Social Claimber; Perempuan dan Harga Diri

Perempuan, apalagi gaya hidupnya selalu menarik untuk diperbincangkan. Menarik memang, karena hampir setiap hari para fashion stylist menawarkan model dan gaya pakaian yang kekinian dan selalu direspon positif terutama oleh kaum perempuan. Mulai dari hijab, gamis, tas, sepatu dan lain sebagainya. Harganya pun bervariasi, mulai dari ribuan hingga puluhan juta. 

Secara lahiriyah, perempuan diciptakan dengan bentuk yang sempurna. Figur seorang perempuan disandarkan pada beberapa aspek jasmaniyah seperti; cantik, sedap dipandang, lemah gemulai, bentuk tubuh, dan lain sebagainya. Melalui penciptaan yang sedemikian rupa, seorang perempuan memiliki daya tarik yang kuat. Kontruksi pemikiran masyarakat mengenai perempuan masih melekat kuat dengan hal-hal yang berlandaskan pada jasmaniyah, bukan tentang intektualitas maupun kepribadian.

Sayangnya, keunggulan dan kelebihan itu dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melancarkan industri pemasaran dan periklanan. Disadari atau tidak, perempuan seringkali menjadi sasaran empuk dalam proses komodifikasi. Maksudnya, kaum perempuan dianggap memiliki daya tarik yang tinggi dan akhirnya jika disandingkan dengan produk-produk pemasaran, maka akan tampak bernilai jual tinggi.

Maklum, di era industri 4.0 ini media merupakan satu bagian dari sistem kerja masyarakat setiap hari yang selalu disuguhi berbagai macam iklan dan produk pemasaran. Akses masyarakat dan meningkatnya kebutuhan pasar menjadi sebab kenapa media sangat dibutuhkan.

Bacaan Lainnya

Akibatnya, semakin lama perempuan akan kehilangan nilai dari dirinya, karena nilai perempuan secara tidak langsung telah diciptakan oleh para pelaku industri. Mematok standar kecantikan; perempuan haruslah yang memiliki kulit yang halus, mata yang cemerlang, rambut yang lembut dan bentuk badan yang ideal dan bahkan menjadikannya sebagai modal dan aset terbesar seorang perempuan. Jika boleh dikatakan, media justru bukannya membantu menaikkan derajat perempuan, namun malah sebaliknya.

Perempuan Penentu Harga Diri

Mode keterbukaan perempuan belum dikenal pada abad yang lalu. Pada pertengahan abad ke-20 pun belum merajalela. Baru sekitar tahun 1950-an, istilah pakaian You Can See (anda dapat melihat “ketiak”) sangatlah populer. Setelah masyarakat terbiasa dengan ketiak, para pengekploitasi akan mencari objek lain yang menimbulkan rangsangan. Bermula dari film-film dengan menampilkan perempuan-perempuan dengan pakaian yang serba mini dan ketat agar lekuk-lekuk badan terlihat dengan jelas hingga lebih dari itu.

Namun, tidak fair rasanya jika sebagai muslimah terpelajar hanya menyalahkan industri pemasaran dan periklanan. Pasalnya, perempuan itu sendiri mampu menjadi penentu nilai dari mereka diri mereka sendiri. Jika mereka mematok harga murah untuk diri, maka seperti demikian pula Allah menghargainya. Sebaliknya, jika mereka tetapkan standar yang tinggi, maka Allahpun akan memberi penjagaan yang tinggi pula.

Perempuan yang menakar dirinya seharga nilai penampilan dan kecantikan, maka ia akan disibukkan dengan mempercantik penampilan dan mengupdate ketenaran. Pujian akan diperoleh, namun tujuan hidup akan semakin jauh darinya. Mengupdate penampilan tanpa meningkatkan kualitas ide dan gagasan. Beberapa rela mengubah wajah, alis, betis yang diciptakan Allah Yang Maha Kuasa karena ketidakpuasannya. Bukankah setiap standar kebendaan bersifat sementara?

Selain itu, di Era Globalisasi ini perempuan diberi kesempatan luas di panggung-panggung ekonomi, politik serta industri seolah tak ingin kalah dalam persaingan identitas, jabatan dan kedudukan. Namun terkadang, ambisi menduduki suatu jabatan membuat beberapa perempuan menjadikannya tolak ukur/ nilai harga diri. Perasaan seperti inilah yang nantinya akan memunculkan berbagai pengorbanan hingga hal-hal yang kurang proporsional. Demi karir, jabatan dan status, ibu-ibu rela menyerahkan pendidikan utama anaknya kepada babysitter yang belum tentu mampu mendidik anaknya dengan mutu yang baik.

Semakin baik penampilan, semakin tinggi keilmuan, semakin banyak pengalaman yang diperoleh tentu semakin baik dan berkualitas, asalkan hal tersebut tidak lantas menjadikannya lupa bahwa ada yang lebih penting daripada yang demikian. Itulah ketakwaan.

Seharga Ketakwaan

Atas dasar ketakwaan, cara terbaik memasang standar harga diri. Ketakwaan meliputi berbagai aspek penting seperti aqidah dan akhlaq, ubudiyah dan muamalah. Sejauh apa hubungan seorang perempuan dengan Tuhannya. Seindah apa akhlaq dan perilakunya dengan sesama. Sepandai apa menjaga kehormatannya dari perkara-perkara yang tidak pantas dilakukan. Setinggi apa kualitas intelektual dunia dan akhiratnya untuk mendidik generasi-generasi pejuang dan penerus Rasulullah SAW.

Perempuan yang mampu memberi nilai dirinya seharga ketakwaan ternyata didukung dengan hadist Nabi yang memuji tentang perempuan dunia, bahkan dikatakan ia lebih indah dari bidadari surga. Hadist yang diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dari Umum Salamah R.ha ia bertanya kepada Rasulullah SAW: “Ya Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari bermata jeli? Beliau menjawab, “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari seperti kelebihan apa yang nampak dari apa yang tidak terlihat.

Aku bertanya, “Mengapa wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari? Beliau menjawab, “Karena salat, puasa, dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutera, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuningan, sanggulnya mutiara, dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, ‘Kami hidup abadi dan tidak mati. Kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali. Kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali. Kami ridha dan tidak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.”

Hanya dengan jalan ini, seorang perempuan mampu hidup dengan nyaman dan bangga. Jangan lantas kemudian berpikir bahwa standar ketakwaan jauh tertinggal dibelakang, justru standar ini akan mendorong perempuan memiliki keyakinan yang utuh atas kualitas dirinya. Ketakwaan akan membawa pada kesadaran yang lebih tinggi sehingga mampu membuat diri kita bangga tanpa iri dengki. Bagaimana bisa dengki dan iri jika standar ketakwaan bahkan memiliki lingkup paling luas mengalahkan standar-standar buatan manusia? Semoga Allah senantiasa menjadikan kita semua muslimah yang muslihah. Aamiin.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *