Akibat Berislam Tidak Fundamentalis: Bisa Tak Tahu Rukun Khuthbah

Islam/google
Baladena.ID

Fundamentalisme dan radikalisme menjadi isu yang kembali menghangat. Apalagi setelah ada pejabat yang mengangkat isu ini. Untuk membahas isu ini, redaksi Baladena.id mewawancarai Dr. Mohammad Nasih, atau yang akrab dipanggil Abah Nasih, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pengasuh Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an Monash Institute Semarang. Berikut petikannya.

Baladena: Isu fundamentalisme dan radikalisme Islam masih jadi trending topic di medsos. Bagaimana pandangan Abah Nasih?

AN: Itu memang sengaja didesain agar rakyat lupa pada yang kegagalan-kegagalan pemerintah. Soal ekonomi, BPJS, dll. Dan nampaknya memang cukup berhasil. Kalian saja ikut bertanya soal ini. Padahal masih banyak hal lain yang mestinya ditanyakan. Soal etika politik yang hilang, politik uang yang merusak keadaban politik kita, janji-janji palsu saat kampanye. Itu kalau jadi fokus rakyat kan jadi masalah berat. Maka digorenglah fundamentalisme dan radikalisme Islam.

Baladena: Jadi menurut Abah Nasih, sebenarnya fundamentalisme dan radikalisme Islam itu bagaimana?

AN: Kita artikan dulu saja dua kata itu secara harfiyah ya. Fundamentalisme itu berasal dari kata fundamen, artinya dasar atau fondasi. Kalau kita bangun rumah itu harus ada fondasinya kan? Kalau tidak ada fondasinya, bisa runtuh. Apalagi beragama. Kalau tidak ada fondasinya, ya runtuh. Nah, fundamen Islam ada dua: al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad saw.. Yang simple-simple saja. Kita beribadah itu perlu dasar. Kita bertuhan yang esa, itu karena al-Qur’an dan hadits bilang begitu. Mau ada agama lain bilang jumlahnya beda, kita ikuti dasar kita. Kita shalat, karena al-Qur’an perintahkan begitu. Tentang jumlah raka’at dan waktunya, sunnah Nabi menunjukkan itu. Tidak bisa kita ngarang-ngarang sendiri. Shalat Jum’at ada khuthbahnya, dan khutbah ada rukunnya. Kalau tidak pakai fundamen ya jadi tidak pakai rukun khuthbah. Jadi salah dan tidak sah. Saya melihatnya simple saja. Orang yang mau menghinakan Islam, bisa dibayar kontan oleh Allah dengan ditunjukkan kebodohannya tentang Islam. Mestinya belajar dulu, agar mengerti berislam yang benar. Mestinya sudah mundur dan belajar Islam dulu sebelum jadi pejabat yang ngatur-ngatur, tetapi ternyata ngawur.
Lalu radikal, itu kan berasal dari kata radix, artinya akar. Islam itu agama yang benar. Kalau dikaji secara filosofis sampai ke akar-akarnya, akan makin nampak sebagai kebenaran. Karena itu, kita harus berislam secara radikal. Jangan cuma ikut-ikutan, tidak ngerti asal-usulnya. Asal-usul itu ya akarnya itu. Maka ada Fakultas Ushuluddin di IAIN atau UIN itu karena di dalamnya semua persoalan agama dikaji sampai asalnya, pokoknya, akar tunggangnya. La ini kok ada orang melarang orang jadi fundamentalis dan radikalis. Saya yakin karena tidak paham sejarah saja itu. Kalau dia paham makna kata dan sejarah, pasti tidak begitu.

Baladena: Jadi, apa yang harus dilakukan oleh umat Islam kalau begitu, Bah?

AN: Umat Islam harus makin rajin mempelajari agamanya. Makin banyak membaca al-Qur’an dan hadits Nabi, agar memahami dengan baik. Umat Islam di Indonesia ini masih belum banyak yang fundamentalis dan radikal. Yang bisa baca al-Qur’an pun baru 40 persen. Yang bacanya sesuai tajwid, belum lebih dari 4 persen. Dan yang tahu artinya belum lebih dari 0,8 persen. Istilah fundamentalis dan radikal dalam konteks negatif itu tidak cocok untuk Islam. Kedua istilah itu digunakan agar umat Islam tidak suka pada ajaran agamanya sendiri, lalu meninggalkannya. Maka umat Islam harus cerdas dan hati-hati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *