Sengatan mentari siang ini tak begitu terik. Mendung syahdu mengatapi langit Sekaran. Gontai langkah kakiku menyusuri sepanjang jalan Universitas Negeri Semarang. Kutapakkan sedikit demi sedikit sepatu tipisku menuju Masjid Ulil Albab. Kuhela nafas sejenak karena dada mulai sesak, lalu perlahan menghembus bersama karbondioksida bercampur aroma cerita lama yang kembali menyapa. Memaksaku bertualang lagi pada masa indah dahulu kala. Logika memberontak, “Hei, cukup. Jangan putar lagi memori lama yang kini usang. Jangan cicipi lagi kenangan-kenangan manis yang kini telah pahit”.
Sejenak rasaku lebih baik. Kuinjakkan kaki di atas sejuk lantai rumah Tuhan untuk melaksanakan empat rakaat dzuhur. Ah, mengapa kelebat senyum teduhmu kembali menghampiri? Aku tak sanggup lari lagi. Tatapan kosong mataku menapaktilasi jejak pertemuan kita. Tangga bertuliskan “batas suci” itu, tempat kudapati kau duduk menungguku sembahyang sambil mengayunkan penamu menari-nari di atas kertas polos, merangkai rencana kembangkan usaha. Kutatap dari kejauhan, lalu diam-diam kuabadikan dalam galeri ponsel sederhanaku. Mungkin inilah salah satu yang menjeratku untuk tetap di sampingmu. Karena pandanganmu yang visioner dan jauh ke depan, bukan sekadar nyaman tak beralasan.
“Hei, kau itu suka curi-curi kesempatan”, tegurmu sambil menoleh ke arahku. Lalu kujawab hanya dengan senyuman.
“Mau makan atau minum apa?”, pertanyaanmu membuyarkan lamunan.
“Yang panas dan pedas”, ucapku.
Sejenak dahimu terlipat keheranan, “Seblak?bakso?jangan ya. Kan kamu baru saja periksa ke klinik tadi. Nanti malah sakit lagi gimana?”. Kau cemas karena memang saat itu aku sedang sakit tenggorokan.
“Bukan itu yang kumaksud. Saya mau jahe panas”.
“Jahe ternyata ya”, tawa kecil kau lepaskan padaku.
“Kau tahu apa filosofi jahe?”, jiwa filsufmu mulai menampakkan diri.
“Apa?”
“Menghangatkan dan menyembuhkan tanpa efek samping, bukan seperti obat di apotek itu. Kamu jadi jahe ketika aku terluka ya? Bisa, kan?”
Lalu kita membelinya di kedai sederhana di samping gang kecil itu sembari mendiskusikan problema kemasyarakatan. Setelah beberapa kali kau turun ke sejumlah warung makan untuk memesan kepada Si Empu Warung walau beberapa kali juga hanya mendapatkan jawaban “Maaf, Mas. Tidak jual”. Saat itulah aku merasakan arti ketulusan memperjuangkan dan kesadaran diri ketika diperjuangkan.
Tak terasa bibirku mengembang karena terngiang dialog pengundang rindu yang tak bertuan. Ya, rindu yang terus datang walau tak diundang. Rindu yang merindu untuk segera dipecahkan dalam bingkai pertemuan yang tak pernah dipihakkan oleh kesempatan. Rindu yang tak juga bosan dalam penantian.
Tuan, biar dulu kurayu Tuhan di bawah langit Sekaran. Agar kita kembali dijumpakan dalam halal suatu ikatan. Supaya aku dan kamu menjadi kita di masa depan. Mewujudkan sinergi dalam menyatukan dan menyatakan gagasan. Siang itu, Rabu, 3 Juli 2019. Tak akan terlupakan. Bukankah kau juga demikian?
*Oleh : Ilvatina Layalia, pecandu Buku dan Rindu.
Semarang, 13 Januari 2020