Bapak-Ibuku Guru

Bapak Ibu Guru
Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Rumah Perkaderan Monash Institute, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ.

Oleh: Dr. Mohammad Nasih
Pendiri Sekolah Alam Planet NUFO (Nurul Furqon) Desa Mlagen, Pamotan, Rembang, Jateng; Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ

Ibu mondok di Pondok Pesantren al-Hidayat yang diasuh oleh Kiai Ma’shoem, saat pertama kali bapak mengajaknya menikah. Ibu tidak menolak, tapi juga tidak mengiyakan, dengan mengatakan: “Aku mau selesaikan hafalan al-Qur’an”.

Jawaban ibu rupanya memantik api semangat bapak. Bapak waktu itu juga mondok di Pesantren An-Nur yang letaknya hanya beberapa puluh meter saja dari Pesantren al-Hidayat. Karena tertantang oleh jawaban gadis yang diajaknya menikah itu, bapak kemudian mondok di Kudus untuk menghafalkan al-Qur’an, berguru kepada Kiai Arwani, sembari kuliah di Fakultas Tarbiyah IAIN.

Lulus sebagai sarjana muda dan selesai menghafalkan al-Qur’an, bapak mengulang tawaran kepada ibu. Kali ini, ibu tidak lagi mengeluarkan jawaban bersayap. Akhirnya mereka menikah, lalu menetap di desa bapak; Desa Mlagen, Kecamatan Pamotan, Kabupaten Rembang. Di rumah baru itu, mereka mulai mengajar ngaji al-Qur’an anak-anak kampung. Bapak menggantikan ibu mengajar kalau ibu sedang haidl.

Tak lama setelah itu, Mbah Kung berhenti sebagai kepala desa. Bapak dicalonkan dan jadi kepala desa pada tahun 1975. Rumah kami selalu ramai oleh suara lantunan kalam Ilahi, ditambah dengan suara mereka yang sedang bermain joretan di halaman yang cukup luas. Saya masih mengalami masa bermain dengan permainan dan nyanyian tradisional sebelum dan setelah ngaji selepas maghrib. Setelah bermain yang melatih dan menguatkan otot, tidur menjadi lelap dan bangun shubuh badan terasa segar bugar.

Bapak langsung menggunakan standar yang sangat ketat dalam mengajar kami membaca al-Qur’an. Bisa dipastikan ini adalah bawaan dari pesantren Mbah Arwani yang memang terkenal dengan urusan tajwid yang paripurna. Karena saya merasa berat dengan keketatan itu, akhirnya saya lebih memilih untuk diajari oleh ibu yang lebih longgar. Namun, setelah mulai bisa, saya memilih diajari bapak dengan style yang ketat itu dan merasakan nyaman bersamanya.

Saya suka mendengarkan bacaan al-Qur’an bapak. Kenyamanan suaranya bahkan saya nikmati saat kami berada di atas motor saat perjalanan. Suaranya meluncur ke telinga saya yang hanya beberapa centi di bawah mulutnya, karena biasanya saya duduk di depannya. Dagunya seringkali menempel di bagian atas kepala saya dan pada saat itulah saya merasakan rasa sayangnya yang luar biasa. Dulu belum ada aturan ketat pemakaian helm. Apalagi di jalanan desa. Jadi, suaranya sangat jelas terdengar, kareba bahkan ujung jenggotnya yang hanya beberapa centi itu terasa seperti menusuk halus kulit kepala saya.

Mulai kelas IV SD, bapak meminta saya ikut ngaji nahwu dan sharaf. Kitab nahwu yang diajarkan adalah al-Ajurumiyah karya al-Shanhaji. Saya sama sekali tidak paham. Namun, saya kemudian ingat dengan ingatan yang jelas, contoh yang digunakan oleh bapak untuk menjelaskan subjek, predikat, dan objek adalah kalimat “Dlaraba Zaidun ‘Amran, Zaid memukul ‘Amr”.

Bapak sering menggunakan istilah “pelengkap penderita” untuk objek, sehingga membuat saya tidak paham, sehingga membuat saya menjadi bosan. Karena tidak begitu tertarik dengan pelajaran ini, saya sering izin meninggalkan majelis dengan alasan mau BAB. Akhirnya, bapak mencium akal bulus saya ini dan agak menghardik saya. Kakak saya nampaknya lebih menikmati pelajaran ini. Sedangkan saya sama sekali tidak memiliki minat. Namun, karena wajib mengikuti, dengan terpaksa harus duduk dan suara pelajaran itu tetap masuk ke dalam telinga. Pelajaran di rumah itulah yang membuat saya lebih akrab dengan bahasa Arab.

Perbedaan antara saya dan anak-anak kampung lainnya adalah saya dan juga kakak dan adik saya bisa mengaji lagi setelah shubuh. Sedangkan mereka hanya setelah maghrib. Kecuali beberapa santri yang tidur di rumah kami. Karena itulah, sejak kelas V MI, saya sudah mulai mengajar al-Qur’an belasan anak lelaki yang di antaranya sebaya dan bahkan lebih tua. Saya mewarisi semangat bapak dan ibu saya sebagai guru. Guru yang tidak memakai kurikulum pemerintah dan sama sekali tidak mendapat gaji dari siapa pun, kecuali hanya mengharap pahala dari Allah.

Pada saat duduk di kelas VI SD, saya terpesona oleh motor RX King. Dengan polos, saya mengajukan permohonan untuk dibelikan motor Yamaha itu. Bapak menanggapinya dengan enteng: “Kalau kamu bisa baca Tafsir Jalalayn, motor apa saja, bapak belikan”. Dengan senang saya mengatakan: “Kalau begitu, ajari saya dulu”. Bapak menyanggupi dan besoknya bapak membawa kitab tafsir dengan kertas kuning dan polpen Pilot yang baru saja dibelinya khusus untuk saya. Kata bapak, polpen pilot menghasilkan tulisan yang tipis sehingga bisa digunakan untuk menulis makna gandul. Tidak perlu pakai pena celup yang merepotkan. Pelajaran pun segera dimulai. Saya optimis akan segera mendapatkan motor baru dan bisa menjadi pembalap di jalanan desa.

Namun, tidak sampai sebulan, saya merasakan bahwa ini tidak mudah. Saya mulai mencium bahwa ini adalah sekedar siasat licik bapak untuk tidak menuruti kemauan saya dalam waktu dekat. Akhirnya saya mogok. Ngajai Tafsir Jalalayn saya boikot. Tak ada ngaji lagi. Namun, bapak tidak terpengaruh. Dia bersikap biasa saja. Dan saya pun mulai melupakan tuntutan dibelikan motor RX King itu.

Sampai suatu sore, saat anak-anak Sekolah Diniyah di kampung saya dikerahkan oleh bapak untuk krosak tebu. Krosak tebu adalah istilah untuk kerja membersihkan daun tebu yang telah kering sebelum di tebang. Bapak adalah petani tebu yang cukup sukses. Sebagai kepala Madrasah Diniyah, dia berusaha agar madrasah punya uang kas yang cukup untuk biaya operasional penyelenggaran pendidikan. Di antara caranya adalah madrasah punya lahan tebu. Dia meminjamkan di antara lahan bengkoknya sebagai kepala desa untuk madrasah. Tebu di lahan itulah yang dibersihkan oleh para murid madrasah. Di antara mereka membuat saya tertarik untuk masuk sekolah diniyah yang masuk setelah dhuhur, tepatnya pada pukul 13.00.

Dengan tergopoh-gopoh, saya pulang sambil menuntun dua ekor kambing gibas yang saya beli dari uang pemberian saudara-saudara saat sunat. Setelah mengikat keduanya di kandang, saya menerobos masuk ke dalam kamar bapak dan ibu. Siang itu mereka sedang ngobrol santai di pembaringan. “Pak, saya mau sekolah diniyah.” Saya lihat wajah bapak saya langsung cerah. Namun, anehnya dia tidak langsung mengiyakan. Justru malah memperlihatkan keberatan. “Nanti yang urus kambingmu siapa? Kamu baru pulang dari sekolah pagimu setelah dhuhur kok mau sekolah sore? Bagaimana caranya?”.

Setelah saya punya anak, saya baru tahu bahwa yang dilakukan bapak itu untuk menanamkan dan memastikan tanggung jawab. Bapak rupanya melihat bahwa keinginan saya sudah tidak bisa dibendung lagi, walaupun dia pasti tidak mengetahui penyebabnya. Saya timpali jawaban bapak. “Bisa. Setelah sekolah, saya akan langsung beri makan kambing, dan langsung berangkat sekolah sore. Dan setelah sekolah sore, saya akan angon kambing sampai maghrib”. Bapak setuju, dan besoknya saya langsung masuk kelas IV Madrasah Diniyah sesuai keinginan saya. Jadual yang sangat ketat karena tambahan aktivitas sekolah sore itu membuat saya mulai berusaha keras untuk lebih efektif dan efisien dalam menggunakan waktu. Tidak ada lain main. Tidak ada lagi mancing. Kecuali hanya pada hari Jum’at, karena libur total. Itu pun sesekali saja.

Masalahnya muncul sepekan kemudian. Adik saya juga mau sekolah bersama saya. Dan bapak mengizinkan. Itu mengganggu saya. Gantian saya berulah. Saya tidak mau sekolah diniyah lagi, kecuali saya naik kelas V. Pada saat istirahat, saya datangi bapak di balai desa yang letaknya di seberang madrasah untuk menyampaikan keinginan saya. Kebetulan bapak sedang tidak rapat dengan perangkat desa. Setelah sedikit bernegosiasi, bapak mengikuti keinginan saya dengan satu syarat: “Besok kamu akan ditest dulu. Kalau lulus, boleh masuk kelas V. Kalau tidak, terserah kamu.” Begitu katanya. Saya setuju, walaupun sebenarnya tidak yakin bisa lulus.

Besoknya saya dipanggil ke kantor madrasah untuk ditest. Di kantor sudah ada dua orang murid baru yang usianya jauh lebih senior. Mungkin empat atau lima tahun di atas saya. Keduanya asal Pati. Bersama keduanya, saya ditest oleh Pak Hasyim. Di luar dugaan, nilai saya lebih tinggi satu tingkat di atas mereka. Padahal saya menjawab pertanyaan itu hanya menebak saja. Iseng-iseng berhadiah. Dalam hati, saya melonjak kegirangan. Besok saya diizinkan pindah kelas, satu kelas di atas adik saya.

Sepekan di kelas VA, saya merasa kurang cocok. Saya melihat, kelas B lebih dinamis. Setelah memendam rasa itu selama hampir sepekan, saya mengungkapkannya kepada bapak. Setelah negosiasi agak panjang, akhirnya bapak memperbolehkan. Tapi harus menunggu izin dari Pak Shaleh sebagai wali kelasnya. Besoknya, Pak Shaleh, mengatakan kepada saya bahwa saya boleh pindah ke kelas VB. Benar saja. Ternyata kelas VB memang lebih dinamis. Hafalan kitab Imrithi lebih cepat dibandingkan kelas A. Konsekuensinya, saya mesti mengejar. Saat maju hafalan, saya menulis satu kata di setiap awal bait syair. Namun, siasat saya itu ketahuan oleh Pak Sholeh dan membuat saya malu. Walaupun itu dimaklumi karena saya sekolah ganda, tetapi membuat saya malu dan tidak pernah mengulanginya lagi.

Di kelas ini, bapak mengajar fikih. Kitab Fath al-Qarib al-Mujib karya Syaikh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazy (w. 918 H.). Saya sudah agak akrab dengan kitab ini karena sebelumnya sudah diajarkan oleh bapak di rumah. Dan kalau ada yang perlu saya tidak paham, saya bisa menanyakannya dengan leluasa di rumah.

Sekolah di Madrasah Diniyah pelan-pelan bisa saya nikmati sampai saya lulus kelas VI dan melanjutkan ke tingkat Wustha, walaupun hanya setahun. Di tingkat Wustha ini, saya kembali bertemu dengan bapak dengan mata pelajaran Tafsir Jalalayn sampai-sampai saya hampir hafal baris terakhir muqaddimahnya. Namun, tetap saja saya belum begitu menguasai cara membacanya. Sampai setelah saya mondok di An-Nur, Lasem, hati ini seolah mendapatkan cahaya dan mulai bisa membacanya. Sayang, baru beberapa bulan mondok di pesantren yang dipimpin oleh Kiai Manshur Khalil itu, bapak saya kembali kepadaNya.

Saya baru sadar, bahwa saya baru saja kehilangan seorang guru yang tidak hanya mengajar, tetapi juga mengobarkan semangat saya. Saya baru sadar bahwa yang dulu diajarkan bapak adalah dasar, yang tanpanya ilmu-ilmu yang diberikan oleh guru-guru saya yang lain tidak akan pernah menempel. Yang diberikan oleh bapak ibarat fondasi kuat yang ditanam di pantai berpasir untuk menjadi dudukan bagi bangunan di atasnya.

Seringkali saya ingin memperlihatkan bahwa saya sudah memenuhi semua tantangannya. Namun, dia sudah terlanjur pergi untuk selamanya. Tinggal ibu yang setiap kali saya pulang, sampai sekarang, berada di ayunan di teras rumah belakang muraja’ah al-Qur’an karena dia punya target sehari minimal 10 juz. Selebihnya, waktunya tetap digunakan untuk mengajar anak-anak kampung, dan setiap malam keliling di belasan kampung untuk mengajar mengaji kaum ibu. Lahu al-faatihah. Wallaahu a’lam bi al-shawaab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *