Covid-19 menjadi topik teratas yang sering dibahas oleh semua kalangan saat ini, baik di kancah nasional maupun internasional. Pada 02 Maret 2020, Presiden Joko Widodo melakukan siaran pers terkait pembenaran dua kasus pertama Covid-19 di Indonesia. Pada 11 Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi. Penetapan ini tidak boleh diremehkan karena hanya ada beberapa penyakit aja sepanjang sejarah yang dikategorikan sebagai pandemi.
Istilah pandemi digunakan untuk menunjukan tingginya tingkat penyebaran suatu penyakit. Pandemi Covid-19 yang telah masuk ke Indonesia mengharuskan pemerintah untuk bergerak cepat dalam penanganan Covid-19. Berbagai kebijakan telah diturunkan pemerintah untuk penanganan dan pencegahan kasus ini.
Paham penyebaran Covid-19 melalui dropled (percikan luda), imbauan physical distancing (pembatasan fisik) dan social distancing (pembatasan sosial) menjadi kebijakan yang diberikan pemerintah. Dengan alasan masih satu ‘ritme’ dengan imbauan ini, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly merencanakan akan melepas puluhan ribu narapidana yang terdiri dari lansia dan anak. Kebijakan ini diambil untuk mengurangi kepadatan di lapas sebagai upaya mengurangi risiko penyebaran Covid-19.
Tidak bisa dipungkiri, kepadatan lapas narapidana di Indonesia memang cukup tinggi, bahkan ada yang over kapasitas. Dilansir dari okezone.com, pada 2018, penghuni lapas di Indonesia mencapai 256.273 orang, sedangkan kapasitas hunian lapas di Indonesia hanya 126.164 orang. Ini berarti penghuni lapas mencapai 203% dari daya tampungnya.
Berdasarakan data di atas, masih bisa diterima, apabila ada narapidana di Indonesia yang dibebaskan. Kebijakaan ini pun sudah dilakukan di negara-negara lain, seperti Iran, Tunisia, Amerika Serikat, dan Afghanistan. Namun, wacana kebijakan ini menjadi asal-asalan, apabila berlaku juga bagi narapidana korupsi.
Pembebasan narapidana korupsi tidak relevan dengan alasan yang digunakan untuk membebaskan narapidana. Merujuk data dari Kementrian Hukum dan HAM (2018), dari keseluruhan kasus yang ada, korupsi ‘hanya’ sekitar 1,8 persen. Lapas narapidana korupsi juga berbeda dengan lapas yang lain. Lapas Sukamiskin, contohnya, lapas ini menjadi tempat narapidana korupsi kelas ‘kakap’ yang sudah berapa kali disoroti publik.
Tentu, kita masih ingat video hasil penggeledahan KPK yang menunjukan fasilitas salah satu sel narapidana korupsi di lapas Sukamiskin. Dalam video itu, berbagai fasilitas, seperti televisi, rak buku, kulkas, kamar mandi lengkap dengan toilet duduk, dan spring bed benar-benar menjadi pembeda antara lapas narapidana korupsi dan narapidana yang lain.
Kuropsi Juga Pandemi
Tingkat penyebaran penyakit korupsi layaknya Covid-19. Korupsi pun seharusnya masuk dalam kategori pandemi. Tingkat penyebaran penyakit korupsi juga tinggi. Korban korupsi tidak hanya 1 generasi, bahkan bisa sampai 7 generasi. Setiap tahunnya, PBB mencatat $ 2,6 triliun lenyap akibat korupsi. Di Indonesia (Kompas: 2018), kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp. 9,2 triliyun. Ini bukan angka yang kecil untuk mengganjal perut saudara-saudara kita yang berjuang tiap hari demi sesuap nasi.
Untuk itu, wacana pembubaran narapidana korupsi untuk meminimalisir penyebaran Covid-19 bukanlah kebijakan yang solutif. Jumlah narapida korupsi tidak sebanyak narapida yang lain. Penyebab kepadatan lapas ialah narapida narkoba. Untuk mengurangi kepadatan tersebut, pemerintah lebih baik fokus kepada narapidana narkoba. Ini menjadi solusi yang lebih baik dibanding dengan pemebebasan narapida korupsi.
Tentu pembebasan ini harus berdasarkan data dan alasan yang logis. Atas dasar itu, pemerintah bisa mendata narapidana narkoba, apakah dipidana dengan kasus sebagai bandar, pengedar atau pengguna narkoba dan juga narapida narkoba yang masuk dalam kategori rentan terinveksi Covid-19. Dengan begitu, dapat dipilih mana yang lebih pantas untuk diberikan remisi atau asimilasi. Wa Allahu a’lam bi al-shawaab.