Cokelat Cinta untuk Generasi Muda

Baladena.ID/Istimewa

Berbagai bencana yang menimpa bangsa dan negara ini, membuat bersedih para pemuda. Keseriusannya dalam memikirkan pesoalan-persoalan bangsa dan negara adalah hal yang tak terbantahkan sebagai generasi penerus yang bernafaskan spirit juang pahlawan bangsa Indonesia.

Namun pemuda yang akan memegang tampuk kepemimpinan bangsa haruslah pemuda yang memiliki kompetensi, visi besar, berintegritas, dan kreatif. Model pemuda seperti inilah yang akan menjawab kebutuhan bangsa Indonesia.

Guna melahirkan pemuda model sebagaimana disebutkan di atas, tentu peran orang tua menjadi sangat menentukan. Hal ini sesuai dengan petunjuk ilahi dalam surat An-Nisa ayat 9. Allah SWT berfirman: ”Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya  mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraanya)nya.”

Ayat tersebut memberikan sebuah tuntunan agar orang tua benar-benar bertanggung jawab untuk mempersiapkan keturunan yang kuat dan tangguh baik secara fisik, intelektual, emosional, spiritual, maupun ekonomi. Hal ini dipertegas dengan sebuah hadits yang berbunyi ”Surga di telapak kaki ibu”. Hadis ini mengisyaratkan bahwa kebahagiaan seorang anak sangat tergantung pada model pendidikan yang diterapkan sang ibu.

Ibu merupakan tokoh masyarakat dan pemerintah. Jika dalam mendidik anak “sang ibu” melakukan hal-hal yang mengarah pada apa yang disebut sebagai “salah asuh, kurang asih, dan tidak diasah” (salah mendidik, kurang kasih sayang, dan tidak diasah penalaran-kepribadian-moralitasnya), maka, yang terjadi justru sebaliknya “Neraka di bawah telapak kaki ibu”.

Neraka di Bawah Telapak Kaki Ibu

Kenakalan remaja seperti penyalahgunan narkoba, tawuran, dan seks bebas merupakan “neraka” yang sangat mencemaskan orang tua. Dibutuhkan tanggung jawab yang serius (khususnya dari sang ibu) untuk mengatasi semua karena ibu merupakan madrasah pertama bagi anaknya.

Dari rahim negeri yang tata kelolanya benar dan baik, akan melahirkan generasi berkualitas yang berjiwa pemimpin dan mampu membentuk masyarakat (umat) yang jujur, mandiri, dan bertanggung jawab demi terwujudnya baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (Negara yang baik-sejahtera di bawah rahmat tuhan).

Dilihat dari sifat “keagamaan” para remaja dengan dunia global akibat tidak adanya panutan dan tuntunan untuk mempunyai karakter dan identitas diri. Globalisasi memiliki pengaruh yang kuat dalam mengubah konsepsi seseorang dan mampu mengubah gaya hidup seseorang, mulai dari soal bahasa, busana, makanan, dan manifestasi kehidupan umum lainnya.

Sesungguhnya tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana mempertahankan identitas diri tanpa harus terjatuh kedalam isolasi diri atau menolak andil orang lain, serta  bagaimana menghadapi kebudayaaan masa kini tanpa terjatuh pada sikap taklid buta. Berbagai persoalan yang dihadapi generasi muda akibat globalisasi, antara lain penyalahgunaan intenet, miras, dan narkoba, serta pergeseran nilai karena semakin meluasnya arus kebebasan dan permisifisme.

Generasi pemuda pun terjangkiti budaya seks bebas dan mengalami alienasi, depresi, dan ketidakseimbangan mental karena dampak-dampak yang ditimbulkannya. Akibatnya, generasi muda memiliki kecerdasan intelektual dan keterampilan, tetapi bermentl jahat, berjiwa korup, dan berakhlak buruk. Mereka bersifat apatis dan tidak mempunyai kepedulian terhadap lingkungan sekitar.

“Sang Ibu” seyogianya mengajarkan pada anak agar memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk membebaskan diri dari berbagai problem modernitas yang membelenggunya. Serta akan menggiring mereka pada kerakusan duniawi dan abai terhadap kematian sehingga muncullah manusia yang berwatak khianat, korup, dan munafik. Mereka menyelubungi diri dengan simbol kebenaran, tetapi hakikatnya terjerumus ke jurang kehinaan.

Di tengah gempuran era globalisasi yang kerap menumpulkan hati nurani, generasi muda  sebaiknya tetap mengasah akal sehat  dan kepekaan nuraninya dan siap “memberi” kepada orang yang membutuhkan. Pemuda harus selalu bekerja keras dengan etos tauhid, yakni bekerja dengan baik dan tulus merupakan bagian dari ibadah yang nyata. Selain itu, harus siap beramal dengan ikhlas dan melakukan sesuatu yang terbaik bagi sesama.

Prioritas cinta kasih sebaiknya diberikan kepada generasi muda yang mengalami situasi “yatim”, dilihat dari aspek kepribadian, pola hidup, sejarah, lingkungan, dan seterusnya. Hal ini tampak dari maraknya perilaku seks bebas, pemakaian narkoba, tawuran, dan berbagai perilaku negatif lainnya. Keyatiman generasi muda bukan disebabkan karena kemaian orang tuanya atau kekurangan fasilitas, tetapi lebih dikarenakan hilangnya identitas diri di tengah ketidakjelasan budaya bangsa serta minimnya nilai-nilai keagamaan karena tidak ada figur panutan.

Kematian orang tua tidak membuat seseorang menjadi yatim, tetapi ketiadaan ilmu tentang kebenaran dan ketiadaan akhlak yang mengajarkan kebajikan. Sehingga mengantarkan seseorang menjadi “yatim” di tengah kehidupan. Generasi muda seharusnya menunjukkan keteguhan iman dan kesetiaan pada nilai kasih sayang dan kesabaran. Bukan hanya embel-embel belaka.

Hal itu semua sebaiknya dijalankan dengan penuh kesabaran dan rasa cinta kasih, karena hidup ini adalah perjuangan yang penuh tantangan, rintangan, dan godaan. Semangat baru dengan niat tulus dan penuh kasih sayang adalah modal utama dalam mendaki kemuliaan yang dijanjikan Tuhan. Wallahu a’lam bi al shawab.

Oleh: Ma’bad Fathi, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang.

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *