Apa yang menyebabkan sebuah negara maju atau berkembang? Montesquieu, filsuf besar Prancis abad ke-18, mencoba menjawab pertanyaan ini. Menurutnya, latar belakang berkembang tidaknya sebuah negara dipengaruhi oleh kondisi geografis suatu negara. Ia berpendapat bahwa semua negara miskin muncul di daerah beriklim tropis. Namun, hal ini segera dibantah karena teori tersebut tidak menjelaskan bagaimana Korea Utara jauh lebih miskin dibandingkan Korea Selatan, padahal mereka berada di satu wilayah yang sama.
Tak berbeda dengan teori kebudayaan, yakni alasan negara maju dan berkembang adalah sebab etos kerja atau budaya yang dimiliki suatu negara, teori ini tidak menjelaskan bagaimana Kota Nogales Sonora dan Nogales Arizona begitu timpang kemakmurannya, padahal mereka berada di wilayah yang sama, dan hanya memiliki batas sebuah tembok di antara kedua kota.
Satu-satunya alasan yang paling tepat mengenai pertanyaan di awal, menurut Daron Acemoglu dan James A Robinson, adalah perbedaan sistem politik ekonomi yang ada di sebuah negara. Lebih tepatnya, institusi seperti apakah yang menguasai sebuah negara? Jika Institusi eksklusif, maka bisa dipastikan bawa negara tersebut cenderung melarat dan tidak sejahtera. Mengapa? Sebab institusi eksklusif cenderung mempertahankan kuasa elite yang mementingkan kepentingannya sendiri. Hal ini jelas akan menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat yang berada di bawah kendalinya.
Watak institusi eksklusif di antaranya adalah ketiadaan konsep pluralisme. Sebab, pluralisme dipastikan akan menyebabkan perbedaan kepentingan yang akan menuntut berbagai hal pada penguasa untuk meratakan kebijakan. Tak hanya itu, institusi eksklusif juga identik dengan feodalisme, sebab feodalisme secara mutlak mempertahankan kedudukan seorang penguasa dengan tidak memberi kesempatan bagi rakyatnya andil dalam sektor-sektor vital.
Berkebalikan dengan institusi eksklusif, institusi Inklusif justru memberi peluang sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk berkembang. Dengan kata lain, semakin plural sebuah negara, maka institusi yang ada semakin maju dan berkembang. Persaingan sehat tercipta karena hak-hak mereka dilindungi secara adil. Sebagai akibat dari hal tersebut, feodalisme akan menjadi cara fikir yang primitif dan tak logis.
Masalah yang ada sekarang yakni mendirikan institusi politik dan ekonomi inklusif di Indonesia hampir-hampir merupakan sebuah utopia belaka, sebab elit penguasa di Indonesia telah menguasai berbagai aspek vital negara. Dan ironisnya, hampir tak ada pihak yang berusaha membuat perubahan, seandainya ada pun, kekuatan mereka kecil dan tak bisa dibandingkan dengan logistik yang dimiliki oleh petahana.
Pada pertengahan tahun 2010, Doktor Mohammad Nasih telah hadir sebagai pasak yang bertahan di tengah derasnya arus politik eksklusif. Dengan visi besar untuk mengubah Indonesia yang di masa keterpurukannya menjadi “Baldatun Thoyibatun Wa Rabbun Ghafur”, Mohammad Nasih berusaha menciptakan sebuah institusi dengan sistem yang ideal, yang secara sadar ataupun tidak, merupakan tatanan yang memiliki nuansa inklusif yang begitu kental.
Pertama, konsep pluralistik yang diterapkan Mohammad Nasih terlihat pada banyaknya santri Planet Nufo dan Monash Institute yang memiliki latar belakang yang berbeda. Di Planet Nufo maupun Monash institute, tak ditemukan satu peraturanpun yang mengintimidasi salah satu suku atau budaya. Yang ada, Mohammad Nasih melarang penggunaan bahasa daerah, yang salah satu tujuannya adalah untuk tidak mempersulit santri yang berlatar belakang bahasa dan budaya yang berbeda.
Tak berhenti sampai di sana, dengan peraturan yang adil dan berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah, santri-santri di bawah asuhannya diizinkan untuk berkarya dan berwirausaha sesuai kapasitas dan preferensi mereka. Mohammad Nasih memberikan kebebasan bagi para santrinya untuk mengembangkan ide, kecerdasan dan kemampuannya, asalkan tetap dalam koridor al-Qur’an dan hadits.
Berkebalikan dengan konsep institusi ekstraktif yang cenderung takut pada kritik, Mohammad Nasih bahkan menekankan santri-santrinya untuk berfikir kritis dan cenderung berfikir negatif pada para politisi dan elit. Tak hanya “sami’naa wa atho’naa”, ujar Mohammad Nasih, santri di Monash Institute maupun Planet Nufo harus “sami’naa, wa arafnaa, wa atho’na”. Statement ini merupakan bukti yang jelas bahwa Mohammad Nasih menghendaki santrinya berfikir, bukan hanya menerima tanpa ada argument yang jelas.
Seperti yang sudah dinyatakan oleh penulis bahwa sistem inklusif akan menyebabkan praktik feodalisme menjadi hal yang primitive, budaya egaliter pun telah mewarnai kehidupan santri di Monash Institute dan Planet Nufo. Praktek-praktek primitive sudah tak lagi digunakan di lingkungan santri asuhan Mohammad Nasih. Artinya, institusi yang berusaha diciptakan oleh Mohammad Nasih merupakan institusi yang inklusif dan profgresif.
Usaha-usaha Mohammad Nasih dalam memperbaiki Indonesia merupakan terobosan baru dengan esensi yang substansial dan modern. Visi dan gagasan yang dimiliki Mohammad Nasih pun berhasil memberi sumbangsih besar dalam merubah cara berfkir kebanyakan masyarakat yang jumud dan enggan menerima perubahan. Institusi Inklusif yang telah dikembangkan Mohammad Nasih pun telah menunjukkan berbagai peningkatan yang signifikan. Maka dari itu, penulis percaya bahwa Mohammad Nasih merupakan sosok ideal yang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan di Indonesia. wallahu a’lam bi al-shawab
Oleh: Zulfa Amila Shaliha, Disciple angkatan 2020 Monash Institute Semarang