[blockquote footer=””]Aku adalah belantara asing. Dengan sulur-sulur yang merambat, beberapa kali menyulitkan pejalan yang melawat. Dan lebatnya dedaunan, hingga rumitnya mengunci ketukan cahaya.[/blockquote]
Aku kalah telak.
Dengan ia yang lama menjadi rumahmu. Tempat dimana kau pulang kemudian merebah di peluknya. Ubun-ubun yang kau kecup penuh kasih. Setelahnya kau selipkan amplop pada buku resepnya. Ia adalah rumah kayu dengan perapian terhangat. Ia yang berusia senja, kau rawat ia dengan tulus. Seperti ia yang tulus menaungi jiwamu. Melindungi di kala badai menerpa di tiap masa sulit.
Sedang aku adalah belantara asing, sebentuk kandidat petualangan yang menantang jiwamu! Namun lekas kau ingat rumah kayumu. Karena kau pikir aku bukan rumahmu. Kau pikir beristirahat padaku bagai menghampar pada tanah berkerikil. Terbayang, jika dingin mencekam adalah malam bersamaku.
Aku memang kalah telak. Pada rumah kayu dengan perapian terhangat.
Namun, aku hanya punya gua bagi rumahmu. Maukah kau nyalakan perapian di dalamnya? Agar sama-sama hangat kita dibuatnya? Aku hanya punya sungai bagi dahagamu. Maukah membasuh jiwamu dengannya sesekali? Untuk membekali perjalananmu yang panjang membentang? Aku hanya punya sebidang tanah menghampar. Demi pembuktianmu, maukah kau berladang di permukaannya? Agar tanahku subur, dan kau petik manfaatnya pula?
Pada belantaraku, bersediakah kau mampir– sesekali? Dengan rumah kayumu yang tetap bertahta pada hatimu?