Dalam perspektif Marxis, kesejahteraan seseorang dalam masyarakat kapitalis diukur dengan kepemilikan waktu luang yang di dalamnya ia bisa melakukan “konsumsi tingkat tinggi”. Jadi, secara bersamaan harus punya uang dan sekaligus waktu luang. Orang bekerja untuk mendapatkan upah/uang. Sisa uang setelah seluruh kebutuhan dasar hidup terpenuhi membuatnya memiliki surplus. Surplus akan membuat seseorang memiliki waktu luang yang jika terus diakumulasi akan membuat potensi waktu luang menjadi semakin panjang. Sebab, ia bisa tidak perlu bekerja lagi dengan tetap bisa memenuhi kebutuhannya. Uang lebih dan waktu luang itulah yang bisa digunakan untuk memenuhi hasrat hedonistik. Itu karena perspektif kapitalis menjadikan materi sebagai basis kebahagiaan. Tentu saja, ini adalah kekeliruan besar.
Dalam dunia keilmuan Islam, kesejahteraan seseorang bisa diukur dengan kepemilikan waktu luang yang di dalamnya ia bisa tidak hanya beribadah, tetapi juga mengajarkan ilmu atau berdakwah kepada banyak orang. Orang yang mencintai ilmu, akan tenggelam dalam kenikmatan aktivitas belajar dengan segala bentuknya, termasuk kewajiban dakwah dan menyampaikannya kepada orang lain. Semakin panjang waktu luang yang ia miliki, maka bisa dikatakan ia memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi.
Namun, ia tidak menjadikan yang diajarkannya itu untuk mendapatkan keuntungan material guna memenuhi kebutuhan material hidupnya. Apalagi untuk mendapatkan kemewahan. Bahkan, jika memiliki uang lebih, ia akan menggunakan uangnya itu untuk membantu umatnya yang membutuhkan. Dan uang yang diberikan itulah yang akan menjadi nilai kekayaannya. Sebab, orang kaya dalam bahasa Arab adalah ghaniyyun, yang makna kontekstualnya adalah lâ hâjata, tidak butuh. Seseorang yang memiliki uang, sebanyak apa pun, tetapi ia masih membutuhkannya, berarti ia masih faqîr, butuh. Apalagi jika masih melakukan tindakan memakan harta orang lain, itu disebut dengan rakus.
Karena itu, jika aktivitas mengajar masih menjadi jalan untuk membangun sumber penghidupan, maka pelakunya masih dalam kategori orang yang mengalami kesejahteraan semu. Sebab, ia sesungguhnya justru, sebagaimana dikatakan Plato, sedang menjual “barang-barang spiritual”. Salah-salah, uang yang didapatkan dan nilainya lebih banyak dibandingkan dengan kebutuhan dasar umum hidupnya, justru akan menyebabkan ia tergolong dalam kategori orang rakus dan bahkan pengumpul harta sebagaimana dikritik oleh al-Qur’an.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang lain dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (al-Taubah: 34)
Kritik al-Qur’an terhadap kalangan ilmuwan dua agama sebelum Islam ini, pasti memiliki nilai pelajaran. Sebab, kisah-kisah di masa lalu yang diangkat oleh al-Qur’an memiliki nilai ‘ibrah untuk umat yang kemudian. Dalam konteks ini, al-Qur’an memberikan peringatan dini kepada pembacanya bahwa orang-orang yang menggunakan identitas sebagai elite agama karena keilmuannya sekalipun, ternyata melakukan penyelewengan dengan menjadi pengumpul dan pemakan harta umatnya. Dan di era berikutnya juga akan terjadi hal yang sama, sebagai wujud dari ungkapan “setiap zaman ada orangnya”. Padahal, Nabi Muhammad telah memberikan teladan sebagai seorang yang zâhid dengan fasilitas hidup yang bisa dikatakan fungsional saja. Rasulullah memiliki sesuatu benar-benar berdasarkan fungsinya, dan itu untuk perjuangan dakwah Islam.
Nabi Muhammad saw. adalah contoh terbaik, termasuk di antaranya dalam hal mengajar tanpa mengambil manfaat material. Bahkan karena perjuangannya dalam menyebarkan ilmu dari Allah, kehidupannya yang sangat mapan, bukan hanya hilang, tetapi berubah menjadi keprihatinan. Karena dakwahnya, beliau harus menanggung beban. Kebiasaan ini sudah dilakukan sejak sebelum beliau diangkat menjadi rasul dan disebut dengan tegas oleh istrinya, Khadijah, ketika beliau pulang dari Gua Hira’ dalam keadaan ketakutan dan minta diselimuti.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ المُؤْمِنِينَ أَنَّهَا قَالَتْ: أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِي النَّوْمِ، فَكَانَ لاَ يَرَى رُؤْيَا إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ، ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الخَلاَءُ، وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ – وَهُوَ التَّعَبُّدُ – اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ العَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ، وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى خَدِيجَةَ فَيَتَزَوَّدُ لِمِثْلِهَا، حَتَّى جَاءَهُ الحَقُّ وَهُوَ فِي غَارِ حِرَاءٍ
Diceritakan dari Yahya bin Bukair; dari al-Laits; dari ‘Uqail; dari Ibnu Syihab; dari ‘Urwah bin al-Zubair; dari ‘Aisyah, Ummul mu’minin. Ia bercerita bahwa wahyu pertama yang diterima Rasulullah itu mimpi yang benar. Rasulullah tak pernah bermimpi kecuali mimpinya itu seperti cahaya pagi. Beliau diberikan keinginan kuat untuk menyendiri. Akhirnya beliau pun menyendiri di gua Hira’ dan bertahanuts atau beribadah beberapa malam lamanya sebelum kembali pada keluarganya untuk mempersiapkan bekal ibadah kembali. Beliau pun menemui Khadijah untuk mempersiapkan bekal kembali. Sampai pada suatu ketika kebenaran itu datang saat Rasulullah berada di gua Hira’.
فَجَاءَهُ المَلَكُ فَقَالَ: اقْرَأْ، قَالَ: «مَا أَنَا بِقَارِئٍ»، قَالَ: “فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي، فَقَالَ: اقْرَأْ، قُلْتُ: مَا أَنَا بِقَارِئٍ، فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي، فَقَالَ: اقْرَأْ، فَقُلْتُ: مَا أَنَا بِقَارِئٍ، فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي، فَقَالَ: {اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ. خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ}
Malaikat pun mendatangi Rasulullah dan memintanya membaca: “Bacalah!”.” Rasulullah menjawab: “Aku bukanlah seorang qari’ (pen: biasanya diartikan tak bisa membaca).” Rasulullah bercerita: “Malaikat pun memegang, memeluk, lalu melepaskanku, dan memintaku membaca kembali: “Bacalah.” “Aku tak dapat membaca,” jawab Rasulullah. “Malaikat pun memegang, memeluk, lalu melepaskanku, dan memintaku membaca kembali untuk yang kedua kali: “Bacalah.” “Aku tak dapat membaca,” jawab Rasulullah. “Malaikat pun kembali memegang, memeluk, lalu melepaskanku, dan memintaku membaca kembali untuk yang ketiga kali, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, Tuhanmu itu Maha Pemurah (QS. al-‘Alaq: 2).”
فَرَجَعَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُفُ فُؤَادُهُ، فَدَخَلَ عَلَى خَدِيجَةَ بِنْتِ خُوَيْلِدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، فَقَالَ: «زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي» فَزَمَّلُوهُ حَتَّى ذَهَبَ عَنْهُ الرَّوْعُ، فَقَالَ لِخَدِيجَةَ وَأَخْبَرَهَا الخَبَرَ: «لَقَدْ خَشِيتُ عَلَى نَفْسِي» فَقَالَتْ خَدِيجَةُ: كَلَّا وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الكَلَّ، وَتَكْسِبُ المَعْدُومَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الحَقِّ
Rasulullah saw. kembali kepadanya (Khadijah) dengan membawa kalimat wahyu tadi dalam keadaan gelisah. Beliau menemui Khadijah binti Khuwailid dan meminta diselimuti: “Selimuti aku, selimuti aku.” Rasulullah pun diselimuti hingga rasa takutnya hilang. Beliau menceritakan kepada Khadijah mengenai kejadian di gua Hira’ itu, “Aku takut terhadap diriku sendiri.” “Tidak apa-apa suamiku, Demi Allah, Allah tak akan menghinakanmu selamanya. Engkau itu pribadi yang suka bersilaturahim, menanggung kesulitan orang, membuat orang fakir memiliki pekerjaan, melayani tamu, dan membantu agen-agen kebaikan.
Bersama dengan sahabat-sahabat paling awal yang beriman, Nabi Muhammad saw. menghabiskan harta kekayaan yang dimilikinya. Bahkan Khadijah, berdasarkan berbagai riwayat yang sangat kuat, meninggal dalam keadaan seluruh hartanya habis, dan digambarkan bahwa di bajunya ada delapan puluh buah tambalan.
Nabi Muhammad berasal dari keluarga kaya, karena kakeknya adalah seorang kepala suku. Unta yang disandera oleh Abrahah pada saat akan menghancurkan ka’bah saja 200 ekor. Hanya saja, pada saat masih dalam kandungan, bapaknya telah meninggal dunia. Padahal dalam budaya Arab saat itu, perempuan tidak mendapatkan warisan, bahkan menjadi barang warisan. Itulah yang menyebabkan Muhammad bayi tidak menarik bagi para “ibu rental” yang “menjual” ASI mereka.
Awalnya, Halimah al-Sa’diyah pun tak tertarik untuk membawa Muhammad. Hanya karena khawatir akan menanggung malu jika kembali ke kampungnya di Bani Sa’d dengan tangan hampa tanpa seorang bayi yang ia susui, maka ia kemudian membawanya. Sebab, mendapatkan anak yang bisa disusui dari keluarga kaya dan terhormat, berdasarkan berbagai sumber yang dikumpulkan oleh Martin Lings, berarti mendapatkan bayaran yang besar dan berpotensi mendapatkan jaringan kekeluargaan dengan orang-orang kaya di Kota Makkah. Bagi kalangan masyarakat badui, keduanya merupakan harapan demi masa depan hidup yang lebih baik.
Namun, setelah membawa Muhammad yang bayi seorang janda, mereka ternyata mendapatkan banyak keberkahan. Keledai tua yang dinaiki Halimah mendadak menjadi kuat dan menyalip ibu-ibu lain yang telah berangkat terlebih dahulu dengan bayi-bayi yang telah mereka dapatkan. Tak terhitung keajaiban lain yang terjadi di rumah dan lingkungan sekitar rumah Halimah sejak ada Muhammad kecil.
Karena keajaiban-keajaiban itu, kesepakatan untuk merawat Muhammad yang tadinya hanya dua tahun saja, kemudian diperpanjang oleh Halimah menjadi empat tahun. Bersama dengan keluarga Ibu Halimah dalam masyarakat Bani Sa’d ini, Muhammad belia belajar menjadi anak yang profesional. Dalam usia di bawah empat tahun, ia sudah bisa tidak hanya menggembalakan domba-domba milik ibu susunya, tetapi bahkan menundukkan unta. Inilah yang menjadi modal Muhammad pada usia 8-12 tahun, untuk menjadi bagian kafilah yang dipimpin oleh Abu Thalib berdagang ke luar negeri.
Sebab, Muhammad memiliki kemampuan untuk membereskan unta yang bermasalah di jalan. Unta pada saat itu berfungsi sebagai kendaraan. Jadi Muhammad memiliki kemampuan semacam “mekanik” pada zaman sekarang. Bermula dari membersamai kafilah inilah, Muhammad muda memiliki kemampuan berdagang, dan dikenal sebagai fund manager yang sangat andal.
Popularitas nama Muhammad sebagai pengelola uang yang andal dan terutama nama harumnya sebagai al-amîn (yang terpercaya) membuat Khadijah “curiga” bahwa pemuda itu adalah calon rasul terakhir yang dijanjikan oleh Allah sebagaimana pernah ia dengar dari sepupunya, Waraqah bin Naufal, yang merupakan penyalin dan pembelajar kitab-kitab sebelumnya. Karena cita-cita terbesarnya adalah menjadi istri rasul yang terakhir, maka Khadijah menawarkan kepada Muhammad uang dan barang dagangan untuk diputar. Layak diduga, ini adalah juga cara Khadijah untuk memastikan bahwa Muhammad adalah orang yang dijanjikan Tuhan itu. Dan ternyata, Muhammad muda ini sukses besar dalam niaganya.
Bukan hanya itu yang membuat Khadijah terkagum-kagum. Reportase budaknya, Maysarah (berjenis kelamin laki-laki, bukan perempuan sebagaimana nama ini digunakan di Indonesia), yang sengaja diminta untuk menemani Muhammad, membuatnya tahu bahwa perjalanan dagang mereka selalu dinaungi awan. Inilah yang membuat Khadijah tak ragu lagi untuk menikah dengan Muhammad. Ya, Khadijah yang berinisiatif terlebih dahulu, bukan Muhammad. Penyebabnya adalah dia sudah memiliki keyakinan bahwa Muhammad adalah calon penyampai risalah terakhir Allah.
Setelah menikah, Khadijah yang waktu itu adalah orang kaya raya dan sering digambarkan dengan ungkapan pemilik 2/3 kekayaan Makkah, menegaskan kepada suaminya, bahwa ia boleh menggunakan hartanya untuk apa pun yang ia inginkan. Seolah Khadijah ingin mengatakan bahwa perjuangan berat dakwah yang akan dijalani oleh seorang rasul akan membutuhkan pendanaan atau logistik yang tidak kecil dan dia siap menjadi pendukungnya. Benar saja, pada saat tanda-tanda kenabian itu muncul dengan kebiasaan menyendiri di Gua Hira’, Khadijah justru mendukungnya, bukan memarahinya, padahal suaminya itu pergi ke tempat yang tidak menghasilkan uang.
Secara berkala, Muhammad menaiki Jabal Nur itu untuk bertahannuts. Pulang hanya untuk mengambil bekal, kemudian kembali lagi. Khadijah bahkan juga memerintahkan para pembantunya untuk menjaga kaki gunung Nur untuk memastikan suaminya yang berada di atas dalam keadaan aman.
Itulah sebab, ketika Muhammad pertama kali bertemu dengan Malaikat Jibril dan menyebabkannya ketakutan, justru Khadijah yang meyakinkannya, bahwa yang dialaminya itu bukan kejadian buruk, melainkan justru kejadian baik. Sebab, Khadijah memang sudah “beriman” kepada kerasulan Muhammad sebelum beliau mendapatkan wahyu pertama. Dan setelah itu, Khadijah konsisten membela Nabi Muhammad dalam dakwah. Bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan memberikan seluruh harta dan jiwanya. Ketika umat Islam diboikot oleh orang-orang kafir Makkah, Khadijah menggunakan harta kekayaannya untuk menyuplai logistiknya. Dukungannya ini tak pernah surut sampai perempuan termulia itu meninggal dunia.
Sampai Nabi Muhammad menjadi pemimpin politik tertinggi di Madinah, gaya hidupnya tak pernah berubah. Pakaian beliau tak ada bedanya dengan pakaian yang digunakan oleh para sahabatnya. Jika orang tidak pernah bertemu beliau, dan baru pertama kali melihatnya dalam keramaian, pasti tidak akan tahu yang manakah Rasulullah. Demikian pula tempat tinggal beliau.
Beliau dan istri-istrinya tinggal di bilik-bilik yang sangat sederhana di samping Masjid Nabawi. Kamar beliau bersama Ummul Mu’minin Aisyah berukuran hanya 3,5×5 meter saja. Seorang fund manager sukses yang menikahi seorang perempuan kaya raya, lalu memiliki derajat tinggi karena menjadi penerima firman Allah, kemudian menjadi penguasa tertinggi sebuah negara menggunakan fasilitas hidup yang amat sangat sederhana dan menjadi gaya hidupnya. Murni menjadi pilihan hidup seorang yang bisa memilih, bukan karena tidak mampu dan tidak punya.
Suatu hari, seorang perempuan Anshar datang ke kediaman Rasulullah dan mengetahui tempat tidur Rasulullah yang dianggapnya tidak layak. Karena itu, dia menggantinya dengan alas berbahan wol. Ketika Rasulullah pulang dan melihatnya, beliau bertanya kepada Aisyah: “Apa ini?”. Aisyah menjawab apa adanya. Nabi kemudian meminta Aisyah untuk mengembalikannya. Namun, Aisyah menolaknya sampai tiga kali. Nabi lalu mengatakan: “Wahai Aisyah, andai aku mau, gunung-gunung itu akan dijadikan emas dan perak oleh Allah untukku.”
Rasulullah tidak menjadikan posisinya sebagai pemimpin, baik pemimpin agama maupun pemimpin politik tertinggi, sebagai kesempatan untuk mendapatkan kenikmatan hidup. Justru pembuktian seorang pemimpin sejati, sekali lagi, baik pemimpin agama maupun pemimpin politik, sesungguhnya terwujud dalam keberaniannya untuk memberikan yang dia miliki. Mungkin istilah “memimpin adalah menderita” sangat tepat.
Tidak ada seorang rasul pun yang meminta bayaran dari ajaran yang disampaikannya. Sebab, jika para rasul mengambil upah dari aktivitas dakwah mereka, orang-orang yang tidak menyukai mereka akan memiliki kesempatan untuk menuduh mereka sedang mencari penghidupan. Ajaran yang disampaikan tidak lain hanyalah “sihir” untuk membuat para pendengar dan pengikutnya menyerahkan harta kekayaan.
Materialisme Historis Untuk Menilai
Di antara problem klasik dalam menyampaikan ajaran Allah adalah adanya orang-orang yang mendaku sebagai penerus para Nabi, tetapi sesungguhnya mereka sedang mencari penghidupan. Dan yang dijual adalah ayat-ayat Allah, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik secara halus maupun vulgar. Namun, seringkali umat tidak memiliki kemampuan untuk membaca kenyataan ini. Terlebih kebanyakan umat memegang tegung ajaran husn al-dhann (baik sangka), terlebih kepada orang yang mengajarkan agama.
Inilah yang menyebabkan, banyak umat menjadi korban penipuan yang dilakukan oleh orang-orang yang berpenampilan sebagai pengajar firman Tuhan, tetapi sebenarnya sedang mencari keuntungan. Mulutnya menegaskan dan mengajak untuk menghidupkan agama, tetapi sebenarnya sedang memperjuangkan kehidupannya sendiri.
Untuk memastikan bahwa orang yang menyampaikan firman Tuhan adalah benar-benar pejuang, lagi-lagi perspektif materialisme historis Marx justru sangat membantu untuk mengidentifikasi.
Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Pesantren-Sekolah Alam Nurul Furqon (Planet NUFO) Mlagen, Pamotan, Rembang; Guru Utama di Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an Monasmuda Institute Semarang; Pengajar Ilmu Politik di FISIP UMJ.
Comments