Meskipun ia terkenal, tapi dia masih ragu akan keberadaannya.

“Ah! Apa setiap orang mengenalku?A..ku…. ada. Namun tiada. Apakah semua orang benar-benar tau akan keberadaanku? Sudahkah mereka menyadari? Bahwa aku selalu bersama setiap manusia. Aku rasa….. tidak semua strata mengenalku. Jangankan mengenalku, tau namaku saja udah untung,” batin Mapraheu.
Gadis mungil ini duduk termenung di rumah pohon yang ada di belakang rumahnya. Tatapannya kosong, matanya terpana melihat tanaman yang rindang dan pohon-pohon yang menjulang tinggi.

Pandangannya fokus, tertuju pada pegunungan dan halaman yang terbentang luas. Daun di sekitar melambai-lambai, menyambut keberadaannya. Tiba-tiba, awan yang cerah itu berubah seketika, menjadi mendung dan gelap gulita, mengikuti suasana hatinya yang gundah gulana. Merana.

Padahal alam begitu bersahabat menyambut kedatangannya. Namun, ia terlihat sedang kalut. Entahlah. Apa yang sedang ia pikirkan. Dadanya begitu sesak. Hatinya sedang berkecamuk.

Ia lebih memilih sendirian merenung di rumah pohon. Berkontemplasi. Jarak rumahnya dengan rumah temannya, Ferrum dan Kromium begitu dekat. Meskipun Ferrum dan Kromium sama-sama tinggal di gang 4, tapi tetap saja, Mapraheu lebih memilih untuk menyendiri. Dia hanya ingin menghabiskan waktu bersama semesta di ujung senja.

“Ah! Apa salahku, Dioksida? Apa yang sudah aku lakukan padamu? Kenapa sikapmu lebih dingin dari es batu? Apakah kamu kecewa denganku?” tanya Mapraheu dalam hati. Pandangannya tertunduk lesu.

Tubuhnya lemas. Ia hanya menerka-nerka, apa yang sebenarnya terjadi. Sore itu tidak terlalu panas, dan tidak terlalu dingin.

“Manganesia….” sapa Dioksida kepada Mapraheu, panggilan istimewa ala orang Spanyol untuk Mapraheu. Dio berdiri tegap, menatap tajam tubuh mungilnya.

“Di..o…” sambut Manganesia dengan senyuman termanisnya. Manganesia terkejut melihat kedatangan Dio. Senyuman itu mengembang, hingga terlihat jelas lesung pipit di pipi kirinya. Gigi gingsulnya yang unik pun tergurat indah.

Manganesia akhirnya berbalik badan. Menghampiri Dio yang masih berdiri di depan pintu rumah pohon. Sikap Dio masih tetap dingin. Ia bungkam seribu bahasa. “Di..o.. apa kamu datang hanya untuk membisu? Lalu berdiri dan mematung di sini?” ekspresi Manganesia berubah sedih seketika. Nadanya merendah.

Wajahnya pun tertunduk lesu.
“Aku tidak tau harus bagaimana, Manganesia,” Dio mencoba untuk memulai pembicaraan. Ia berjalan memasuki rumah pohon, lalu duduk di ujung balkon rumah itu.

Manganesia pun mengikuti langkah kaki Dio, kemudian duduk di samping kirinya. Dia dan Dio hanya berjarak satu meter. Ia mendengarkan Dio dengan seksama. Tanpa berkedip, Manganesia menyimak cerita Dio. Matanya tersihir oleh sesosok Dio di dekatnya.

“Manganesia…. (panggil Dio dengan lirih), apakah kamu tau perasaanku? Ketika kamu menjalankan misi bersama Tuan Karbonat (MnCO3/Rhodhocrosite), hatiku tersayat oleh sebilah pisau yang amat tajam. Rasanya lebih sakit daripada itu. Tak kuat aku menahan perihnya,” ungkap Dio dengan wajah memelasnya.

“Sekarang aku tau, kenapa kamu mendiamkanku. Ternyata karena hal itu. Dio, ingatkah kamu? Kita itu punya kelebihan. Tentu saja kelebihan ini harus kita gunakan dengan bijak. Kamu pun begitu. Apa gunanya kita, kalau kelebihan kita tidak berguna untuk umat. Semua itu akan sia-sia, Master Dio,” Manganesia menimpali kata-kata Dio dengan bijak.

Gaun putih-perak metalik yang dikenakannya terlihat anggun. Khimar panjangnya pun berkibar-kibar terterpa angin. Tiada warna yang melekat pada diri Manganesia selain putih-perak metalik yang khas.

“Aku tau. Pasti kamu akan bilang, kalau kita itu punya visi yang besar. Kita harus menyelesaikan misi kita. Aku paham kamu. Kiranya, siapa yang lebih paham tentangmu daripada aku? Aku yang sudah lama mengenalmu,” lanjut Dio.

“Makasih……. karena kamu sudah mau mengerti,” timpal Manganesia sambil menunduk. “Dio….. aku ingin kamu memahami satu hal. Kalau kita tidak menyalurkan kelebihan kita untuk membantu orang, lantas, apa gunanya kita diciptakan? Kita itu harus bermanfaat bagi banyak orang.

Banyak orang yang membutuhkan kita, Dio.. ”

“Mungkin aku yang terlalu egois dengan perasaanku. Ketika kamu menjalankan misi bersama Tuan Karbonat (MnCO3). Terlalu munafik kalau aku bilang bahwa aku baik-baik saja. Semua itu butuh proses, Nona Manganesia. Modalku cuman satu.

Aku yakin, karena aku adalah kekasihmu yang sesungguhnya. Kita pasti bisa melewati masa-masa seperti ini. Nanti kita cerita tentang hari ini. Pasti. Kita keliling Kota Sistem Periodik Unsur bersama.

Sembari kita menyelesaikan misi kita (MnO2). Tidak hanya kota ini, bahkan seluruh dunia pun akan kita jelajahi bersama. Seakan alam semesta hanya milik kita,” jelas Dio untuk menenangkan diri.

“Aku percaya, Dio.. Orang itu bisa dipercaya kalau kata-katanya bisa dipegang. Aku yakin, kamu adalah orang yang bisa menepati janji. Aku berharap, kamu tidak akan berbohong demi menyenangkanku. Aku lebih suka kamu yang jujur. Kebohongan memang manis di awal, tapi….. pahit di akhir dan terasa dalam jangka waktu yang lama. Berbeda halnya dengan jujur.

Terkadang, jujur itu menyakitkan di awal. Tapi hanya saki sesaat. Tak ada dendam selepas itu,” balas Manganesia dengan lembut.

“Kita pegang teguh visi kita bersama. Kau tau syauuqun dan syauukun dalam bahasa Arab? Tulisan itu hanya beda qaf dan kaf saja.

Syauquun berarti rindu, sedangkan syauukun artinya duri. Rindu dan duri itu saling berkaitan. Karena rasa rindu itu seperti tertusuk duri. Rindu itu pasti akan segera terbayar. Cepat atau lambat,” Dioksida berusaha untuk meyakinkan Manganesia. Karna ia menjalankan misi tanpa dirinya. Tentu saja dalam jangka waktu yang tak terkira.

“Aku tetap mengingatmu dalam setiap hembusan nafasku… Aku menunggumu. Kita pasti bisa menyelesaikan misi sekufu bersama,” tutur Manganesia dengan mata yang berkaca-kaca. Pandangannya tetap tertunduk, tak kuasa ia melihat Dio.

Manganesia bahagia pernah mengenal Dioksida. Banyak memori tentang Dio yang tersimpan dalam otak Manganesia. Manganesia tidak pernah mengharapkan Dio hilang dari ingatannya. Semua cerita ada dalam benaknya. Memang benar Manganesia pernah kecewa. Namun, dia selalu menyakinkan dirinya sendiri, bahwa semua akan baik-baik saja. Gadis mungil itu sangat bersyukur, bisa menyayangi dan disayangi Dio.

“Aku berdo’a, sembari kita menunggu misi itu, kita jalankan peran kita masing-masing dengan totalitas. Setiap makhluk yang diciptakan-Nya, pasti berguna. Tidak ada sesuatu pun yang tercipta dengan sia-sia. Bahkan seekor nyamuk sekalipun. Begitu pula kamu, aku,” Manganesia berharap Dio juga mengerti.

Angin senja mengabarkan akan kepergian Dio. Dio yang harus berpamitan kepada Manganesia. Kali ini Dio akan pergi ke gang 2, blok VA nomor 7. Ia harus menjalankan misi bersama Miss Nitro (baca: Nitrogen (N)). Misi yang Dio jalani saat ini terus berlanjut ke misi-misi kelas atas. Sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Begitu juga dengan Manganesia. Ia harus menjelajahi dunia tanpa Dio di sisinya.

“Dio, kalau kamu ada kesempatan ke Swedia, Italia, dan Indonesia, panggil saja aku. Panggil Aku dengan Mangan. Atau………. kalau kamu bisa datang ke Portugis, meski hanya sebentar, lihatlah aku. Tengok aku.

Hampiri aku, Dio. Sapa aku dengan Manganes,” Manganesia berpesan untuk perjumpaannya yang singkat sore itu. Perjumpaan untuk perpisahan.Berharap ia akan segera bertemu dengan Dio lagi. Sejauh apapun jarak memisahkan mereka, tapi tetap saja, jauh di mata, namun dekat di hati.

“Tidak, Manganesia. Kamu tetaplah kamu. Bukan yang lain. Bukan juga dia. Kamu tetap Manganesia yang aku kenal. Aku tak peduli, setiap orang di berbagai belahan dunia memanggilmu dengan sebutan apa. Bagiku, nama Manganesia tetap melekat dalam jiwaku,”
“Okelah, Master Dio…” Senyum Manganesia mengembang. Lagi lagi, gigi gingsul dan lesung pipitnya terukir jelas di wajahnya. Menghiasi cahaya jingga yang mulai pudar dan berpendar perlahan-lahan, hingga akhirnya sirna.

“Tuan Dio, aku percaya, misi kamu akan berjalan sempurna, meski tanpa hadirku di sana. Jangan terlalu lama menjalankan misi. Kota ini akan sepi tanpa dirimu. Meskipun Kota Sistem Periodik Unsur ini ditempati oleh 118 penduduk. Tapi tetap saja, seakan tak berpenghuni tanpa hadirmu.

Segeralah kembali. Lalu kita selesaikan misi (MnO2), Oke?” tawanya memecah keheningan. Ia berusaha tersenyum. Rela atau tidak, ia harus mengizinkan Dio.

“Selamat berjuang, wahai generasi pejuang. Kamu juga harus semangat menjalankan misimu tanpa diriku di sisimu. Kamu harus profesional, jangan sampai membahayakan manusia. Ingat, Manganesia. Kalau jumlahmu terlalu sedikit, seseorang bisa menderita penyakit jantung, radang kulit, osteoporosis, pertumbuhan yang lambat, dan gula darah rendah, sehingga mereka sulit menjaga keseimbangan tubuh. keep strong. Aku percaya kamu bisa.

Manganesia yang selalu tersenyum ceria. Tak peduli suka atau duka. Kau tetap saja bersahaja,” pesan Dio kepada Manganesia. Kalimat penutup sebelum kepergiannya.
Dio berjalan kian menjauh.

Membelakangi Manganesia. Hanya punggung Dio yang terlihat. Ia mulai menghilang dari pandangan. Ikut terbawa oleh hempasan angin. Sinar senja telah sirna, tenggelam ditelan malam. Kini Manganesia sendirian. Hanya langit malam bertabur bintang yang ia pandang.

Oleh: ANAF.
Semarang, 23 Januari 2020

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *