Sosok Menkumham Yasonna H Laoly belakangan disebut-sebut dalam pelarian eks caleg PDIP Harun Masiku. Yasonna dituding merintangi pemeriksaan KPK terhadap Harun yang terlibat kasus suap.
Politisi PDIP itu diduga menyebarkan informasi tak benar mengenai keberadaan Harun Masiku, yang disebut berada di luar negeri. Padahal, Harun sudah masuk Indonesia sejak 7 Januari 2020.
Pada 13 Januari, Ditjen Imigrasi Kemenkumham menyatakan Harun pergi ke Singapura sejak 6 Januari –2 hari sebelum OTT KPK –dan belum ada catatan kembali. Hal ini diperkuat pernyataan Yasonna yang menyebut Harun memang ada di luar negeri.
Koalisi Masyarakat Sipil bahkan melaporkan Yasonna ke KPK. Tak berhenti di situ, Presiden Jokowi didesak memecat Yasonna. Desakan ini disampaikan pendiri Lingkar Madani, Ray Rangkuti, yang merupakan salah satu anggota Koalisi Masyarakat Sipil.
“Kita sudah meminta dalam petisi bahwa Menkumham dicopot. Yang bersangkutan sudah layak dan sepatutnya dicopot Presiden,” kata Ray dalam diskusi terkait OTT KPK di Formappi, Jakarta Timur, Jumat (23/1).
Selain Ray, Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari beberapa organisasi sipil seperti Formappi yang diwakili Lucius Karus, Seknas Fitra yang diwakili Badiul Hadi, JPPR yang diwakili Alwan Ola Riantoby, KIPP yang diwakili oleh Kaka Suminta, dan TePI Indonesia yang diwakili oleh Jeirry Sumampow.
Menurut Ray, kehadiran Yasonna dalam konferensi pers yang digelar tim hukum DPP PDIP terkait Harun Masiku pada Rabu (15/1) sebagai bentuk adanya konflik kepentingan. Ia mengatakan, hal ini merupakan kali pertama seorang pejabat publik ikut aktif dalam perkara korupsi.
“Mau dibilang tidak dalam posisi sebagai menteri, tetapi adanya kemungkinan conflict of interest itu ada,” ujar Ray.
Menurut Ray, jika Jokowi tidak segera mencopot Yasonna Laoly dan menanggapi kejadian ini dengan santai. Maka mengindikasikan Jokowi tidak peduli terhadap pemberantasan korupsi.
“Kalau Presiden biasa-biasa saja, ya memang asumsi publik yang mengatakan presiden tidak peduli terhadap pemberantasan korupsi,” tegasnya.
Hal senada juga disampaikan Manager Riset Seknas FITRA, Badiul Hadi. Menurutnya, sebagai pejabat publik, Yasonna telah melakukan kecerobohan dan pelanggaran etik atas tindakan yang ia ambil.
“Kita melihat fakta kecerobohan Menkumham kita. Pertama beliau hadir di dalam konpers penetapan kuasa hukum partai, saya kira ini secara etik ini sudah cacat moral,” kata Badiul.
Kritik terhadap Yasonna juga disampaikan Partai Demokrat. Demokrat menilai Yasonna telah salah menyatakan Harun Masiku tidak berada di Indonesia. Sehingga sepatutnya, Yasonna dipecat.
“Mau dari sudut mana pun dalam kasus Harun Masiku ini Menkumham (Yasonna) pantas diberhentikan. Pernyataan dia Harun tidak di Indonesia telak salahnya,” ujar politikus Demokrat, Jansen Sitindaon, kepada wartawan.
Jansen menganggap, pernyataan Ditjen Imigrasi Kemenkumham yang menyebut ada delay system data perlintasan sehingga fakta terkait keberadaan Harun baru diketahui saat ini, tidak bisa menjadi alasan pembenar.
“Delay mendeteksi, berarti selama ini dia (Yasonna) tidak beres membenahi imigrasi sampai Indonesia terlihat seperti negara ‘antah berantah’,” ucapnya.
Jansen pun meminta KPK untuk mengusut pihak-pihak yang selama ini menyebut Harun di luar negeri. Ia meminta KPK menjerat pihak-pihak tersebut dengan Pasal 21 UU Tipikor yang mengatur perintangan penyidikan.
Petisi Yasonna dipecat karena berbohong
Muncul juga petisi agar Yasonna dipecat karena telah membohongi publik. Petisi ini dibuat akademisi Universitas Indonesia, Ade Armando, di situs change.org.
“Kami sebagai kumpulan warga negara yang peduli pada perang melawan korupsi meminta Presiden Jokowi memberhentikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, karena kasus kebohongan publik bahwa tersangka korupsi Harun Masiku berada di luar negeri sejak 6 Januari 2019,” tulis Ade dkk.
Dalam petisi itu, sebanyak 52 orang dari berbagai unsur menjadi inisiator petisi ini. Di antaranya sastrawan cum pendiri majalah TEMPO, Goenawan Mohamad, dan Dosen FISIP UIN Jakarta, Saiful Mujani.
Petisi ini dimuat sejak Kamis (23/1). Hingga Sabtu (24/1), sudah hampir 1.500 orang menandatangani petisi tersebut.
“Menkumham harus bertanggungjawab atas kasus ini. Dia adalah orang yang dipercaya Presiden Jokowi untuk menjaga kewibawaan dan penegakan hukum di negara ini,” tulis Ade dkk.
“Presiden Jokowi harus bertindak tegas agar menjaga kepercayaan publik pada wibawa pemerintah dan penegakan hukum,” tutupnya.
Jokowi tegur Yasonna
Presiden Jokowi merespons cepat desakan-desakan dari berbagai pihak agar mencopot Yasonna. Jokowi mengingatkan menterinya itu agar berhati-hati dalam membuat pernyataan.
“Saya hanya ingin, saya hanya pesan, titip kepada semua menteri, semua pejabat, kalau membuat statement itu hati-hati,” ujar Jokowi menjawab pertanyaan soal statement Yasonna soal Harun Masiku di Istana Negara, Jumat (24/1).
Menurut Jokowi, sebagai seorang menteri, sebaiknya tak menelan mentah-mentan data atau informasi yang belum pasti. Ia meminta menterinya untuk mendalami terlebih dulu apabila menerima laporan dari bawahan.
“Terutama yang berkaitan dengan angka-angka, terutama yang berkaitan dengan data, informasi. Hati-hati. Hati-hati. Jangan sampai informasi dari bawah langsung diterima tanpa kroscek dulu,” lanjut JokowiJokowi.
Sebelumnya, Yasonna sempat menyerahkan masalah Harun ke Dirjen Imigrasi. Jawaban itu, ia sampaikan saat sesi doorstop dengan wartawan usai konferensi pers mengenai pernyataannya soal Tanjung Priok di Ditjen Imigrasi, Kemenkumham, pada Rabu (22/1) sore.
“Satu (pertanyaan) saja, satu aja,” kata Yasonna.
“Soal Harun Masiku, Pak?” tanya wartawan.
“Itu Dirjen, Dirjen Imigrasi,” elak Yasonna.
Yasonna kemudian meninggalkan lokasi dikawal beberapa petugas Kemenkumham. Tak patah arang, wartawan terus membuntutinya dan bertanya hal yang sama.
Hingga akhirnya Yasonna masuk ke lokasi yang hanya bisa diakses dengan kartu pegawai Kemenkumham. Tetapi Yasonna tetap tutup mulut mengenai Harun Masiku. [kumparan].