“Teramat mahal.” Begitulah harga barang bernama malu, atau lebih tepatnya rasa malu. Ini disebabkan oleh kelangkaan yang terjadi di mana-mana. Hanya sedikit saja yang memilikinya. Malu yang dimaksud di sini bukan malu ketika mempresentasikan tugas kita atau malu saat diberi kesempatan untuk mengikuti lomba dan sebagainya, tetapi malu jika melakikan kesalahan.
Penulis jadi ingat pepatah waktu SD dulu. “Berani karena benar. Takut karena salah.” Di era ini, mungkin seringkali kita jumpai pepatah itu terbalik. Banyak orang yang berani padahal dia salah. Dia tidak malu sama sekali. Sementara ada orang benar tapi takut, karena khawatir ini dan itu, misalnya. Ya, demikianlah, banyak orang yang tidak lagi merasa malu untuk berbuat maksiat. Seolah-olah orang sudah kehilangan sungkan, perasaan tidak enak, dilihat orang lain ketika berbuat salah. Lalu bagaimana perasaan dia ketika dilihat oleh Allah saat . Seolah manusia telah banyak yang kehilangan sikap murâqabah, sikap merasa diawasi oleh Allah, Tuhan yang menciptakannya.
Dalam Islam, ada sebuah hadits yang mengatakan bahwa malu sebagian dari iman. Hadis tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa keimanan memiliki hubungan yang kuat dengan rasa malu. Namun bagaimanakah jika rasa malu mulai pudar di tengah masyarakat yang beragama Islam? Apakah ini juga mengindikasikan mulai redupnya keimanan? Hal itulah agaknya yang tengah terjadi pada masyarakat jaman now.
Seringkali kita melihat di mana-mana orang lebih banyak menuntut hak daripada menjalankan kewajibannya. Hanya sedikit orang yang mengutamakan untuk menjalankan kewajiban terlebih dahulu. Sementara terlalu banyak orang yang menuntut haknya. Padahal keduanya, mestinya dijalankan secara seimbang, kan? Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Benarkah orang telah kehilangan rasa malunya? Apakah mereka sudah tidak menjaga kerhormatan dirinya? Banyak sekali pertanyaan yang muncul.
Tentu sangat malu ketika melihat fenomena krisis rasa malu ini. Orang akan banyak mengatakan: “Apa yang bisa dilakukan? Semuanya sudah terjadi.” Jika sudah demikian, ini berbahaya, karena orang akhirnya memaklumi hal-hal yang sebenarnya salah. Sekarang bisa kita lihat, sesuatu bisa jadi dianggap benar, karena sudah biasa dilakjukan orang, padahal hakikatnya hal itu salah. Maka tidak salah, jika dikatakan bahwa orang sudah terbiasa untuk membenarkan yang “biasa”, dan masih sulit untuk membiasakan yang “benar”.
Dalam Islam, kita diajarkan untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar, bukan dia melihat yang demikian. Kita juga punya kewajiban saling nasihat-menasihati dalam kebenaran dan kesabaran (QS. al-Ashr: 1-3). Maka menjadi hal yang tidak bisa ditolak, jika memang kita penganut Islam yang kaafah, bahwa harus ada sekelompok orang yang berani berdiri untuk menegaskan bahwa yang salah katakan salah dan yang benar katakan benar. Ini demi generasi masa depan. Sebab, jika tidak, generasi kita akan terancam virus individualisme yang sangat dijunjung tinggi oleh peradaban Barat.
Apa dampaknya jika individualisme ini dibiarkan berembang di Indonesia? Ya, masyarakat kita akan terkena virus permisif, yaitu suatu sikap yang mengiyakan dan menganggap semua hal serba boleh dilakukan atau suatu sikap yang barangkali kelihatan menjunjung kebebasan sejati. Jika kebebasan sudah tidak ada batasnya, maka Indonesia benar-benar terserang virus liberalisme, dan jika begitu eksistensi Pancasila akan menjadi kenangan saja. Padahal, pada Pancasilalah mestinya bangsa Indonesia mendapatkan filosofi bernegara dan bermasyarakat.
Sering kita jumpai, perilaku masyarakat yang suka mengumbar hidupnya di media sosial, seperti upload-an foto diri ataupun curhatan yang berseliweran di media sosial. Semua diumbar di media sosial, bak jamur di musim hujan. Tidak bisa ditangkal lagi. Tentu ada yang positif, ada pula yang negatif. Media sosial yang sebenarnya untuk bersosialisasi supaya terjadi komunikasi yang baik dan berguna, menjadi berbalik arah membuat orang justru fokus dengan yang dimilikinya. Dia sibuk mempromosikan dirinya, lupa bahwa semua telah disampaikan kepada publik termasuk yang mestinya ia jaga rapat-rapat, harga diri.
Ini belum akibat yang ditimbulkan di dunia nyata. Banyak sekali orang secara fisik bersama-sama dalam satu kumpulan atau kelompok, tapi jiwanya berada di mana-mana dunia maya. Mereka akhirnya cuek dengan sesama. Budaya cuek ini berjalan seiring dengan menipisnya rasa malu dalam kehidupan masyarakat. Padahal, cuek ini akan membuat rasa malu makin hilang dari peradaban. “Saya cuek saja lah. Yang penting tidak merugikan dia,” begitu dalihnya. Padahal dia melakukan seuatu yang melanggar moral, atau ajaran agama, misalnya.
Jika orang telah melakukan sesuatu yang tidak baik, hina-dina, dalam pandangan masyarakat, kebiasaan, adat, dan agama, maka rasa malu harus dihadirkan. Ada banyak pejabat yang ketika tertangkap korupsi, justru senyum-senyum, ketawa-ketiwi, hingga melambaikan tangan kepada kamera. Tentu ini sangat miris sekali? Kalau orang-orang yang seharusnya menjadi contoh saja justru demikian, maka bagaimana dengan yang di bawah? Tentu bisa dijawab sendiri.
Dengan merasa biasa saja, apalagi sampai bangga, ketika melakukan kesalahan seperti berbohong, mencuri-korupsi, menipu, membunuh, dan lain sebagainya, ini akan menumbuhkan sikap tidak berperadaban, bahkan kebiadaban. Ini benar-benar berbahya, karena ketika rasa malu telah hilang, semua perbuatan buruk akan semakin merajalela tak terkendalikan. Penyelewengan akan terjadi di mana-mana, baik di istana maupun di jalanan.
Berapa banyak kita jumpai orang melanggar lalu lintas, lalu ditertibkan polisi, justu ia berontak dan memaki-maki petugas. Padahal dia jelas-jelas telah salah melakukan pelanggaran. Ini tentu tidak masuk akal. Apakah beban hidup masyarakat kita memang sudah terlampau berat dan negara gagal hadir untuk meringankannya, sehingga menimbulkan hilangnya akal sehat masyarakat atau memang ini menjadi ujian akhir zaman? Ingin rasanya, bertanya pada rumput yang bergoyang.
Dalam sebuah hadis, Abu Mas’ud, Uqbah ibn Amr Anshari al-Badri ra mengatakan bahwa Rasulullah Saw berkata, “Ucapan kenabian yang paling awal diketahui manusia adalah jika kamu tidak malu, maka lakukanlah apapun yang kamu mau” (H.R. Bukhari, Abu Dawud, dan Ahmad). Hadis ini memberikan pemahaman bahwa ini adalah sindiran bagi mereka yang dengan rasa bangga melakukan kemaksiatan, kejahatan, dan dosa. Selain itu, dari hadis tersebut dapat diambil pemahaman bahwa ancaman bagi mereka yang tidak mempunyai rasa malu dengan melakukan apa saja yang dikehendakinya, dengan tidak menghiraukan batasan dan larangan agama. Jadi, hadis tersebut bukan mengizinkan kita untuk berbuat semaunya.
Alquran memberikan peringatan dalam QS. Fussilat ayat 40: “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat? Perbuatlah apa yang kamu kehendaki! Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Pada akhirnya, rasa malu merpakan gambaran dari keimanan seorang muslim. Malu adalah sebagian dari iman, bukan? Lalu bagaimana dengan kita yang mengaku sebagai orang yang beriman, namun seringkali rasa malu tak terlihat pada diri kita? Apakah ini kenyataan yang ada pada diri kita? Apakah pengakuan kita hanyalah sebuah kebohongan? Pertanyaan yang muncul itu untuk menegaskan bahwa keimanan kita patut dipertanyakan. Perlu diingat bahwa citi orang yang beriman adalah hadirnya rasa malu. Ia adalah salah satu tolok ukur kualitas iman seseorang.
Ada sebuah sya’ir dari Muhammad Ibnu Abdullah Al-Baghdadi :
Bila Cahaya Wajah Berkurang, Maka Berkurang Pula Rasa Malunya. Tidak Ada Keindahan Pada Wajah, Bila Cahayanya Berkurang. Rasa Malu Peliharalah Selalu. Sesungguhnya Sesuatu Yang Menandakan Kemuliaan Seseorang, Adalah Rasa Malunya.
Rasulullah juga bersabda, “Iman adalah satu kumpulan yang memiliki enam puluh cabang. Malu merupakan salah satu cabang iman.” (H.R. Al-Bukhari). Para ulama juga mengatakan bahwa siapa yang malu kepada Allah, berarti ia telah mencapai tingkatan para wali. Malu memang barang yang mahal saat ini. Krisis ini harus segera diatasi, supaya tidak membahayakan generasi. Perlu kita mawas diri.
Pernakah kita merasa malu kepada Allah saat bermaksiat kepada-Nya? Pernakah kita merasa malu kepada Allah saat lalai dalam beribadah kepada-Nya? Pernahkah kita merasa bahwa diri kita adalah seorang hamba yang fakir dan lemah sehingga kita malu kepada-Nya, jika berlaku sombong? Pernahkah kita merasakan keagungan Allah sehingga kita malu kepada-Nya? Pernahkah kita merasa bahwa begitu banyak nikmat Allah yang telah tercurah pada kita sehingga kita merasa malu pada-Nya, kalau tidak taat?
Barangkali pertanyaan-pertanyaan tersebut yang akan menggugah kesadaran dan perhatian kita untuk menjadi penyelamat umat, negara dan bangsa ini, kini dan masa yang akan datang. Semoga kita termasuk hamba yang senantiasa menjaga dan meningkatkan rasa malu kita kepada Allah swt. Kita mulai dari diri kita dan orang-orang terdekat kita. Kita mesti saling mengingatkan. Begitulah yang diajarkan Islam. Indah sekali, bukan? Semoga kita termasuk muslim yang memiliki keimanan yang sempurna, dengan menghadrikan rasa malu. Wallahu ‘alamu bi al-shawaab.