Dia yang di Sana

25 Mei 2021, hari itu adalah hari perpisahanku dengannya. Hari yang mengharuskanku untuk belajar melupakannya, bukan bermaksud untuk memutuskan hubunganku dengannya. Hubungan kami yang sudah berjalan sejak tanggal 3 Mei 2021 akan sia-sia jika harus diakhiri. Dari kami sendiri memang tak ingin hubungan ini lepas begitu saja, kami tak ingin melepaskan satu sama lain. Alhamdulillah, kami saling menjaga hubungan ini dengan sebutan “cinta jarak jauh”. Tiga hari setelah perpisahan itu, aku terus menangis teringat sosoknya yang telah menemaniku hampir satu bulan lamanya. Aku mengenalnya lewat sosial media, yang berawal dari meminta berteman di Facebook hingga saling kirim pesan lewat WhatsApp. Awalnya aku hanya ingin mengenalnya, tapi tiba-tiba timbul rasa suka. Langsung saja, kuungkapkan dan tak kusangka, ternyata dia menerimaku. Akhirnya kami saling menyukai dan mengisi hari-hari kami dengan saling mengirimkan pesan, saling memberikan foto-foto kami, dan sesekali mengobrol lewat telepon meski hanya beberapa patah kata.

Beberapa minggu kemudian, aku mendapat kabar bahwa nenek dari ayahku meninggal. Dhe Wahid, penduduk Desa Kemadu yang bertempat tinggal di samping rumah almarhumah nenek memberitahuku tentang kabar duka tersebut. Diantarlah aku ke lokasi, dengan kesedihan di hati aku berangkat bersama Dhe Wahid. Sesampainya disana, aku melihat depan rumah almarhumah nenek dipadati hampir ratusan orang. Segera aku mencari keluargaku, bertemulah aku dengan ibu. Setelah bersalaman dengan ibu, aku lanjut bersalaman dengan nenek dari ibuku, saudaraku, hingga ayah yang harus terlihat kuat meski ia merasa kehilangan seorang ibu. Lalu, aku dipersilakan duduk dan ibu mengambilkanku makan karena sedari tadi perutku masih kosong. Sempat aku berbicara tentang kejadian menyedihkan ini pada sepupuku.

Setelah sholat jenazah, sang nenek akan diantar ke makam terdekat. Aku, sepupuku, ayah, dan ibu pun ikut ke makam untuk membantu dan menemani warga selama proses penguburan mayat. Setelah jasad dimakamkan, semua warga berdo’a untuk kepergian almarhumah nenek. Sepulangnya dari makam aku, dan sepupuku turut membersihkan area bekas tamu-tamu yang berdatangan. Tak lama kemudian, datanglah keluarga saudara ayah. Kami menyambut kedatangannya. Karena makanan masih banyak, aku dan sepupuku diminta ibu untuk membagikannya ke tetangga sekitar rumah.

Siang harinya, kami diajak makan diluar oleh keluarga tadi. Sorenya, kami diminta ayah untuk mempersiapkan acara tahlilan ba’da maghrib. Kami pun ikut mendo’akan almarhumah nenek yang telah meninggalkan kenangannya selama hidup di dunia. Malamnya, keluarga kami pulang dari almarhumah nenek. Sebelum sampai rumah kami membeli makanan untuk makan malam.

Bacaan Lainnya

Aku teringat dia kembali, aku segera mencari HP milikku. Kucari di lemari kamarku, lemari ibuku, hingga lemari milik ayahku. Tak ditemukan. Akhirnya ayah ikut membantu untuk mencari handphoneku, hasilnya tetap sama saja. 2 hari setelah itu, ayah membawa HP milikku setelah ditemukannya di rumah almarhumah nenek. Ternyata ayah melupakannya.

Alhamdulillah, aku sangat bersyukur handphoneku sudah ditemukan. Akhirnya aku bisa chattingan lagi dengan teman spesialku. Saat itu, aku tak memiliki kuota karena selama aku di pondok handphoneku jarang sekali di pakai, mungkin yang memakainya hanya adik-adikku dan ayahku. Karena tak memiliki kuota, aku meminta hotspot untuk kembali online. Banyak sekali notifikasi yang muncul silih berganti. Saking banyaknya notifikasi, aku tak sabar menunggunya selesai bermunculan. Langsung kubuka facebook dan begitu bahagianya diriku setelah bisa kembali chattingan dengannya lagi. Hampir satu bulan lamanya ia menemaniku. Begitu cantik, setia, dan penuh kasih sayang yang ia berikan padaku. Aku berharap ia adalah jodoh yang Allah kirimkan untukku dan kelak ia akan menikah denganku. Kumulai mengirim pesan dengannya. Tak kusangka, ia saat mengirimkan pesan untukku ia mengatakan bahwa saat pertama kali mengirimkan pesan kembali padaku, ia meneteskan air mata. Entah apa yang membuatnya menangis karena sedih atau malah bahagia? Katanya, sejak aku di pesantren, ia sering bermimpi tentangku. Sering menyendiri, dan sering memikirkanku. Aku pun mengalami hal yang serupa dengannya. Ia menceritakan semuanya kepadaku. Isi hatinya dituang dalam bentuk ketikan yang disampaikannya untukku.

Hingga hari Ahad, kami saling mengirimkan pesan satu sama lain. Kami saling berbagi cerita, sesekali aku tersenyum membaca pesan yang ia kirimkan. Terkadang jika aku salah dalam kata-kata sedikit saja, ia langsung marah atau sedikit mengasingkanku. Tapi disitulah kesabaranku diuji. Bagaimana caranya setia, cara menemaninya, dan cara mengembalikannya agar tidak marah lagi. Itu semua kulakukan dengan ikhlas. Menerima apa adanya, begitu juga dengannya. Aku bercerita bagaimana dengannya di pesantren, ia juga bercerita bagaimana dengannya di sekolah.

Aku mengabarkan bahwa aku harus kembali ke pondok pukul 2 siang. Ia merasa begitu sedih, tapi bagaimana lagi jika aku dipisahkan dengannya karena masalah pendidikan dan demi menuntut ilmu untuk masa depan kelak. Aku harus menerimanya dengan lapang dada, begitu pun dengannya. Ayahlah yang meminta kembali ke pondok pukul 2 siang, ayah khawatir jika anaknya ini tertinggal agenda pondok selama di rumah. Aku tahu kami memang saling mencintai, tapi kami juga harus saling menjaga hati.

Oleh: Zafaya Aditya, Santri Pecandu Literasi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *